NovelToon NovelToon
Petals Of Greedy

Petals Of Greedy

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Reinkarnasi / Epik Petualangan / Perperangan / Masalah Pertumbuhan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Fadly Abdul f

Ini merupakan cerita kelanjutan, pelengkap ending untuk cerita Pelahap Tangisan dan baca cerita pertamanya sebelum cerita ini.

Di sebuah kota terdapat seorang gadis, dia dikaruniai keluarga beserta kekasih dan hidup selayaknya gadis remaja. Hidupnya berubah drastis dikarenakan kekasihnya meninggal sewaktu tengah bekerja, disebabkan itu Widia sangatlah terpukul akan apa yang terjadi dan tidak sanggup menerimanya. Dalam keadaan kehilangan arah, tiba-tiba saja boneka yang diberikan kekasihnya hidup dan memberitahu jikalau jiwa kekasihnya masih bisa tinggal di dunia.

Dengan harapan itu, Widia memulai perjalanan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Akankah Widia mampu mengembalikan nyawa kekasihnya? Yuk! Ikuti petualangan Widia untuk merebut kembali sang pujaan hatinya. Tetap ikuti dan dukung cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fadly Abdul f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Bab 15 Bunga Keserakahan

"Mantra yang aku baca hanya.." Aria kini menghirup udara bersiap melisankan kata-kata. "Umm... 'lindungi putriku, Adiira!' apa hanya itu kalimat yang perlu diba---!"

Tentara yang mengendarai mobil tercengang begitu Aria membuka pintu mobil, melompat secara mendadak dan berguling-guling di jalanan. Dia tidak lama kemudian bangkit, sebelum pengawalnya datang dan berlari tanpa mengacuhkan mereka semua, langkahnya hanya fokus untuk mencapai tujuannya seperti sedang tergesa-gesa.

Orang itu menerkam seekor Drake dan menginjak badan Drake sampai hancur, dengan kekuatan bagai seekor gorila. Dia melanjutkan perjalanannya dengan kecepatan seperti mobil yang lagi balapan liar, mantan polisi yang sekarang menjadi tentara ini tersenyum masam, berpikir bagaimana kondisi fisiknya setelah berlari sekencang itu.

Tak lama kecepatannya sedikit melambat, meski kakinya masih kaku untuk mengerem, alhasil dia menubruk sebuah mobil di depan pintu bunker sebelum mampu menguasai kecepatan sendiri. Dia terhuyung-huyung dulu sebelum masuk duluan, selagi pengawalnya berhenti dan mempersiapkan persenjataan mereka, segera menyusul.

"Saat kita masuk, jangan lepaskan tembakan peringatan bila ada penyihir lain di dalam. Itu bisa menyebabkan kepanikan terha---!"

Ketua regu menghentikan ucapannya, semuanya merasai hawa panas semakin dekat, mereka memutuskan menjauhi pintu bunker dan bersiap siaga membidik apa yang keluar dari dalam. Ketua bicara, "sampai sekarang pak Aria belum memberi instruksi jelas. Karena itu sementara saya yang akan memberi arahan, misal yang keluar adalah antek-antek si kecemburuan tembak mati."

Moncong senjata mengarah menuju pintu bunker dengan keheningan mencekam, tidak lama muncul sekelebat bayangan manusia dengan sayap seperti kelelawar, tentu gencaran peluru terpelesat dan melukai mahkluk terbang tersebut. Sekalipun tubuhnya terluka dia masih belum jatuh dan terbang bergoyang kiri kanan meski tidak jatuh.

"Hei sebetulnya kekuatan apa yang kita lawan?"

"Entah. Tapi, yang pasti negara-negara masih meributkan apa memusnahkan atau memelihara kekuatan itu," jawab ketua regu sebelum menghela napas, dan berkata, "mungkin saja di dalam ada korban atau warga terluka, siapkan tandu lipat dengan kotak pertolongan pertama."

***

Aria merasai pening bahkan kaki dan lengannya mati rasa usai beberapa detik. Dia menjumpa para pengawalnya datang, sehingga menguasai situasi dan menenangkan para pengungsi sekaligus bermaksud mengamankan putrinya. Sungguh Aria merasa dipukuli penat, ia seketika tersentak begitu kewaspadaan turun, Maira sedang merangkak mendatangi hendak menyampaikan sesuatu.

Boneka ini seperti kehilangan rangka tubuhnya sehingga pergerakannya terputus-putus, Aria menyembunyikan keberadaan Maira memegangnya layaknya memangku sebuah boneka seram.

"Tuan..."

"Hah?"

Mirip seperti orang mengigau, Maira memanggil-manggil tuannya berulang-ulang kali membingungkan Aria yang sedang membawanya. Sedang dilanda keheranan teleponnya berdering lagi, bersama helaan napas, dia kini membuka handphone dan memperoleh panggilan Sarah kali ini. Dia bahkan mengirimkan ribuan pesan sekaligus.

"Ya ada ap---!"

"Mayat Kak Adii gerak mulu!!"

"Kenapa kamu masih belum biasa? Ibu kamu juga masih tenang, 'kan?" Tanya Aria.

Sarah sekarang lagi mengembuskan napas tergesa-gesa sebelum berteriak, "aku masih mau jadi normal! Manusia yang panik kalo ada hak gak wajar, jangan beradaptasi sama hal-hal abnormal, tua bangka!"

"K-Kenapa saking paniknya kamu jadi kasar begitu?" Kata Aria, menahan rintihan sedih, seperti ada anak panah menancap dadanya sekarang. "Rasanya lebih nyeri kamu ketimbang ditembak peluru setahun lalu," bandingnya Aria, sebelum 'ia membisu merenungkan sesuatu perihal.

Tiba-tiba Aria terperanjat kaget karena menyadari bahwa Maira memanggil-manggil tuannya terus, tentara yang menenangkan warga pun dikirimkan Aria untuk membawa Adiira kemari maupun membawa Maira pada dirinya. Seusai berdiskusi singkat mereka sepakat untuk membawa Maira menuju rumah, segera Aira bergegas menuju keluar bunker, mengabaikan warga yang terlelap.

Dia menyadari kekuatan yang ditempelkan Adiira disetiap penjuru kota pulih kembali, pengaruhnya yaitu untuk mengelabui para warga, ketika mereka terlibat 'kan suatu ancaman penyihir kesadaran meredup dan ingatan yang ada terasa runyam. Oleh karena itu dari dulu hingga sekarang keberadaan penyihir menjadi susah terungkap.

"Tapi, dengan keributan sebesar ini, pemerintah juga 'kan kesulitan menyembunyikan segalanya," gumam Aria seraya merenung. Tiba-tiba....

Beban Maira memberat semakin lama, sampai titik Aria harus menjatuhkannya di trotoar jalan dan tidak lama wujudnya beralih ke pedang yang tertancap. Dia segera mencabut pedang segenap tenaga, menemukan kalau Aria kesusahan, tentara lain turut serta menolong untuk membawa Maira. Namun apa saja yang diperbuat, pedang ini tak mau berpindah biar satu senti, sekalipun.

Sehabis kelelahan mereka akhirnya memutuskan segera membawa Adiira kemari saja, meski membawa orang koma ditengah-tengah kekacauan dan serangan Wyfern tidaklah bijak, Aria merasa itu sebuah keputusan yang tepat menurut intuisinya. Dia mengalami perasaan aneh seperti musti mempertemukan keduanya sekarang juga.

"Eehh?!"

Tanah disekelilingnya pedang Maira berguncang semirip gempa bumi, darah-darah selingkungan mereka secara misterius mengalir, menghampiri lokasi Maira. Dengan perintah lewat gestur tangan Aria, mereka menjauh dari pedang itu yang tampaknya sedang melakukan sesuatu.

Saat cairan-cairan merah menggumpal, sumbernya entah masih memandang darimana atau tidak, Aria merasa darah yang ikut berkepal-kepal juga berasal dari manusia yang menjadi korban. Dia menghela napas memikirkan semua nyawa yang melayang, karena pertikaian penyihir.

"Kami mendapatkan kabar, kalau mereka segera sampai sebentar lagi," kabar seorang prajurit.

Aria menghela napas, "baguslah!" Jawabnya Aria singkat.

Tidak lama ada sepasang anting tercipta dengan mutiara dengan hiasan kelopak daun-daun, gumpalan merah mulai terurai menjadi kumpulan benang, menjahit sarung pedang dan sebuah kemeja putih. Pria berkacamata ini tertegun mengapa benang merah berubah menjadi putih. Terlebih lagi siapa yang menjahit? Kepalanya dipenuhi ini.

"Jadi... konektornya itu anting?" Ujar Widia melirih pelan.

Tahu-tahu putrinya kini datang dengan lesu menyamperi pedang Maira, dia mengambil salah satu anting, memasangnya di telinga kanan dan meletakkan badan sebelah bawah ke tanah. Si ayah langsung teriak-teriak mempertanyakan sebab putrinya malah tertidur, kelihatan sekali, Widia mendatangi dengan mengantuk.

Bising kendaraan lapis baja untungnya mencapai mereka dan kedatangan Adiira jelas, pintu mobil terbuka, Aria langsung matanya mendelik menemukan Adiira berjalan terseok-seok menuju pedang Maira dan Widia dengan wajah pucat, benar-benar serupa mayat hidup. Lagipula ia baru langsung pulih dari kondisi koma menuju kemari.

Widia menggeliat di jalan, kelihatan menggoda dan Aria yang melihat itu entah mengapa kesal. Seperti, putrinya sedang menyambut kedatangan suaminya seketika bangun tidur. "Kumohon jangan bermesraan," batin Aria.

"Nnh... kok kamu baru pulang, Dii?" Tanya Widia dengan senyum mesra, gadis itu sungguh-sungguh melempari kekasih dengan senyum simpul menunjukkan kebahagiaan hatinya. "Diia rindu ama Adii..." tambahnya.

"Ah, putri kecilku..." lirih Aria.

Para pengawalnya kelihatan bersimpati, salah satu dari mereka datang dan melingkarkan tangannya di pundak pria itu.

"Saya gak mau dipeluk pria berotot!" Teriak Aria.

"... jadi, anda mau pria yang biasa aja, gitu?"

"Pangkat kalian mau diturunkan?" Ujar Aria, memalingkan muka dan menerima kenyataan seberapa lengketnya putri dia terhadap kekasihnya yang baru bangun. Meski masih kelihatan lemah, bahkan terus terang, kurus kering.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!