Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 9
Fisa mengendap di samping gudang yang pintunya sedikit terbuka, di dalam sana ia mendengar suara-suara yang tak asing di telinganya. Suara tangis dan tawa yang bersahutan, suara gadis meminta ampun tapi tak dihiraukan, suara bentakan dan juga hinaan.
Di samping jendela yang terhalang lemari kayu, Fisa mencoba memata-matai mereka. Melihat dengan seksama apa yang sebenarnya diperbuat Alena dan kawan-kawannya pada Hana, beberapa kali ia menyaksikan sendiri bagaimana kejamnya ketiga gadis itu memperlakukan Hana selama ini.
Bagi mereka Hana hanyalah mesin, mesin yang harus siap melayani kehendak tuannya. Membeli makanan dan minuman, membawa tas dan barang-barang, mengerjakan tugas-tugas semua orang, dan terkadang masih harus rela menyerahkan barang pribadinya yang diminta mendadak oleh ketiga kawannya itu.
Fisa segera bersembunyi kala ketiga gadis itu meninggalkan gudang dengan senyuman puas, menyisakan Hana sendiri dengan beberapa puntung rokok yang berserakan di sekitarnya. Gadis itu terbatuk-batuk, menyentuh dada dengan nafas yang tersisa satu-satu.
“Hana!” panggil Fisa menyadari keadaan gadis itu memburuk. Tergeletak diatas lantai dengan tubuh lemah akibat menghirup asap rokok. Fisa merasa ada yang aneh dengan Hana, hanya beberapa puntung rokok saja gadis itu sudah mengalami sesak nafas. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.
Hana menunjuk ke bawah pada bagian saku rok seragam. Tanpa banyak tanya Fisa segera mencari sesuatu yang mungkin diinginkan gadis itu, dan ia menemukan obat hirup di sana. Matanya melebar menyaksikan obat itu, mulutnya terbuka dan tertutup berulang kali saat menyadari mungkin inilah yang menjadi alasan cahaya putih yang dilihatnya di kaki Hana. Gadis itu menatap Hana tajam lantas merebut obat dan segera menghirupnya.
“Kamu sakit Hana?” Fisa menatap iba pada gadis yang berusaha tetap tenang itu, kini ia bersandar pada sebuah bangku siswa tak terpakai.
“Kenapa kamu di sini? pergilah!” rintihnya.
“Aku akan mengantarmu ke UKS, keadaanmu sedang tak baik-baik saja,” ujar Fisa bergegas membantu Hana berdiri tapi gadis itu menepis tangannya, mendengus pelan sembari membuang muka.
“Orang-orang seperti kalian sama saja, tak akan peduli pada gadis penyakitan sepertiku, pergilah! aku tak ingin hidupku semakin hancur karena bersamamu.”
Fisa memandang datar, selama ini belum pernah membujuk seseorang, dan kini ia tak tahu harus bicara apa lagi pada gadis itu. Keadaan Hana berangsur membaik, secara perlahan gadis itu mulai bangkit dan meninggalkan Fisa begitu saja. Fisa tak berkedip memastikan setiap langkah yang diambil Hana telah benar, perlahan tapi pasti mengikuti Hana untuk memastikan keselamatannya.
Hampir mencapai pintu gudang saat Fisa sadar cermin kaca yang dipakai Alena untuk mengerjainya kemarin tersimpan di tempat itu, dan saat ini Hana berdiri tepat di depannya sambil memegang dada, mata gadis itu terpejam dengan bibir yang sedikit meringis menahan sakit. Fisa melihat cahaya putih bergerak lambat menyentuh pinggul, ia terkejut menyadari gerak cahaya begitu cepat, padahal kemarin cahaya putih hanya sampai lutut saja.
“Hana!” jeritnya tiba-tiba. “Hana, aku sudah tahu semuanya, aku tahu perlakuan mereka padamu, kenapa kamu hanya diam? kenapa kamu membiarkan Alena dan yang lain menyakitimu seperti ini? bukankah kalian teman? dan, kamu bisa menyesal jika terus seperti ini.” Fisa tahu tak bisa mencegah atau mengubah takdir, tapi hati kecilnya menolak untuk diam saat sebuah kebenaran terpampang nyata di depan mata.
Hana berbalik badan melanjutkan perjalanan, Fisa kembali mengikutinya. Mereka kini berjalan pelan tanpa suara, masing-masing dengan isi kepala yang begitu ramai.
***
Sepulang sekolah, di rumah Arjuna...
Suasana rumah Arjuna sunyi senyap, orang tuanya pergi belanja bulanan sambil membawa adik kecilnya, sementara itu Arjuna duduk berdua di ruang tamu dengan pintu utama terbuka lebar. Fisa sengaja datang berkunjung karena ada hal penting yang ingin disampaikan pada Arjuna.
“Jadi maksudmu sebelumnya Alena dan yang lain membawamu ke gudang belakang? bahkan merekam video? kenapa baru bilang sekarang, Naf!” bentak Arjuna, membanting buku di tangannya. Ia sudah mendengar keseluruhan cerita tentang Hana dan Alena.
“Astaghfirullah, kamu apa-apan sih tiba-tiba ngegas gitu, lagian orang aku nggak kenapa-napa, mereka cuma nakut-nakutin aja.”
Arjuna mengusap wajah gusar, tatapannya menyimpan amarah dan kekecewaan yang melebur menjadi satu kesatuan. Pria itu membiarkan helaan demi helaan terdengar nyata, sedangkan matanya bergetar seolah baru saja mengalami kegagalan besar dalam hidupnya.
“Kamu jangan lebay dong, yang penting kan aku nggak apa-apa. Justru yang bahaya itu Hana, aku ingin menolongnya tapi aku sadar tidak bisa, apa yang harus kulakukan Arjun? haruskah seumur hidupku menjadi yang pertama mengetahui waktu kematian orang-orang disekitarku? itu mengerikan Arjuna,” katanya mengusap basah di sudut netra.
“Terakhir kali mencoba menyelamatkan seseorang dengan tanda kematian, aku mengira sudah berhasil, tapi nyatanya penyebab kematiannya berubah. Entah berubah atau memang itulah adanya, tapi aku… aku…”
Fisa tak sanggup melanjutkan kalimatnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis, bayangan kecelakaan Celine kembali berputar dalam ingatan, Arjuna segera menenangkannya. Meraih segelas teh hangat dan meminta Fisa meminumnya, meletakkan gelas teh di tangan gadis itu, membiarkan hangatnya menenangkan Fisa.
“Naf, aku tahu kamu memang tak bisa menolong mereka, tapi… bukankah kamu masih bisa membantu mereka pergi dengan tenang dari dunia ini?” Arjuna mengangguk pelan kala Fisa menatapnya tajam, gadis itu seolah meminta penjelasan. “Pastikan dia pergi tanpa membawa dendam dan kesedihan di hatinya, mungkin kamu bisa membuatnya sadar betapa toxicnya pertemanan Hana dan Alena selama ini. Lebih-lebih jika kamu bisa membuat dia dekat dengan tuhannya sebelum ajal menjemput.”
Fisa tak percaya dengan apa yang didengarnya ini, Arjuna memintanya berdamai dengan keadaan, sementara kematian Celine masih menjadi momok menakutkan baginya selama ini. Bisakah ia melakukan hal-hal yang dikatakan Arjuna tadi? dan berpura-pura kuat.
“Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang Arjun?”
...