Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jessy Tak Peduli
Aku melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Suara piring pecah, dentingan sendok dan garpu berjatuhan masih terngiang di telingaku. Tapi aku tidak peduli.
"JESSY! BERHENTI KAMU!"
"DASAR WANITA TIDAK TAU DIUNTUNG!!"
Teriakan Mama Ella menggema di seluruh rumah. Aku yakin, kalau aku masih menjadi Jessy yang dulu, mungkin aku sudah gemetar dan berusaha meminta maaf. Tapi sekarang? Tidak.
"Lihat! Ini semua gara-gara kamu memilih wanita seperti dia!" suara Mama Ella terdengar lagi, kali ini ditujukan kepada Bram. "Perempuan tidak tahu diri! Tidak tahu sopan santun!"
"Gila! Kak Bram, aku bilang juga apa! Kak Jessy itu nggak pantes buat kita!" Molly menimpali dengan penuh amarah.
Aku mendengar semuanya, tapi aku tetap berjalan menuju kamarku. Apa pun yang mereka katakan, tidak ada yang layak kudengar.
"Huh, apa yang kalian harapkan dari wanita mandul?! Harusnya dari awal kita cari yang lebih baik untuk keluarga ini!"
Langkahku sempat terhenti.
Tapi hanya sesaat.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan jalanku.
Begitu sampai di kamar, aku menutup pintu dengan keras. Aku bersandar di baliknya, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berpacu cepat karena kemarahan tadi.
Aku menatap bayanganku di cermin. Wajahku masih merah karena emosi, tapi sorot mataku penuh tekad.
"Dulu aku diam, tapi tidak sekarang."
Aku tersenyum miring. "Bram, Ella, Milly, dan... Fina, akan segera melihat siapa aku sebenarnya. Akan aku balas satu persatu perbuatan kalian."
Di lantai bawah, Mama Ella masih mengomel, suaranya semakin meninggi.
"INI SEMUA SALAH KAMU, BRAM!" bentak Mama Ella. "Kenapa dulu kamu bersikeras menikah dengan wanita itu?!"
"Benar, Kak! Kalau saja dulu Kakak dengar kata Mama, kita nggak akan punya menantu yang kayak dia!" timpal Molly.
Bram menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. "Sudah, Ma, Adik. Jangan memperkeruh suasana. Aku yang akan bicara dengan Jessy."
"Bicara?!" Mama Ella mencibir. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Wanita itu sudah jelas gila! Dia bahkan berani menamparmu!"
Bram mengusap pipinya yang masih terasa perih. Matanya sedikit menggelap, tapi ia menahannya. "Aku yang akan menyelesaikan ini, Ma."
"Hah... Bram, kamu harus menegur istrimu! Apa-apaan ini?! Berani-beraninya dia membuat keributan seperti ini!" ucap mama Ella dengan nada tak suka.
Molly mengangguk cepat. "Betul, Kak! Ini sudah keterlaluan!"
Bram menghela napas berat, berusaha menenangkan situasi. "Iya, Ma, Adik."
Mama Ella mendengus sinis. "Dia sudah jelas tidak menghormati kita! Kamu mau bicara apa lagi?! Ceraikan saja dia!"
Molly langsung menyahut, "Iya, Kak! Dia bukan wanita baik-baik! Dia kasar, tidak tahu diri, berani melawan Mama! Aku bilang juga apa, Kak Jessy itu nggak cocok untuk kita!"
Bram mengepalkan tangannya, jelas merasa tertekan oleh tuntutan ibunya dan adiknya.
"Dengar, Ma, Molly... Jessy itu istriku. Aku yang bertanggung jawab atas dia."
Mama Ella mendengus. "Tanggung jawab apanya?! Dia sudah tidak pantas jadi menantu keluarga kita!"
Bram menatap ibunya dengan lelah. "Aku tahu Jessy berubah. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku akan bicara dengannya. Aku yang akan mengurus ini."
Mama Ella masih ingin membantah, tapi Bram sudah berbalik dan berjalan menuju kamar kami.
Molly memelototi punggung kakaknya. "Kak, jangan bilang kalau Kakak masih membela dia!"
Bram tidak menjawab. Ia melangkah naik tangga.
Di dalam kamar, Jessy duduk di tepi ranjang, menatap lurus ke depan.
Tangan Jessy mengepal kuat. "Aku tidak akan membiarkan sejarah terulang. Aku akan membuang keluarga sampah ini."
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu.
"Jessy, ini aku." Suara Bram terdengar dari balik pintu. "Buka pintunya, kita perlu bicara."
Aku memutar bola mataku. "Pergi."
"Aku tidak akan pergi sampai kita bicara."
Aku mendecih, lalu membuka pintu dengan kasar. Mataku menatap Bram penuh ketidakpedulian.
"Bicara? Mau bicara apa? Mau menyuruhku minta maaf?"
Bram menghela napas. "Jessy, apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini?"
Aku tersenyum miring. "Kenapa? Kamu lebih suka aku yang dulu? Yang selalu diam dan menerima semua hinaan keluargamu?"
Bram terdiam.
Aku tertawa kecil. "Sayang sekali, Bram. Aku sudah selesai menjadi wanita bodoh."
Bram menatapku dengan tajam. "Kalau kamu punya masalah, kamu bisa bicara denganku. Tidak perlu membuat keributan seperti tadi."
Aku menatapnya dingin. "Bicara denganmu? Sejak kapan kamu pernah peduli dengan apa yang aku rasakan?"
Bram terkesiap, seolah tidak menyangka aku akan mengatakan itu.
Aku melipat tangan di dada. "Jangan berpura-pura peduli, Bram. Aku tahu kamu tidak benar-benar menginginkanku."
Bram mengerutkan kening. "Maksudmu apa?"
Aku tersenyum samar. "Tidak ada. Sekarang keluar dari kamarku."
"Jessy—"
"Aku bilang keluar!" Aku menutup pintu dengan keras di hadapan Bram.
Bram masih berdiri di depan pintu, tapi aku tidak peduli. Aku bersandar pada pintu yang baru saja kututup dengan keras, berusaha mengatur napas.
Dari balik pintu, suaranya terdengar lagi, kali ini lebih tenang.
"Aku akan memberimu waktu."
Aku mengerutkan kening.
"Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau, tak perlu meminta izin padaku."
Aku mendecih pelan. Tawaran itu terdengar seperti kebebasan, tapi aku tahu, kebebasan yang datang terlambat sering kali tidak ada artinya.
"Terserah." Aku menjawab pendek.
"Aku pamit, berangkat kerja dulu, Jes."
Beberapa detik hening. Lalu aku mendengar langkah kaki Bram menjauh.
Aku berjalan ke jendela dan menyingkap tirai. Dari sini, aku bisa melihatnya keluar dari rumah, menuju mobilnya.
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Aku memiringkan kepala. "Lucu. Sekarang dia ingin memberikan kebebasan?"
Aku tidak butuh izin darinya untuk pergi. Seharusnya, dari awal aku tidak pernah menunggu izin siapa pun.
Bram menyalakan mesin mobilnya, lalu pergi ke kantor tanpa menoleh lagi.
Aku tersenyum kecil.
"Baiklah, kalau begitu..."
Kalau Bram sudah mengizinkanku pergi ke mana saja tanpa izin, maka aku akan memanfaatkannya dengan baik.
Aku meraih ponsel dan segera menelepon Chika. Baru dua kali nada sambung, suara cerianya langsung terdengar di telinga.
“Jess! Ya ampun, tumben banget kamu nelepon duluan. Ada apa?”
Aku tersenyum tipis, meski Chika tidak bisa melihatnya. “Aku mau ketemu. Di kafe biasa.”
Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara antusiasnya kembali terdengar. “Seriusan?! Akhirnya! Kamu nggak bakal nolak ajakanku buat keluar lagi, kan?”
Aku tertawa kecil. “Kali ini aku yang ngajak, jadi nggak ada alasan buat nolak.”
“Baiklah, lima belas menit lagi aku sampai! Jangan kabur sebelum aku datang, ya!”
Aku menggeleng, meski dia tidak bisa melihat. “Nggak akan.”
Setelah menutup telepon, aku berjalan ke lemari dan mengambil mantel panjang serta tas kecilku. Kali ini, aku tidak akan membuang kesempatan yang sudah ada di tanganku.
Dengan langkah mantap, aku keluar dari kamar dan berjalan melewati ruang tengah tanpa menoleh ke arah Mama Ella dan Molly yang masih terdengar sibuk berceloteh penuh kemarahan.
Aku tidak peduli.
Sebelum mereka sempat menyadari kepergianku, aku sudah melangkah keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.
Saat mesin menyala, aku melihat bayanganku di kaca spion.
Aku tersenyum tipis. “Mulai sekarang, aku akan menjalani hidup dengan caraku sendiri.”
Lalu, tanpa ragu, aku melajukan mobil menuju tempat di mana Chika sudah menunggu.
.mengecewakan
.maaf yah, bkin mles baca klau pov mc mah