NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (SELESAI)

Di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk kota, Leonard berdiri di depan sebuah layar besar yang menampilkan rekaman kabur dari tempat kejadian. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ditahan.

Seseorang berdiri membelakanginya—tinggi, berwibawa, mengenakan jas hitam rapi. Robert Marvolo.

“Jadi... Anda kehilangan mereka,” ucap Robert pelan, tapi nadanya dingin seperti es dan tangannya buntung satu di pakaikan oleh perban.

Leonard menelan ludah. “Mereka pakai pistol dan pisau. Gue nggak nyangka Revan dan cewek itu bawa senjata kayak gitu.”

Robert berjalan pelan mendekatinya. “Saya sudah bilang, jangan remehkan anak itu.”

Tapi Robert hanya diam, lalu menatap layar di depannya.

“Kalau mereka cukup pintar buat ngejebak anda,” katanya, “berarti mereka bukan target biasa. Saya harus turun tangan sendiri.”

Leonard menoleh cepat. “Lo mau turun langsung?”

Robert berbalik, menatap Leonard dengan tatapan yang sulit dibaca. “Saya sudah kasih anda waktu. Tapi anda gagal. Sekarang... ini jadi urusan pribadi.”

Ia berjalan keluar ruangan dengan langkah tenang, namun atmosfir di belakangnya terasa seperti badai yang siap meledak.

...***...

Di sisi lain kota, Revan dan Riko kembali ke markas dalam keadaan lelah, tubuh penuh luka ringan dan baju kotor.

“Lo yakin Leonard bakal lapor ke Robert?” tanya Revan sambil mengompres luka di lengannya.

“Yakin. Dan itu bagian dari rencana,” jawab Riko.

Revan memandang Riko tak percaya. “Lo sengaja...?”

Riko mengangguk pelan. “Kita perlu bikin Robert gerak. Kalau dia mulai turun tangan langsung, kita bisa lacak titik lemahnya.”

Revan mendesah berat. “Lo gila, Rik.”

“Tapi kita nggak punya pilihan. Kita nggak bisa terus lari. Saatnya bikin mereka ngerasa takut.”

Revan memandang temannya itu lama. Ada sesuatu yang berubah dari Riko—ia bukan sekadar sahabat lagi. Ia mulai jadi sesuatu yang lain. Pemimpin. Musuh. Atau... target.

Dan tanpa mereka sadari, di sebuah kamera tersembunyi di luar markas, mata-mata Robert sedang merekam mereka.

Malam itu, hujan turun deras. Petir menyambar langit seolah alam pun tahu—ini bukan pertempuran biasa.

Revan, Emma dan Riko berdiri di atas gedung parkir tua, berhadapan dengan tim elite Robert, yang berpakaian hitam penuh dengan helm taktis, senjata canggih, dan mata merah menyala dari visor mereka. Lima orang. Terlatih. Kejam.

“Lo yakin bisa ngadepin mereka?” tanya Revan cepat, napasnya berat.

Emma menarik napas panjang, lalu mengeluarkan dua buah pisau kecil dari balik jaketnya. “Nggak yakin. Tapi kalau kita kabur sekarang, mereka bakal ngejar terus.

Revan menendang satu agen ke arah pilar beton, menghantamnya keras. Tapi dua lainnya langsung menyerbu dari kanan. Dia berputar, menangkis dengan besi yang ia ambil dari reruntuhan, lalu menghantam helm lawan sampai retak. Tapi mereka bukan manusia biasa—refleks mereka seperti mesin. Mungkin karena mereka memang sudah bukan manusia sepenuhnya.

Sementara itu, Emma bertarung dengan dua agen lain secara brutal. Gerakannya cepat, presisi, mematikan. Ia menusuk bagian leher satu agen, membuat helmnya menyala merah sebelum padam total. Yang satu lagi sempat menjambak Riko dari belakang, tapi dengan satu gerakan, Riko menghantam lututnya ke perut lawan dan mematahkan lengan si agen.

Tinggal satu.

Yang terakhir—lebih tinggi, lebih cepat, lebih sadis. Sepertinya bukan manusia sama sekali.

Revan, Emma dan Riko saling menatap, lalu menyerang bersamaan.

Musuh menangkis mereka berdua dengan mudah. Pukulan Revan ditahan, pisau Emma dipatahkan. Lalu... musuh itu berbicara dengan suara robotik:

“Kalian dua… target prioritas. Robert menginginkan kalian hidup. Tapi tak ada jaminan utuh.”

Riko meludah. “Bilang ke Robert... dia bisa ngambil mimpi buruknya dan—”

Sebelum dia sempat selesai, si robot menyerang, memukul Revan hingga terpental ke dinding. Riko langsung lompat, menusuk dari belakang, tapi tubuh si robot seperti baja. Riko dihantam mundur—terhuyung.

Revan terbatuk. Darah. Banyak.

“Rik… kita nggak bisa menang lawan ini,” katanya, gemetar.

Tapi Riko hanya menarik sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah detonator kecil.

“Gue tahu,” gumamnya. “Makanya gue pasang bom dari awal.”

Revan melotot. “LO GILA YA?!”

"RIK KALAU LO NGAJAK MATI JANGAN NGAJAK KAMI!!" teriak Emma sambil menenggang

Riko menekan tombolnya.

BOOM!!!

Lantai di bawah mereka meledak. Gedung parkir itu runtuh sebagian, membuat si robot jatuh ke lantai bawah bersama puing-puing beton dan debu tebal.

Revan, Emma dan Riko terlempar ke arah yang berlawanan, tubuh mereka terbanting, tapi masih hidup.

“Cepat! Kita harus keluar sebelum sisa tim datang!” Riko berteriak, menarik Revan bangkit.

Dengan tubuh penuh luka, mereka kabur ke lorong bawah tanah yang sudah mereka siapkan dari jauh hari.

Dan di balik asap dan reruntuhan... robot elite itu bangkit lagi. Separuh tubuhnya hancur, tapi mata merahnya tetap menyala. Di balik frekuensinya, suara Robert terdengar pelan...

“Menarik… kalian mulai layak dianggap musuh.”

...***...

Revan duduk bersandar di dinding lorong bawah tanah, bajunya compang-camping, wajahnya lebam, dan napasnya masih belum teratur. Lampu darurat temaram jadi satu-satunya penerangan di tempat itu. Suara tetesan air terdengar sayup, menciptakan keheningan yang justru bikin kepala makin berat.

Di seberangnya, Riko tengah membersihkan luka di lengannya dengan kain robek dan air mineral.

“Lo… serius pasang bom dari awal?” tanya Revan lirih, suaranya parau.

Riko tidak langsung menjawab. Ia mengencangkan perban seadanya, lalu menatap Revan. “Gue tahu kita bakal diserang cepat atau lambat. Itu satu-satunya cara buat kabur.”

Revan menggeleng pelan. “Lo gila.”

“Gue waras.”

Lalu Revan menunduk, mencengkeram rambutnya. “Gue… udah capek, Rik. Gila aja, dua minggu lalu gue masih anak SMA biasa. Sekarang? Gue dikejar robot pembunuh. Gue harus hidup normal, bohongin semua orang, dan tidur pun nggak pernah nyenyak.”

Riko menatapnya lama. Lalu ia bersandar ke dinding juga. “Gue ngerti, Rev. Tapi... ini jalan yang lo pilih waktu lo bilang ‘gue mau lawan Robert’.”

Revan nggak langsung jawab.

Tangannya gemetar. Entah karena trauma... atau dingin... atau dua-duanya.

“Gue takut,” bisiknya akhirnya. “Bukan cuma takut mati… gue takut gue bakal berubah. Jadi jahat. Kayak mereka.”

Riko menghela napas berat, lalu melempar sebotol air ke arah Revan. “Minum dulu. Istirahat. Lo belum jadi jahat. Lo masih bisa ngerasain takut. Itu artinya lo masih waras.”

Revan menatap botol itu… lalu membuka dan meminumnya perlahan.

Revan dan Riko baru saja keluar dari reruntuhan, tubuh mereka compang-camping, tapi mereka masih hidup.

Tapi sebelum mereka bisa ambil napas lebih panjang—dentuman keras terdengar dari belakang.

Pecahan beton beterbangan. Suara langkah logam menggema.

Robot elite Robert—yang setengah tubuhnya hancur—muncul dari asap tebal. Separuh wajahnya terbuka, menampakkan rangka logam dan kabel yang menyala merah. Mata sebelah kirinya berkedip-kedip, tapi tetap mengunci ke arah Revan dan Riko.

"Target masih hidup. Misi eliminasi dilanjutkan."

“Ini beneran nggak mati-mati...” Riko bersiap lagi, walau jelas tubuhnya udah nggak sanggup.

Revan meraih besi panjang dari lantai. “Kalau ini akhir kita… kita bikin dia inget siapa yang dilawan.”

Robot itu menyerbu dengan kecepatan mengerikan—lompatan panjang, tangan berubah jadi bilah energi tajam.

Riko melompat ke samping, mengguling, lalu menusuk dari belakang—tapi gagal.

Robot membalikkan badan, menghantam Riko ke tembok.

Revan teriak, menyerbu, menghantam kepalanya dengan pipa. Denting logam keras terdengar, tapi robot tetap berdiri. Ia meninju Revan—sekali pukulan, Revan terlempar dan darah menyembur dari bibirnya.

"Revan!" Riko berteriak dan kembali bangkit, walau kakinya pincang.

Lalu... sesuatu berbunyi bip bip bip dari tas kecil yang tergantung di pinggang Riko.

“Rev! Inget bom yang kita dapet dari Emma?!”

Revan yang terhuyung langsung nyadar. “Yang bisa matiin sistem robot buat beberapa detik?!”

“Gue bawa satu!” teriak Riko.

Robot menyerbu Riko, tapi Riko melempar bom kecil itu ke udara—dan tepat saat robot menangkapnya…

BOOOMMMM!!

Ledakan sunyi menyebar seperti gelombang listrik—tanpa api, tapi membuat udara bergetar hebat.

Tubuh si robot langsung kejang, matanya berkedip cepat, lalu mati total. Ia berdiri diam selama dua detik—cukup waktu bagi Riko dan Revan untuk menyerbu bersamaan.

Revan menghantam lutut robot dengan pipa. Riko melompat dan menusuk bagian lehernya yang terbuka—tepat ke modul utamanya.

Seketika, robot itu jatuh berlutut. Tubuhnya bergetar. Kemudian...

“Sistem... gagal—”

BOOM!!!

Bagian dalam tubuhnya meledak dari dalam, menghancurkan unit sepenuhnya.

Revan terjatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Darah menetes dari pelipisnya, dan bajunya sobek hampir di seluruh bagian. Riko duduk di sampingnya, sama-sama sekarat, tapi masih hidup.

Mereka saling pandang. Tak berkata apa-apa.

Tapi mereka tahu—itu kemenangan. Untuk kali ini.

Dan jauh di tempat lain, di balik ratusan monitor dan layar pemantau... Robert Marvolo menatap rekaman dengan mata yang menyala penuh kebencian.

“Baiklah, Revan... kau pantas aku bunuh sendiri.”

...***...

Hujan masih belum reda saat Revan, Emma dan Riko tiba di tempat persembunyian kecil mereka—sebuah markas, tersembunyi di balik lemari rusak dan tumpukan kardus. Lampu kuning menggantung lemah di atas mereka, berayun pelan seiring getaran lalu lintas di atas.

Revan menjatuhkan diri ke matras tipis, tubuhnya penuh luka memar. Riko hanya duduk bersandar di dinding, satu tangannya masih menekan perban darurat di bahu kirinya.

“...kita menang,” gumam Revan pelan, masih hampir nggak percaya.

“Untuk sekarang,” jawab Riko sambil menatap langit-langit. “Tapi lo tahu sendiri, kan… ini belum selesai.”

Emma mengangguk lemah. “Tapi setidaknya... robot gila itu udah hancur.”

Riko menoleh padanya. “Dan lo harus mulai ngerti, Robert bukan orang yang bakal diem aja. Dia kirim satu robot elite ke kita berarti dia udah nganggep lo kroco.”

“Gue emang kroco,” Revan mengangkat bahu, walau sakit. “Tapi… gue nggak sendiri.”

Riko menatap Revan beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Akhirnya lo ngerti juga.”

Revan balas senyum, walau lelah. “Kita harus siapin langkah selanjutnya.”

“Gue udah punya beberapa ide,” ujar Riko sambil membuka catatan kecil dari sakunya. “Tapi buat sekarang… lo tidur dulu. Nanti gue di marahin ayah lo lagi kalau lo gak sekolah.”

Revan tertawa kecil. “Oh iya… besok gue sekolah, ya.”

Dunia Revan mungkin sedang terbakar.

Tapi sekolah tetap masuk seperti biasa.

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
seongtaehoon: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
seongtaehoon: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!