Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 06
Mobil travel akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu neon berwarna-warni. Musik berdentum samar dari dalam, menciptakan atmosfer yang kontras dengan perjalanan sunyi sebelumnya. Sartika mengernyit, matanya menyapu sekeliling. Ini bukan terminal atau tempat pemberhentian biasa.
Sri turun lebih dulu, mengenakan senyum yang berbeda dari sebelumnya. Ia mendekati sopir, membisikkan sesuatu dengan cepat sebelum melangkah menuju pintu masuk bangunan tersebut.
Sopir, tanpa mengatakan apa pun, mengunci pintu mobil travel dari dalam.
Sartika merasakan firasat buruk menyelusup ke dalam dadanya. Ia mencoba membuka pintu, tetapi terkunci.
Beberapa wanita lain di dalam mobil mulai sadar ada yang tidak beres. Mereka saling berpandangan, beberapa mencoba mengetuk jendela, tetapi tak ada respons.
Sartika menelan ludah.
"Ada apa ini?" suara seorang perempuan terdengar panik.
Sartika tidak bisa menjawab. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, ini bukan tempat yang seharusnya mereka tuju.
Sartika semakin gelisah. Tangannya mengepal di atas pangkuan, jantungnya berdegup kencang. Ini bukan seperti yang Sri janjikan. Bukankah mereka akan diberangkatkan ke luar negeri sebagai tenaga kerja? Tapi tempat ini… suasananya berbeda.
Pintu mobil travel tiba-tiba terbuka. Sri kembali, tetapi kali ini ia tidak sendiri.
Beberapa pria bertubuh kekar dan besar mengikutinya, wajah mereka tanpa ekspresi, mata tajam menatap ke dalam mobil. Beberapa dari mereka membawa senjata—sebagian pisau yang terselip di pinggang, sebagian lagi memegang pentungan di tangan.
Sartika menahan napas. Seketika, hawa di dalam mobil terasa semakin mencekik.
Di depan pintu gedung, seorang pria dengan jas rapi dan rambut klimis berdiri dengan santai, sebatang rokok terselip di bibirnya. Ia menatap mereka semua dengan tatapan penuh penguasaan, seolah-olah ia sudah memiliki takdir mereka di genggamannya.
Pria itu menoleh pada anak buahnya. “Bawa mereka masuk. Mereka harus bersiap.”
Tanpa menunggu perintah kedua, para pria bertubuh besar itu naik ke dalam mobil.
Suara teriakan langsung pecah.
Beberapa wanita berusaha meronta, tetapi satu per satu mereka ditarik keluar dengan paksa. Ada yang menangis, ada yang memohon, ada yang menjerit ketakutan. Tapi tidak ada yang peduli.
Sartika merasa tubuhnya membeku. Ia ingin lari, ingin menolak, tetapi sebelum sempat melakukan apa pun, tangan kekar sudah mencengkeram lengannya dengan kasar.
“Jangan macam-macam,” suara pria itu dingin di telinganya.
Ia diseret keluar, napasnya memburu. Matanya liar mencari jalan keluar, tetapi tak ada celah.
Di dekat pintu masuk, Sri berdiri dengan ekspresi tenang. Tak ada kepanikan, tak ada rasa bersalah.
Sartika menatapnya dengan mata melebar, penuh ketidakpercayaan.
"Sri… ini bukan seperti yang kamu bilang!" suaranya gemetar, hampir tak keluar.
Sri hanya tersenyum tipis. “Kamu pikir kerja di luar negeri itu mudah?” ujarnya santai. “Sebelum berangkat, kita harus ‘bekerja’ dulu di sini.”
Dunia Sartika seakan runtuh saat itu juga.
Sartika hanya bisa terpaku ketika Sri dengan santainya merogoh tas para wanita satu per satu, mengambil uang dan dokumen mereka tanpa sedikit pun merasa bersalah.
“Kalian nggak butuh ini lagi,” ucapnya ringan, seolah yang diambilnya bukan sesuatu yang berharga bagi mereka.
Para wanita yang masih berusaha meronta hanya bisa menatapnya dengan marah dan putus asa. Sartika sendiri merasa tubuhnya lemas. Uang hasil kerja keras suaminya, dokumen pentingnya. Semua dirampas begitu saja.
Ketika tangan Sri menyentuh tas Sartika, instingnya langsung bekerja. Ia mencengkram tas itu erat, menolak menyerah begitu saja.
"Jangan, Sri! Ini uangku! Aku butuh ini!" serunya, matanya dipenuhi keputusasaan.
Namun Sri hanya menghela napas bosan. Dengan isyarat kecil, salah satu pria bertubuh kekar menarik tas itu dengan paksa dari genggaman Sartika.
Sartika berusaha mempertahankan, tetapi tenaganya tak sebanding.
Bruuk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuatnya terhuyung mundur. Pandangannya berbunang-kunang, rasa panas langsung menjalar di kulitnya.
"Jangan melawan," bisik Sri dengan suara dingin.
"Kalau kamu pintar, kamu akan patuh. Siapa tahu, nanti aku masih bisa membantumu pergi ke luar negeri."
Sartika menatapnya dengan penuh kebencian dan rasa sakit. Air matanya menggenang, tetapi ia menolaknya jatuh.
Di dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa.
Dinda.... Maafkan ibu.
Begitu Sri selesai merampas semua uang dan dokumen mereka, para wanita itu segera digiring masuk ke dalam bangunan besar yang tampak megah dari luar, tetapi terasa begitu mencekam.
Sartika berjalan dengan langkah berat, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di dalam, tetapi firasat buruk terus menyelimutinya.
Pintu besar terbuka, memperlihatkan ruangan yang dipenuhi dengan cahaya remang-remang dan dentuman musik yang menggema. Di dalamnya, beberapa wanita berpakaian minim berlalu-lalang, sebagian duduk menemani pria-pria yang tertawa sambil memegang gelas berisi minuman keras.
Sartika menelan ludah. Ini bukan tempat untuk memberangkatkan TKW seperti yang dijanjikan Sri. Ini…
"Masuk!" suara kasar seorang pria bertubuh besar membuyarkan pikirannya. Ia dan wanita-wanita lain dipaksa melangkah lebih dalam.
Di depan, seorang pria berusia sekitar empat puluhan duduk santai di sofa mewah, dengan sebatang cerutu terselip di bibirnya. Matanya meneliti mereka satu per satu seperti sedang menilai barang dagangan.
"Bagus," gumamnya puas.
"Mereka bisa menghasilkan banyak uang."
Sartika merasa lututnya melemas. Ini bukan perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik. Ini adalah perangkap.
Dan ia baru saja jatuh ke dalamnya.
Para wanita itu digiring ke sebuah ruangan besar dengan penerangan minim. Dinding-dindingnya berwarna gelap, dan di sudut ruangan terdapat beberapa lemari yang sudah penuh dengan pakaian yang tampak mencolok dan minim kain.
Sartika menelan ludah. Tubuhnya tegang ketika ia melihat Sri berdiri di tengah ruangan dengan tangan terlipat di dada. Wanita itu tersenyum tipis, tetapi sorot matanya penuh dengan kuasa.
"Baik, sekarang kalian semua berganti pakaian," perintah Sri, melemparkan beberapa pakaian ke lantai. "Mulai malam ini, kalian bukan lagi perempuan biasa. Kalian harus membuat pelanggan senang."
Sartika membeku.
Begitu juga wanita-wanita lain di sekitarnya. Mereka saling bertatapan dengan ekspresi ketakutan.
"Apa maksudnya ini?" salah satu dari mereka bersuara, suaranya bergetar.
Sri hanya tersenyum sinis. "Maksudnya? Kalian tidak perlu repot-repot bekerja di luar negeri. Kerja kalian sekarang ada di sini, di tempat ini."
"Tapi… kau bilang kami akan jadi TKW!" Sartika akhirnya membuka suara, suaranya penuh dengan kemarahan yang ia tahan.
"Tidak ada yang bohong," Sri mengedikkan bahu santai. "Kalian tetap bekerja, hanya saja bukan di luar negeri, melainkan di tempat yang lebih… menguntungkan."
Beberapa wanita mulai menangis. Sartika mengepalkan tangan. Ia ingin berteriak, ingin lari, tetapi pintu ruangan itu sudah terkunci dari luar.
"Lebih cepat kalian menerima kenyataan ini, lebih baik untuk kalian," lanjut Sri, nada suaranya tetap dingin. "Sekarang, ganti pakaian."
Tidak ada yang bergerak.
Sri menghela napas lalu menoleh ke arah pria-pria bertubuh kekar yang berdiri di sudut ruangan. "Kalau ada yang membantah, bantu mereka untuk paham."
Ancaman itu cukup jelas.
Sartika menggigit bibirnya, menatap pakaian yang tergeletak di lantai. Pikirannya berputar-putar, mencari jalan keluar dari mimpi buruk ini.
Dengan tangan gemetar, Sartika mengambil salah satu pakaian yang dilemparkan ke lantai. Bahan kainnya tipis, nyaris transparan, jauh dari apa yang pernah ia kenakan sebelumnya. Ia menelan ludah, menoleh ke wanita-wanita lain yang juga terlihat ketakutan dan ragu.
Salah satu dari mereka menangis pelan, berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan ketika mengenakan pakaian itu. Yang lain hanya berdiri kaku, wajah mereka penuh kepasrahan.
Sartika memejamkan mata sejenak. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi akal sehatnya berkata bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia merasakan malu, jijik, dan ketakutan bercampur menjadi satu.
Sri memperhatikan mereka dengan tatapan puas. "Bagus," Katanya dengan suara tenang.
"Lihat? Tidak sulit, kan?"
Sartika mengepalkan tangan, mencoba mengendalikan amarah dan ketakutannya. Ia harus mencari cara untuk keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana? Mereka diawasi, dan pintu-pintu terkunci.
Hatinya menjerit, tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa mengikuti permainan mereka.... sampai ia menemukan jalan keluar.
Sri melemparkan beberapa pasang sepatu hak tinggi ke lantai, suaranya berdenting saat bertemu dengan ubin dingin. "Ganti sandal jepit kalian dengan ini," perintahnya, suaranya terdengar puas melihat kepatuhan mereka.
Sartika menatap sepatu itu dengan enggan. Ia tidak pernah memakai hak tinggi sebelumnya, apalagi dalam situasi seperti ini. Ia merasakan ketidaknyamanan merayapi tubuhnya, tetapi ia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan.
Wanita-wanita lain pun dengan ragu mengambil sepasang sepatu, sebagian dari mereka harus berpegangan ke tembok agar tidak kehilangan keseimbangan saat mencoba memakainya. Ada yang langsung terjatuh karena tidak terbiasa, menyebabkan tawa kecil dari beberapa penjaga.
Sartika akhirnya memasukkan kakinya ke dalam sepatu tersebut. Rasanya aneh, kaku, dan tidak nyaman. Setiap langkah yang ia coba terasa canggung, tapi ia tidak punya pilihan selain menurut.
Sri tersenyum puas melihat mereka. "Nah, sekarang kalian terlihat lebih menarik. Sudah siap bertemu tamu spesial kita?" ucapnya dengan nada manis yang terasa mengancam.
Sartika meneguk ludah. Jantungnya berdegup kencang. Ia harus segera menemukan jalan keluar, sebelum semuanya terlambat.
Sartika melirik ke sekeliling ruangan dengan waspada. Beberapa wanita lain juga terlihat gelisah, saling bertatapan tanpa berani mengucapkan sepatah kata pun. Mereka semua tahu ada sesuatu yang salah, tapi tak ada yang tahu bagaimana cara keluar dari sini.
Sri melangkah mendekati seorang pria yang sejak tadi berdiri di ambang pintu—pria yang jelas merupakan pemilik tempat ini. Ia mengenakan jas hitam dan menatap mereka semua dengan ekspresi puas.
"Bagus, Sri," katanya sambil menyeringai. "Mereka terlihat jauh lebih pantas sekarang."
Sri tersenyum penuh kemenangan, lalu berbalik menghadap para wanita. "Dengar, ya," katanya dengan suara lembut yang terasa menekan. "Mulai malam ini, kalian akan bekerja di sini. Anggap saja ini kesempatan emas untuk mendapatkan banyak uang. Lebih dari yang pernah kalian bayangkan!"
Seorang wanita di sudut ruangan tiba-tiba berbicara, suaranya bergetar. "Tapi… kita ke sini bukan untuk ini. Kau bilang kita akan bekerja di luar negeri sebagai TKW…"
Sri mendengus kecil. "Dan siapa bilang kalian tidak akan bekerja? Kalian hanya perlu sedikit menyesuaikan diri. Pelayanan seperti ini juga pekerjaan, bukan?"
Beberapa wanita mulai menangis. Mereka baru benar-benar menyadari bahwa mereka telah ditipu.
Sartika mengepalkan tangan, tubuhnya gemetar karena marah dan takut. Ia tidak bisa tinggal diam. Dengan suara tertahan, ia berkata, "Sri, tolong… biarkan kami pergi. Kami tidak ingin melakukan ini."
Sri menatap Sartika tajam, lalu tertawa kecil. "Sayang sekali, Tik. Tapi kalian sudah ada di sini, dan tidak ada yang bisa pergi begitu saja."
Pria bertubuh kekar yang berdiri di samping pintu melangkah maju, mendekati mereka dengan tatapan dingin.
"Sudah cukup basa-basinya," kata pria berjas hitam itu. "Bawa mereka ke ruangan masing-masing. Klien pertama mereka sudah menunggu."
Secepat kilat, para penjaga mulai menarik wanita-wanita itu satu per satu. Tangisan dan teriakan memenuhi ruangan.
Sartika memberontak saat seseorang mencengkeram lengannya. "Lepaskan aku!" teriaknya, tapi cengkeraman itu semakin kuat.
Panik mulai merayapi tubuhnya. Ia harus keluar dari sini. Ia harus mencari cara untuk kabur—demi Dinda.
Dengan sekuat tenaga, Sartika mengangkat kakinya dan menginjak sepatu pria yang menahannya. Lelaki itu mengumpat kesakitan dan Sartika memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari ke arah pintu.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara Sri terdengar, dingin dan mengancam.
"Sartika," ucapnya perlahan. "Kalau kau mencoba kabur, aku tidak akan segan-segan menghancurkan hidupmu. Termasuk… hidup anakmu."
Dunia Sartika terasa berhenti berputar. Ia membeku di tempat, matanya membelalak saat mendengar ancaman itu.
Dinda…
Dengan tangan gemetar, Sartika menoleh ke arah Sri. "Jangan bawa-bawa anakku," bisiknya, suaranya nyaris hilang.
Sri tersenyum tipis. "Kalau begitu, bersikaplah manis."
Sartika menggigit bibirnya, menahan isak yang ingin pecah. Ia tidak punya pilihan. Tidak sekarang.