Dewi Amalina telah menunggu lamaran kekasihnya hampir selama 4 tahun, namun saat keluarga Arman, sang kekasih, datang melamar, calon mertuanya malah memilih adik kandungnya, Dita Amalia, untuk dijadikan menantu.
Dita, ternyata diam-diam telah lama menyukai calon kakak iparnya, sehingga dengan senang hati menerima pinangan tanpa memperdulikan perasaan Dewi, kakak yang telah bekerja keras mengusahakan kehidupan yang layak untuknya.
Seorang pemuda yang telah dianggap saudara oleh kedua kakak beradik itu, merasa prihatin akan nasib Dewi, berniat untuk menikahi Kakak yang telah dikhianati oleh kekasih serta adiknya itu.
Apakah Dewi akan menerima Maulana, atau yang akrab dipanggil Alan menjadi suaminya?
***
Kisah hanyalah khayalan othor semata tidak ada kena mengena dengan kisah nyata. Selamat mengikuti,..like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐, yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadar T'mora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Seolah bertemu harapan
"Baik!" kata Dewi, kemudian mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggilan.
"Kita pernah bertemu sebelumnya, Bu. Sama, waktu itu juga ibu memborong dagangan saya di lampu merah. Makanya tadi saya berani mengetuk kaca. Karena melihat ibu, saya seolah melihat harapan!" lanjut gadis itu berkata.
Lampu merah?
Seingat Dewi hanya satu kali dia pernah membeli sesuatu di lampu merah dan itu sudah lama, kira-kira 3 bulan yang lalu. Kalau tidak salah, sekeranjang buah mangga udang yang kemudian dibagikan pada semua asisten rumah tangganya.
Apakah itu gadis ini?
Pantesan familiar, pikir Dewi. Tapi waktu itu juga sama, dia terpanggil untuk membeli dagangan gadis ini karena wajahnya.
Saat dia mengingat-ingat tetap tidak ingat siapa orang yang mirip dengan gadis ini, maka Dewi melupakannya. Sekarang mereka bertemu lagi. Kata pepatah drama Korea, jika bisa bertemu kedua kali artinya jodoh.
Regar tiba-tiba ditelpon disuruh masuk ke ruang tunggu barbershop. "Bu Dewi, apakah ada sesuatu yang penting?" Dia bertanya.
Dewi tidak ingin penasaran lagi, siapa gadis ini biar nanti diselidiki pelan-pelan. "Siapa nama Kamu?" Dia bertanya pada si penjual keliling.
"Eva Devi," jawabnya.
Nama yang agung. Sangat kontras dengan kisah hidupnya, pikir Dewi. "Baik, Eva! Ini Regar, orang kepercayaan saya. Kamu pergi dengannya untuk menjemput adikmu, mengerti!"
Secara naluriah Eva mengangguk, kemudian Dewi meneruskan. "Setelah itu, Regar!" Dewi menoleh ke supirnya. "Kamu bawa mereka ke Mansion. Minta Sudarti mengatur segala sesuatunya, dia akan menjadi keluarga Thamrin."
"......" Regar memandang Eva yang duduk di lantai dengan sekarung jajanan. Kok tiba-tiba, pikirnya.
Mata besar Eva terbuka lebar bertemu tatapan heran Regar kemudian pandangannya beralih ke mata indah Dewi. "Serius, Bu?"
"Apa kamu pikir saya orang yang suka bercanda!" ketus Dewi.
Oh!
Gadis itu terkejut akan ketegasan Dewi. Tapi meskipun kakak cantik ini galak, demi sebuah identitas dia akan menahannya untuk saat ini. Ntar kalau dia dan adiknya sudah punya status yang jelas, masalah kabur mah gampang. Bukan sekali dua kali dia kabur dari seseorang. Sudah sering, dan kemampuannya melarikan diri sudah tidak perlu disangsikan lagi.
Dewi mengeluarkan satu kartu gold dari dompetnya lalu diulurkan pada Regar, Regar menerimanya. "Mengenai dagangan, kamu beritahu Bapak ini bagaimana cara penyelesaiannya." Dewi menatap tegas Eva.
"......" Saking tiba-tibanya gadis itu terpelongo tidak tau harus terharu ataukah bahagia. Apakah benar fealingnya setiap bertemu kakak cantik ini seolah bertemu dengan harapan?
"Kamu gak mau identitas?" tanya Dewi melihat raut ragu-ragu di wajah Eva.
"Mau, Bu!" jawab gadis itu cepat. "Hanya belum percaya diri aja, hehe."
Belum percaya diri atau belum percaya saya, Dewi tersinggung. Thamrin Hotel meskipun tidak setinggi Dragonasse tower, tetaplah tower. "Saya ini pemilik Hotel Thamrin! Kamu tau Thamrin Hotel?" bentak Dewi.
Heg!
Eva tercengang. Mimpi apa aku bertemu Dewi Amalina, pikirnya. Dia pernah melamar kerja disana sekali, dulu saat dia baru-baru kabur dari rumah. Tapi ibu kota lebih kejam dari ibunya sendiri yang suka menyiksa. Bermodalkan ijazah SMA bagaimana mungkin dia diterima, sementara untuk posisi klining servis aja butuh orang dalam belum uang pelicin.
"Saya juga biasa berjualan keliling di sana, Bu." Eva berkata pelan, perlahan menundukkan wajahnya. Namun tetap melihat ke Dewi dari bawah ke atas, ingin melihat apakah ada prank disana?
Dewi melotot kejam, ingin tau juga apakah Eva bermental lemah seperti si Dita. "Masih berpikir kalau saya pelaku Trafficking?"
"Tidak, tidak! Bukan itu maksudnya," geleng gadis berwajah kecil itu melambaikan tangannya.
"Kesempatan baik tidak akan datang dua kali." Dewi menatap Eva dingin, seolah memarahi karyawan yang ketahuan melakukan kesalahan.
Eva juga tidak ingin kesempatan ini hilang. Apapun imbalan yang harus dibayar pada kakak cantik ini, dia akan melunasinya beserta dengan bunga. Harapan hampa sudah biasa baginya tapi apa salahnya mencoba, baiklah saya mau. Eva mengerjab menatap Dewi, "Tapi...."
"Tapi apa lagi?" bentak Dewi lagi tidak berusaha melembutkan suaranya.
"Kenapa ibu mau menolong saya?"
"Ya, karena kamu butuh pertolongan! Apa lagi kamu datang ke depan saya dengan cerita sedihmu itu, selamat! Kamu berhasil membuat saya teharu tapi jika kamu ada niat hendak menipu saya....coba saja kalau mau merasakan akibatnya. Sudah sana! Tinggalkan jajanan saya 2 kantong buah kering, sisanya berikan pada mbak-mbak di rumah."
Eh tapi, bukankah biasanya dibelakang orang-orang jalanan ada bos yang kejam. Dewi yang hampir melupakan hal penting itu segera bertanya, "Apa kamu punya pemilik sehingga kita perlu menebus kamu darinya?"
Kakak cantik pemikirannya ternyata sangat detail, Eva lega bertemu dengan orang baik ini. "Tidak, Bu. Saya independent women." Dia menggeleng dengan senyum dikulum dan itu semanis gula.
Dewi menyunggingkan senyum samar di bibirnya mendengar bahasa inggris Eva yang medok bahasa daerahnya. Bagaimana dia hidup dijalanan tanpa gangguang dari lelaki-lelaki sangean dengan penampakan sebagus ini, haih.
.
.
Regar membawa gadis itu pergi, tinggal Dewi sendirian tapi bukan benar-benar sendiri karena ada manusia lain di ruang tunggu itu dalam jarak tertentu.
Dari kaca transparan kelihatan Alan sedang duduk baring 120° sambil diurut kepalanya. Mata pria itu terpejam seolah tertidur. Rambut gondrongnya telah dirapikan, karena bekas guntingannya terlihat berserakan di lantai.
Duduk di kursi relaksasi, Dewi mendengarkan musik sambil makan cemilan campuran buah kering macam-macam rasa. Ada anggur, nangka, kiwi, stroberi, durian,...
"Durian?" Bagaimana mengeringkan buah durian, tanya Dewi pada dirinya sendiri.
Hm, dia teringat kembali pada si gadis penjual keliling yang wajahnya familiar. "Semoga dia bisa diandalkan jadi asistenku," pikir Dewi.
Penampilannya terlalu mempesona untuk tinggal di kolong jembatan. Membesarkan anak orang lain dalam keterbatasan ekonomi, menujukkan bahwa dia memiliki jiwa sosial. Punya niat menyekolahkan adik yang bukan adik kandungnya, menandakan bahwa Eva punya visi misi masa depan.
"Makan apa?" suara Alan mengejutkan Dewi. Pria itu duduk di sofa di samping kursi relaksasi yang digunakan perempuan itu.
Dewi tergamang, buah kering yang hampir masuk ke mulutnya pun terjatuh. Bisa gila saya melihat ketampanan kamu Alan, pikirnya. Kenapa pria ini harus menjadi suamiku, sih. Dewi semakin kesal dengan kebodohan masa lalunya.
Kalau begini mana tahan dia kalau nggak having seks, sementara akal sehatnya merasa tidak pantas menjadi wanita Alan. Lagi-lagi Dewi menyesal karena sudah memberi kehormatannya pada Arman.
"Malah bengong," tegur Alan lagi.
"Aku menyesal telah mengajak kamu pangkas," keluh Dewi sambil mengunyah satu keripik rasa jambu air.
"Lho, memang kenapa?" Alan bertanya heran.
Keliling dinding salon ini dilapisi kaca yang bisa bercermin, seperti mata-mata yang mengawasi semua pelanggan yang datang. "Karena aku semakin tampan, bukankah ini hal baik?" Alan menatap wajah barunya di cermin yang ada di depan mereka. Rambut di potong cepak, jambang dan kumis dirapikan jadi terlihat muda dan segar.
"Narsis," dengus Dewi. "Pasti banyak tante-tante yang naksir kamu, kan?"
"Tante mana?" bantah Alan cepat. "Saya tidak berurusan dengan tante-tante!"
"Lalu, sebagai sekuriti hotel apa saja yang kamu lakukan?"
"Ya, menjaga keamanan dari para pembuat onar. Apa lagi?"
"Keamanan tante-tante yang datang ke club cari hiburan, heh! Jawab yang jujur, orientasi seks kamu ke perempuan atau laki-laki?"
Hah! Alan terkejut dengan keanehan pertanyaan Dewi. "Apa aja bisa asalkan dia seseorang yang pantas mendapatkan saya," jawab Alan.
Nyesss!
Nyesek gak tuh, nyesek lah masa enggak. Itulah yang ditakutkan Dewi, apakah dia pantes buat Alan? Sekarang Dewi takut.
Seumpama mereka having seks dan Alan tau kalau dia udah nggak virgin. Pria mana yang bisa menerima dirinya dipecundangi.
Dewi paling takut pada pandangan kecewa dan merendahkan yang akan ditujukan Alan padanya disuatu hari yang naas.
Kenapa baru sekarang kamu masuk ke kehidupanku, Alan? Setelah sesuatu yang paling berharga di diriku hilang dimakan pengkhianat cinta. Haruskah aku membunuh Arman untuk melampiaskan rasa penyesalan ini?
"Ayo! Katanya mau makan malam?" Alan menegur lagi. Keningnya berkerut heran, kenapa Dewi banyak termenung saat memandangnya?
________
waahhh makin seru nich thorrr 😍😘
mampir absen yaaa😉😘