Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 - Makhluk apa mereka?
Wanita itu sontak melirik ke arah William, menatapnya lekat seraya menyunggingkan senyum tipis. Ia kemudian perlahan-lahan mendekati cowok itu sembari memilin-milin ujung rambut pirangnya. “Jadi, kau adalah pemilik liontin kristal ini? Oh, Boy ... wajahmu benar-benar menarik perhatian. Mau bertukar dengan hal lain?” tanyanya sedikit merayu.
Will balik menatapnya tajam. “Kutegaskan sekali lagi padamu. Liontin itu adalah milikku dan aku tidak pernah berniat untuk menjualnya atau menukarnya dengan apapun dan kepada siapa pun!”
“Ugh, kau pelit sekali!” keluhnya lantas menghempaskan diri ke sofa tempat kami duduk tadi. “Kalau begitu, baiklah. Aku akan mengembalikannya lagi padamu. Tapi, kau tahu ‘kan di dunia ini tidak ada yang gratis? Well, anggap saja kau membalas budi karena aku sudah mau bermurah hati menyimpan liontinmu itu dengan baik.”
Rahang Will terkatup rapat. Pandangan matanya menatap lurus pada wanita itu. Aku tahu diamnya ini sedang memutar otak untuk mencari pilihan terbaik dengan risiko terkecil. Semakin lama mengenalnya, aku jadi semakin paham dengan karakter dari seorang cowok yang memiliki kaki jenjang ini.
Steve tiba-tiba berdeham. “Kurasa urusan kita berdua sudah selesai sampai di sini. Sekarang kau harus berterima kasih pada sepupuku. Liontin kesayanganmu itu pasti sudah hancur berkeping-keping kalau aku yang menyimpannya.”
Kulihat jelas seringaian jail mencuat di wajah Steve. Selain membuat onar, rupanya ia juga senang membuat orang lain kesusahan. Kuyakin bukan hanya aku saja, tetapi siapa pun juga pasti ikut geleng-geleng kepala melihat perangainya.
“So, apa kau masih mempunyai keperluan lain denganku, Steve? Kalau tidak, kau bisa melanjutkan kencanmu lagi dengannya,” lanjut Nancy seraya menenggak salah satu minuman yang tergeletak di meja.
“Yeah, selamat bersenang-senang, Bung! Kau harus banyak belajar dariku. Bersikap baiklah padanya, apalagi dengan seorang wanita,” bisik Steve sembari menepuk pundak William. Ia lalu menggandeng tanganku keluar dari tempat gaduh itu.
Aku segera menghentikan langkah begitu tiba di pintu keluar dan kembali menoleh ke belakang. Wanita itu terlihat terus bergelayut manja dengan Will.
“Steve, kau tidak berniat untuk menjebaknya, 'kan?” kataku gusar.
“Tentu tidak, Baby. Kau tidak boleh egois. Biarkan saja William bersenang-senang untuk malam ini, oke?” balasnya enteng seraya merangkul bahuku.
***
Kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah bioskop yang terletak di tengah pusat kota. Sedikit cerita, aku juga pernah pergi ke sana bersama Arlene, Natalie, dan Kevin. Waktu itu situasi sangat ramai karena bertepatan dengan Hari Valentine yang kebetulan jatuh di akhir pekan. Sayangnya, aku dan ketiga temanku ini jadi tidak mendapat kesempatan untuk menonton film yang sedang populer pada era itu.
Sebelum datang ke loket pembelian tiket, aku dan Steve pun mendiskusikan tentang film apa yang akan kami tonton terlebih dahulu. Steve ngotot ingin menonton film romantis atau horor sementara aku tetap bersikeras ingin menonton film dokumenter. Cowok ini pasti memiliki niat tengil kalau aku setuju dengan pendapatnya. Jadi, mau tidak mau aku harus mengantisipasi hal tersebut sebelum benaran terjadi.
Setelah perdebatan yang panjang, pada akhirnya kami berdua malah tidak jadi menonton film sama sekali karena sudah kehabisan tiket. Dua kursi penonton yang tadi masih tersisa juga ternyata telah disewa oleh pasangan lain yang baru datang.
“Sudahlah! Ayo, kita pergi saja dari sini. Aku malas menonton. Tiketnya juga sudah habis,” gerutunya.
Sembari berjalan menuju ke tempat parkir, cowok itu terus bersungut-sungut. Wajahnya cemberut tak karu-karuan. Ia menendang batu-batu kecil sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Aku mengatupkan bibir ke dalam, berusaha tak tersenyum melihat tingkahnya yang lumayan menggemaskan ketika sedang ngambek.
Selama menyetir mobil, cowok itu juga tidak mengajakku bicara. Ia memasang muka masam hingga saat tiba di Sorellina—salah satu restoran Italia yang berada di Huntington Ave—untuk makan malam. Kami langsung duduk di sebuah meja khusus dua orang yang sebelumnya sudah direservasi.
Restoran ini tampak berkelas dengan dekorasi lilin aroma terapi yang berada di setiap tengah meja. Jarang-jarang aku makan di tempat mahal seperti ini.
Seorang pelayan berpakaian rapi dengan dasi kupu-kupu maroon menghampiri kami, menanyakan menu makanan apa yang ingin kami pesan. Aku memilih hidangan yang sama dengan Steve—daging sapi Milan dan juga lasagna sebagai menu makan malam.
Hanya dalam waktu beberapa menit semua makanan dan minuman yang barusan kami pesan langsung datang memenuhi seisi meja. Sebelum hari semakin larut, aku pun segera melahap santapanku. Steve kelihatannya masih merajuk—karena sampai makananku hampir habis, ia hanya memainkan kacang polong yang ada di piringnya dengan garpu.
“Well, maaf kalau tadi aku sudah membuatmu kesal. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menghancurkan kencan malam ini,” jelasku sambil menatapnya jengah.
Steve mendongak dan melirikku yang sedang duduk manis di hadapannya. “Ya, aku tahu. Kau tidak perlu membahasnya lagi.”
“Umm ....” Aku memutar bibir sembari berusaha mencari cara untuk membujuknya agar berhenti cemberut. “Mungkin nanti kita bisa menonton bioskop lagi di lain waktu.”
Ia menghela napas. “Memangnya habis kencan malam ini kau mau pergi denganku lagi?”
“Yeah, kurasa begitu. Setelah kupikir-pikir, ternyata pergi denganmu tidak seburuk yang kubayangkan selama ini.”
“Benarkah?" imbuhnya. "Jadi, kau suka pergi jalan-jalan denganku?”
Aku mengangkat bahu, membiarkan cowok itu menilai sendiri.
Steve pun tersenyum lebar. Ekspresinya perlahan mulai melunak kembali. “Baiklah. Apa kau sudah selesai makan? Kalau sudah, aku akan mengantarmu pulang sekarang.”
“Tapi, bagaimana dengan makananmu? Kau bahkan belum menyentuhnya sedikit pun.”
“Tidak masalah. Kau jauh lebih penting daripada makanan ini,” balasnya.
Aku jadi merasa bersalah sebab terlalu banyak memprotes sejak tadi.
Selepas membayar semua menu pesanan, kami berdua bergegas hengkang dari restoran ini dan memutuskan untuk mampir sebentar ke SPBU. Kulihat jam di ponselku kini telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Apa ayahmu sudah menelepon?” tanya Steve seraya kembali masuk ke dalam mobil.
Aku menggeleng. “Belum, mungkin sebentar lagi.”
“Oh, baguslah. Kalau tidak terjebak macet, sepuluh menit lagi kita pasti akan sampai.” Ia mengamati wajahku sesaat lalu beralih pada jarum indikator bensin yang menunjukkan bahwa tangki telah terisi penuh.
Di tengah perjalanan pulang, Steve sempat menceletuk sedikit mengenai William dan liontin kristalnya. Aku heran dengan alasannya mengambil benda itu dari Will selain karena sifat isengnya. Padahal, ia bisa saja membeli banyak liontin atau mungkin kalung permata lain yang jauh lebih mahal berikut tokonya sekaligus.
Suara mersik klakson mobil mendadak terdengar saling bersahut-sahutan dari jauh. Kami hampir saja terjebak macet ketika akan melewati kawasan Back Bay karena sedang ada pembukaan galeri seni baru di sana. Steve akhirnya memutuskan untuk mengambil jalur lain agar aku bisa lebih cepat sampai di rumah.
Namun, ketika ia ingin menambah kecepatan, sekelebat bayangan hitam yang entah dari mana datangnya tiba-tiba melintas tepat di hadapan kami. Steve pun langsung menginjak pedal rem dalam-dalam hingga membuat kami berdua sama-sama tersentak ke depan.
“Kathleen, kau tidak apa-apa?” Ia khawatir dan refleks mengulurkan tangannya, menahan tubuhku yang nyaris menghantam dasbor mobil.
Aku mengangguk seraya menyibak rambutku yang menutupi pandangan. “Tak apa. Aku sudah memakai sabuk pengaman.”
“Ah, syukurlah!” Ia bernapas lega kemudian menyadarkan punggungnya ke belakang. “Apa tadi aku menabrak sesuatu?”
Otot rahangku mendadak tegang. “Entahlah. Aku tidak yakin ....”
“Kalau begitu, kau tunggu di sini dulu sebentar. Aku akan keluar memastikannya.”
“Ya, hati-hati!” balasku cemas.
Steve tergesa-gesa turun dari mobilnya untuk mengecek keadaan sekitar. Cahaya terang lampu mobil fokus menyorot ke arah wajahnya. Bola matanya mengamati ruas jalan yang tampak begitu lengang. Aku ikut memperhatikan dari dalam. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Hanya ada suara mesin mobil kami yang menghalau kesunyian di sepanjang jalan. Setelah yakin semua baik-baik saja, ia pun berbalik untuk segera kembali masuk ke dalam mobil.
Akan tetapi, aku tergemap ketika mendadak melihat sesosok berjubah hitam yang muncul berjarak tiga langkah dari tempat cowok itu berdiri. Dengan nanap, aku menunjuk kaku ke balik punggungnya. Steve menatapku dengan raut bingung dari kejauhan. Ia mengerutkan alis dan menoleh, mengikuti ke arah mana tanganku menunjuk. Tapi, sosok yang berjubah hitam tadi malah menghilang dan muncul persis di hadapannya.
Steve benar-benar terkejut setengah mati. Sosok itu langsung mencekik lehernya tinggi-tinggi, mencengkeramnya selama beberapa saat lalu menghempaskan tubuhnya begitu saja. Cowok itu pun jatuh tidak sadarkan diri karena menghantam bumper mobil dengan cukup keras.
Aku berteriak histeris, tak percaya dengan apa yang sudah kulihat barusan. Napasku menderu kencang. Aku terlalu takut untuk keluar dari mobil. Tanganku bergetar hebat waktu ingin meraih ponsel di dalam tas. Akibatnya, ponselku terjatuh. Aku meraba karpet yang menjadi alas kaki mobil ini dan berhasil mendapatkan ponselku lagi. Kubuka menu panggilan. Berharap ada seseorang yang dapat kuhubungi untuk dimintai pertolongan.
Tuk ... Tuk ... Tuk ...
Bunyi ketukan itu seperti berasal dari jendela yang ada di sebelahku. Aku menoleh ke sumber bunyi tersebut. Bahuku langsung lemas ketika melihat sesosok makhluk mengerikan yang sedang menatapku dengan seringaian jahatnya. Kuku-kuku tajamnya terus mengetuk-ngetuk jendela mobil sementara lidahku kelu tak mampu mengeluarkan suara apapun, bahkan napasku yang tadinya menderu kencang, sekarang seolah telah berhenti berhembus.
Makhluk itu kemudian mendekatkan wajahnya padaku. Embusan napasnya yang berat membuat jendela mobil ini semakin berembun tebal. “Halo, Gadis manis! Apa kau bisa membukakan pintunya untukku?” sapanya dengan suara sengau dan dalam.