Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 13
"Tidak ada makanan Mas, Mas Slamet tidak membeli makanan sekalian," Ranti rupanya bicara bukan waktu yang tepat. Tidak tahu bahwa Slamet saat ini sedang galau tingkat dewa.
"Beli mie instan saja" jawab Slamet berlalu begitu saja meninggalkan Ranti.
"Kenapa tuh, Mas Slamet? Tumben?" Gumam Ranti menyusul Slamet ke kamar. Begitu masuk melihat suaminya tengah melamun menatap keluar jendela.
"Mas Slamet kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku mau mandi" Jawabnya dingin lalu masuk ke kamar mandi. Bak mandi yang berlumut tidak pernah di sikat itulah pemandangan kamar mandi Slamet saat ini. Padahal dulu ketika ada Mia semua kinclong.
Dia ambil sabun mandi yang sudah tinggal sedikit itupun sudah terbelah menjadi tiga. Slamet kepal-kepal sabun hingga menjadi bulatan, tetapi naas, sabun tersebut mental ke dalam wc.
"Ran... Di kamar ada stok sabun tidak?" Tanya Slamet melongok dari pintu.
"Tidak ada" jawaban Ranti dari kamar, sudah Slamet duga.
Slamet bersandar di tembok dengan mata terpejam. Hal semacam ini dulu tidak pernah Slamet pikirkan yang dia tahu hanya tinggal memakainya saja, semua Mia yang atur.
"Ah... sudahlah..." Slamet melawan pikiranya sendiri lalu memutar kran, tetapi tidak keluar air.
"Ada apa lagi ini?" Slamet pun kembali keluar. Tiba di kamar, matanya menangkap Ranti yang sedang duduk di tempat tidur meninggikan bantal, sambil senyum-senyum mantengin handphone.
"Ran, air kran kok nggak keluar?" Tanya Slamet biasa saja, tidak mau merusak kebahagiaan Ranti, padahal hatinya kesal entah kepada siapa.
"Oh iya Mas, aku tadi mau bicara, tapi kan Mas Slamet langsung ke kamar," Ranti pun turun dari tempat tidur.
"Mau ngomong apa?" Tanya Slamet yang hanya berdiri berbalut handuk sepinggang.
"Token listrik mati Mas, kan sudah bunyi sejak kemarin"
Deg.
Slamet seketika duduk lunglai di kursi kayu memijit pelipis. Dia baru ingat pulsa listrik di rumah ini pun dulu Mia yang membeli satu bulan yang lalu. Hal seberat ini pun Slamet tidak pernah berpikir.
"Kamu kenapa sih, Mas?" Ranti mengulangi pertanyaan, merasa bingung melihat sikap suaminya sejak pulang kerja tiba-tiba berubah.
"Tolong kamu ke konter membeli pulsa listrik," lirih Slamet. Pria itu merasa lelah jiwa raga.
"Mana uangnya..." Ranti menengadah, wanita itu benar-benar tidak tahu situasi.
"Pakai uang kamu dong Ranti" Slamet heran, padahal uang gajian sudah diambil Ranti semua.
"Kalau aku punya uang tidak sampai lapar begini Mas, sudah membeli mie instan sejak siang tadi" Ranti nyolot.
"Apa kamu bilang? Gajian belum ada dua minggu sudah habis? Kamu buat apa uangnya Ran?!" Slamet pun akhirnya membentak Ranti untuk yang sekian kali padahal tidak pernah dia lakukan kepada Mia.
"Kamu pikir uang dua juta satu bulan sekarang ini cukup sampai dimana Mas? Mikir Mas... Mikir..." Ranti pun tak kalah membentak. Percekcokan pun akhirnya terjadi.
"Kamu pikir cari uang itu gampang Ranti! Perlu kamu tahu, kaki dan tangan ini sampai kapalan karena setiap hari menyikat wc untuk mendapatkan uang yang kamu katakan hanya segitu!" Emosi Slamet pun meluap-luap, bagai ombak yang menerjang. Padahal selama menjadi suami Mia Slamet adalah pria yang pembawaannya tenang.
Slamet yang sudah tidak tahan melempar handuk tidak jadi mandi, lalu mengenakan kaos sebelum pergi.
Walaupun mendengar teriakan Ranti, Slamet sudah tidak peduli. Dia ambil kunci motor lalu tancap gas pergi entah mau kemana.
************
Sementara itu, Mia sudah sampai di rumah. Saat ini dia sedang menghitung uang selama jualan dua hari termasuk pesanan sudah terkumpul 500 ribu laba bersih.
"Alhamdulillah..." ucap Mia, dia simpan uang di dalam tas. Besok pagi baru akan dia tabung di bank. Setelah mencuci tangan di kamar mandi dapur, Mia merebahkan tubuhnya di atas tikar. Mia menatap langit-langit rumah lalu berdoa agar selalu sehat dan usahanya lancar. Banyak pr yang akan Mia kerjakan. Merapikan rumah ini walaupun tidak bagus, setidak rapi dan nyaman untuk dia tinggali.
Sore berganti malam suasana sudah sepi, hanya terdengar suara jangkrik yang berasal dari belakang rumah Mia, masuk melalui sela-sela jendela.
Di atas tikar Mia sudah tidur pulas, tidak terasa bahwa kepalanya tanpa bantal.
Pagi harinya, kali ini Mia tidak berjualan. Seperti yang sudah di rencanakan hari-hari sebelumnya, dia pun mencangkul. Kaos putih, celana pendek selutut, tidak lupa topi. Itulah yang Mia kenakan saat ini.
Crak. Crak. Crak.
Mia angkat cangkul di tangan, lalu dia tancapkan ke tanah selayaknya seorang petani. Keringat membasahi tubuhnya hingga ke wajah. Padahal baru jam tujuh pagi, tetapi tanah yang luasnya 100 meter persegi itu sudah hampir selesai.
"Mia... astagfirullah..." ucap Putri yang baru muncul di pintu belakang kaget bukan main melihat Mia mengerjakan pekerjaan laki-laki.
"Kenapa Mbak? mencari keringat akunya," Mia yang membungkuk pun mengangkat kepala menatap Putri yang baru selesai mandi. Mia menjawab santai tidak terlihat lelah.
"Kenapa kamu tidak menyuruh orang saja sih Mia..." Putri melongok dari pagar bambu yang hampir rapuh sebagai pembatas antara tanah Mia dan miliknya. Putri benar-benar heran, Mia wanita lembut tutur katanya, tetapi tidak menyangka tenaganya luar biasa. Tanah yang kemarin sore masih di penuhi rumput liar, saat ini sudah menjadi lahan siap ditanami.
"Iya Mbak" jawab Mia tidak mau debat. Baginya selagi bisa, pekerjaan pria maupun wanita tak ada salahnya dia kerjakan.
Satu jam kemudian, tanah sudah menjadi lahan siap ditanami. Mia duduk memandangi hasil kerja kerasnya. Satu botol air, dia minum sedikit demi sedikit hingga habis, Mia lalu ke dalam.
"Mia... kamu mau kemana lagi?" Putri yang baru menjemur pakaian melihat Mia keluar sudah menggunakan baju yang berbeda.
"Aku mau ke pertanian Mbak" Mia memaparkan hendak membeli bibit apotek hidup yang bagus, selagi musim hujan nanti sore akan dia tanam.
Di Indonesia ini lahan luas, tetapi seiring berjalannya waktu apotek hidup nyaris punah, hingga harga di pasaran pun mahal.
Dengan diantar becak, Mia pun berangkat, dalam perjalanan netranya melihat ibu sepuh tengah duduk seorang diri di pinggir jalan menggunakan akar sebagai alas.
"Berhenti Bang"
"Ada apa Mbak" tukang becak pun berhenti.
"Tunggu sebentar, saya mau menolong Ibu sepuh" Mia segera turun mendekati Paulina yang tak lain mama Vano.
"Ibu sepuh, kenapa duduk disini?" Mia berjongkok di depan Paul yang kaget karena kehadiran Mia.
"Saya lagi jalan-jalan tapi kaki saya kekilir" Paulina menunjuk area mata kaki yang merah.
"Ya Allah... kenapa Ibu sepuh jalan sendiri?" Mia mengurut perlahan kaki Paulina.
"Iya, si Dona sedang pulang ke rumahnya" papar Paulina. Wanita tua itu merasakan enak kakinya diurut Mia.
"Mari saya antar Ibu sepuh" Mia akan melanjutkan mengurut kaki Paul tiba di rumah nanti.
"Terimakasih... tapi kaki saya sakit buat jalan" Paul mengatakan setelah minum jamu rutin buatan Mia kakinya sembuh. Namun, sekarang justru terkilir dan sakit untuk berjalan, hendak telepon Vano tidak membawa handphone.
"Mari Bu" Dengan mengucap bismillah, Mia mengangkat tubuh nenek. Tukang becak yang melihat itu pun terperangah. Nenek itu walaupun tidak gemuk tetapi badanya berisi tentu berat.
Paulina pun tak kalah terkejut, karena tiba-tiba tubuhnya melayang dalam gendongan Mia, hanya dalam hitungan detik bokongnya sudah pindah ke becak.
"Pak antar kami ke blok B"
"Siap, Mbak"
...~Bersambung~...