Naidim, Widy dan Grady adalah teman dekat sejak berada di bangku SMP dan SMA. Mereka memiliki banyak kesamaan dan selalu ada satu sama lain. Namun, saat memilih jurusan kuliah, mereka mengambil jalan yang berbeda. Widy memilih jurusan teknik, sedangkan Naidim lebih tertarik pada bidang pendidikan keolahragaan. Perbedaan minat dan lingkungan membuat hubungan mereka renggang. Widy yang selama ini diam-diam menyukai Naidim merasa sangat kehilangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widyel Edles, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petualangan Remaja Mencari Bintang
Tiga sahabat karib yang tumbuh bersama, berbagi suka dan duka, dan selalu ada satu sama lain. Kini, mereka dihadapkan pada momen penting dalam hidup: memilih SMA.
Suatu sore, mereka berkumpul di bawah pohon rindang dekat asrama. Sambil menikmati es teh manis buatan ibu kantin, mereka mulai berdiskusi tentang masa depan.
“Jadi, kalian sudah memutuskan mau masuk SMA mana?” tanya Grady, memulai percakapan.
Widy tampak bersemangat,
“Aku udah pasti banget, Grad! Aku mau masuk SMA Harapan Bangsa. Sekolahnya kan terkenal banget, gurunya juga hebat-hebat. Pasti seru banget belajar di sana!”
Grady mengangguk, “Wah, keren banget, Wid! Aku juga sempat kepikiran sih, tapi kayaknya jauh banget dari rumah.”
Naidim yang selama ini diam, akhirnya bersuara, “Kalau aku, kayaknya mau nyoba sekolah di luar kota aja deh. Pengen ngerasain suasana baru dan mandiri, lagian Aleyra juga nyoba disana.”
Grady dan Widy saling berpandangan. Mereka tak menyangka jika sahabat mereka itu memiliki rencana yang berbeda.
“Luar kota? Jauh banget, Dim,” ujar Grady.
Naidim tersenyum, “Iya, tapi aku penasaran sama kehidupan di kota yang lebih besar. Lagian, kan ada internet, kita bisa tetap berhubungan kok.”
Widy menambahkan, “Iya sih, Dim. Tapi aku bakal kangen banget sama kalian.”
Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka akhirnya sadar bahwa masing-masing memiliki alasan dan tujuan yang berbeda. Grady memilih SMA yang dekat dengan rumah agar bisa tetap dekat dengan keluarga. Widy ingin meraih prestasi di sekolah favorit. Sementara itu, Naidim ingin keluar dari zona nyaman dan mencoba hal baru.
Meskipun mereka akan berpisah sekolah, mereka berjanji akan tetap menjalin persahabatan. Mereka akan saling mendukung dan menyemangati satu sama lain, tak peduli jarak dan waktu.
“Pokoknya, kita harus sering-sering video call ya!” ujar Widy.
Naidim tertawa, “Pasti! Kita juga bisa liburan bareng lagi nanti.”
Grady mengangguk setuju. “Iya, kita tetap akan menjadi sahabat terbaik selamanya.”
Meskipun sedih harus berpisah, mereka juga merasa senang karena masing-masing telah menemukan jalannya sendiri. Mereka yakin bahwa persahabatan mereka akan semakin kuat, meski mereka berada di tempat yang berbeda.
Naidim begitu bersemangat menyambut bulan Maret. Ini adalah bulan di mana mimpi besarnya untuk bersekolah di SMA impian akan mulai terwujud. Dengan semangat membara, ia mulai mempersiapkan diri untuk ujian masuk. Hari demi hari, ia gunakan untuk belajar dengan tekun, mengerjakan soal-soal latihan, dan mengulang kembali materi yang sudah dipelajari.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Naidim berangkat menuju lokasi ujian dengan perasaan campur aduk antara gugup dan antusias. Saat ujian dimulai, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengerjakan semua soal dengan teliti dan cermat. Beberapa soal terasa mudah, namun ada juga yang cukup menantang.
Namun, Naidim tidak menyerah dan terus berusaha memberikan yang terbaik.Setelah ujian selesai, Naidim merasa lega namun tetap penasaran dengan hasilnya. Hari-hari berikutnya terasa begitu panjang sambil menunggu pengumuman. Ia seringkali membayangkan bagaimana rasanya jika diterima di SMA impiannya. Ia juga membayangkan bagaimana teman-teman sekelasnya nanti.
Akhirnya, hari pengumuman tiba. Dengan jantung berdebar kencang, Naidim membuka daftar nama siswa yang diterima. Matanya langsung tertuju pada nama-nama yang dicetak tebal. Dan... Tidak ada! Namanya tidak terpampang di sana! Nama Aleyra juga tidak terpampang disana. Naidim langsung murung dan kecewa pada dirinya sendiri.
Naidim merasa langit seakan runtuh saat itu juga. Kecewa, sedih, dan putus asa bercampur aduk dalam hatinya. Ia merasa semua usahanya selama ini sia-sia. Air matanya tak terbendung lagi, membasahi buku catatannya yang penuh coretan rumus matematika dan catatan bahasa Indonesia.
Beberapa hari setelah pengumuman, Naidim masih kesulitan menerima kenyataan. Ia mengurung diri di kamar, malas makan, dan sulit tidur. Teman-temannya berusaha menghiburnya, namun Naidim merasa tak ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik.
Widy dan Grady merenung di sudut perpustakaan sekolah. Mata mereka tertuju pada buku-buku tebal yang tertata rapi di rak, buku-buku yang mungkin akan menjadi teman setia sahabat mereka seandainya ia lolos ujian. Suasana hening seketika pecah oleh isak tangis Naidim yang tak terbendung.
"Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa," ucap Widy lirih, tangannya meraih bahu Grady.
"Aku juga sedih, Wid. Tapi kita harus tetap kuat untuknya."
"Aku takut dia akan menyerah," sahut Grady di antara isak tangisnya.
"Dia sudah bekerja keras selama berbulan-bulan."
Widy mengangguk mengerti. Ia ingat betul bagaimana sahabat mereka itu selalu terlihat sibuk belajar, bahkan sampai larut malam. Kegagalan ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat baginya.
Keesokan harinya, Widy dan Grady memutuskan untuk mengunjungi sahabat mereka di asrama. Mereka membawa sekotak kue dan minuman Boba rasa coklat kesukaannya dan sebuah buku motivasi yang mereka harap bisa membangkitkan semangatnya.
"Hei, jangan sedih terus," sapa Widy ceria saat membuka pintu.
Sahabat mereka hanya tersenyum tipis, matanya masih terlihat sembab. Widy dan Grady pun menceritakan tentang buku motivasi yang mereka bawakan dan mengajaknya untuk membaca bersama.
"Aku tahu ini sulit, tapi kamu tidak boleh menyerah," ucap Grady.
"Masih banyak kesempatan lain di depanmu."
Sahabat mereka terdiam sejenak, lalu perlahan-lahan tersenyum. "Terima kasih, kalian berdua. Aku akan mencoba untuk bangkit."
Widy dan Naidim merasa lega melihat sahabat mereka mulai membuka hati. Mereka tahu bahwa perjalanan masih panjang, namun mereka yakin bahwa sahabat mereka akan mampu melewati semua ini.
Namun, perlahan-lahan, Naidim mulai menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Ia tidak bisa terus berlarut dalam kesedihan. Ia ingat pesan ibunya, "Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, Nak. Justru kegagalan bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita belajar dan menjadi lebih kuat."
Dengan semangat yang baru, Naidim mulai bangkit. Ia memutuskan untuk tidak menyerah pada mimpinya. Ia mencari tahu sekolah lain yang juga bagus dan sesuai dengan minatnya.
Dia memilih untuk ikut dengan Widy mendaftar di sekolah Harapan Bangsa, dia yakin sekolah yang dia pilih sekarang juga merupakan sekolah yang terbaik yang mampu membawanya pada masa depan yang lebih cerah.
Widy dan Naidim bersama sama mengisi formulir pendaftaran melalui jalur prestasi nilai raport.
Dengan penuh semangat, Widy dan Naidim duduk berdampingan, berdiskusi sambil mengisi formulir pendaftaran. Keduanya sama-sama gugup namun antusias. Mereka saling menyemangati, berbagi harapan dan cita-cita yang ingin mereka raih di Sekolah Harapan Bangsa.
Setelah formulir selesai diisi, mereka menyerahkannya kepada petugas pendaftaran. Proses seleksi pun dimulai. Widy dan Naidim menunggu dengan sabar, hati berdebar-debar. Mereka berharap yang terbaik dan yakin bahwa usaha mereka tidak akan sia-sia.
Beberapa hari kemudian, pengumuman hasil seleksi pun keluar. Dengan hati berbunga-bunga, Widy dan Naidim melihat nama mereka tercantum dalam daftar siswa yang diterima. Mereka sangat bersyukur dan tidak sabar untuk memulai petualangan baru di sekolah impian mereka.
Sama halnya dengan Grady, dia masuk ke SMA Nusantara melalui jalur prestasi nilai raport.
Meski Grady berada di sekolah yang berbeda,dengan Naidim dan Widy mereka yakin persahabatan mereka akan tetap terjalin seperti kalanya.
jika berkenan mampir juga dikarya baruku trimakasih😊