Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan ... anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas
“Laki-laki enggak punya otak! Enggak tahu diri! Benalu bahkan lebih ada harga dirinya ketimbang kamu! Berani kamu mempersulit perceraianmu dengan Mendung, MATI kamu!” Itulah yang Salman katakan setelah membogem wajah kiri Andika. Ucapan yang membuat Andika teramat dendam. “Maksudnya, sebenarnya Mendung baik-baik saja? Mendung tidak mati seperti yang orang-orang bahkan aku kira? Tega kamu, Ndung. Di saat aku khawatir ketakutan mikirin kamu, kamu justru mengadu ke laki-laki masa lalu kamu? Apa bedanya kamu dan Yanti, padahal kamu tahu, Salman juga sudah punya anak dan istri? Gudel emang kamu!” batin Andika.
Yanti dan Andika ketar-ketir. Keduanya sempat tidak tidur. Namun kemudian Yanti meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Salman hanya menggertak saja. Hingga karena itu juga, Yanti memilih untuk tidur, dan tentunya dengan sang suami.
Paginya sekitar pukul tujuh pagi, Yanti dan Salman terbangun karena suara gemuruh mesin yang mengiringi bergetarnya rumah mereka. Rumah mereka seperti terkena gempa dahsyat. Bukan hanya lantai dan apa yang di permukaannya saja yang bergetar. Karena langit-langit kamar mereka juga seolah akan runtuh.
“Gempa, Mas. Gempa!” ucap Yanti panik sepanik-paniknya. Kemudian Yanti berteriak, “Lindu ... lindu!” Ucapan yang selalu warga setempat lantangkan, di setiap ada gempa.
“Keluar ... gempanya gede banget!” sergah Andika langsung siaga.
“Aku takut, Mas! Gendong!” rengek Yanti.
“Ya ampun si Yanti. Manja banget, lagi darurat gini bukannya sama-sama berjuang, malah ... beda banget sama Mendung!” batin Andika mau tak mau tetap membiarkan Yanti naik ke punggungnya. Ia menggendong Yanti keluar dari rumah yang bergetar parah hingga atap-atapnya saja ikut goyang-goyang.
“Buuuuuuukkkkk!” Ada yang jatuh, dan terdengar dari rumah bagian depan.
Suara tersebut bertepatan dengan Andika yang sedang membuka kunci pintu rumah untuk keluar. Suara mesin yang sangat keras masih terdengar jelas. Namun, kenyataan tersebut tak mematahkan niat Andika untuk keluar dari rumah dan sesegera mungkin melarikan diri. Apalagi, sang istri yang ia gendong di punggungnya, sibuk menepuk-nepuk punggungnya agar ia melangkah lebih cepat lagi.
Namun setelah pintu terbuka, ketakutan berselimut rasa panik yang begitu besar Andika dan Yanti, terjawab. Benar-benar tidak ada gempa meski rumah mereka seolah akan roboh akibat getaran dahsyat yang melanda. Sebab ternyata itu karena kedua eksavator kiriman Salman yang telah bekerja.
“Hei ... apa-apaan, kalian?” Yanti histeris. Lebih menyebalkannya lagi lantaran pembongkaran sekaligus perataan rumahnya juga sampai jadi tontonan. Beberapa dari mereka sampai mengabadikan menggunakan ponsel. Ada juga yang sampai memakai kamera khusus layaknya wartawan andal.
“Apa-apaan kalian. Berhenti! Berhenti, tidak? Kalian pikir, kalian siapa?!” Yanti sibuk berteriak. “Kalian tidak takut ke saya? Saya akan tuntut kalian. Saya akan melaporkan kalian ke polisi! Berhentiiiiiii!”
Andika terdiam putus asa. Ia beberapa kali menghela napas. Bisa apa dirinya, jika Yanti yang berkuasa saja, seolah tidak bisa melawan kuasa Salman?
“Salman ... pengaruhnya sungguh luar biasa. Mantan pengamen itu bahkan ternyata bos Yanti! Bajin gan emang! Kenapa hidupku sekejam ini. Mendung pasti merasa diterbangkan ke awan. Apalagi sampai detik ini, sepertinya Salman masih sangat mencintai Mendung. Padahal, Salman sudah memiliki istri muda yang juga sangat cantik. Yanti saja enggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Dayatri istri Salman!” batin Andika tak sedikit pun membantu sang istri yang sedang teriak-teriak kepada orang-orang di depan sana. Baik kepada sopir eksavator, juga kepada warga yang menonton dan sampai melakukan rekaman menggunakan ponsel.
***
Sekitar tiga jam kemudian, penantian Mendung akhirnya berbuah manis. Ia yang kembali merasa meriang, diizinkan menjenguk sang putri. Berdebar-debar dadanya, selain Mendung yang memang jadi harap-harap cemas.
“Ya Allah ... kenapa perasaanku sangat tidak enak.” Batin Mendung seolah dihiasi dua jiwa yang berbeda. Satu Jiwa yang sibuk berkeluh kesah bahwa firasatnya tidak enak, dan begitu yakin putrinya tidak baik-baik saja. Sementara satunya selalu memintanya untuk berpikir baik, memintanya berhenti berpikir buru k.
Dalam dada Mendung seolah tengah ada gemuruh di musim penghujan. Sungguh, Mendung tetap tidak bisa untuk tidak berpikir macam-macam. Apalagi seiring langkahnya yang makin memasuki ruang besuk, di dalam sana terdengar keributan.
“Jangan pura-pura begitu! Kami tidak segan menghukum kamu! Bikin susah saja!” teriak suara seorang wanita terdengar sangat tegas.
“Hah hahahah ... dasar orang jahat! Aku balas kalian ya! Ayah, pergi! Jangan lukai bundaku lagi! Pergiiii!”
Suara barusan Mendung kenali sebagai suara Pelangi sang putri. Mendung langsung merinding, panas dingin, kebas, benar-benar tak karuan. Kendati demikian, Mendung sengaja mempercepat langkahnya. Malahan di tengah kedua tangannya yang mengepal, kedua kaki Mendung membawanya berlari.
“Bunda ... aku takut, Bunda! Bunda kenapa Bunda tega biarin aku sendirian. Bunda jahat ... Bunda!” Pelangi makin tidak bisa mengontrol diri. Setelah bangku kayu di sana ia dorong sekuat tenaga. Meja panjang yang masih terbuat dari kayu juga Pelangi angkat.
Petugas wanita yang kesal karena kelakuan Pelangi, dan wanita itu yakini hanya bagian dari sandiwara Pelangi, sengaja mengambil sapu ijuk dari sebelahnya. Dengan cepat ia mengangkat sapu dan siap menghantamkannya ke tangan kanan Pelangi. Andai Mendung tidak teriak dan meminta petugas wanita itu berhenti. Tentu gagang sapu ijuk itu sudah menghantam tangan kanan Pelangi.
“Berhenti jangan pernah kamu melukai Pelangi. Ngie, ... Bunda datang, Ngie. Maaf karena Bunda baru bisa datang, Ngi. Maaf ... Bunda enggak ada maksud tega biarin kamu di sini sendiri. Bunda berusaha cari bantuan, Ngie. Istighfar ... istighfar, Ngie. Ini Bunda ....” Mendung tersedu-sedu menghampiri sang putri.
Pelangi yang kurus bisa memanggul meja kayu panjang, dan harusnya berat. Selain itu, Pelangi juga sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa Pelangi merasa beban karena tengah memanggul meja.
“Kamu ... siapa?” tanya Pelangi dengan emosi yang turun drastis. Kedua matanya yang basah sekaligus bergetar, menatap nanar wanita tua kurus di hadapannya. Jarak mereka tak kurang dari satu meter.
Langit kehidupan seorang Mendung benar-benar runtuh. Inikah firasat dan buah dari kekhawatirannya?
Pelangi menurunkan meja dari punggungnya seiring tubuh wanita tua di hadapannya yang berakhir terduduk lemas. Wanita tua itu terus menatapnya penuh kepedihan di tengah air mata yang terus berlinang.
Dan dibatalkanya jg baru aja kan