(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bolehkah Lyla tinggal di rumah ini?
"Ayo, Mas! Aku bantu kembali ke kamar," Via tetap berusaha membantu Wira berdiri, walaupun laki-laki itu terus menolak.
Setibanya di kamar, Via membaringkan Wira, membuka sepatu dan jaket yang digunakan suaminya itu. Aroma minuman yang menguar dari mulut Wira membuat Via beberapa kali harus menahan rasa mual.
"Kau tidak ada bedanya dengan Shera. Kalian berdua wanita murahan!" ucap Wira dengan suara berat. Kedua matanya telah terpejam, namun bibirnya terus bergumam-gumam memaki. Tidak ada yang bisa dilakukan Via selain mengusap dada. Wanita itu segera keluar dari kamar, menuju lantai bawah dimana kamarnya berada. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kasur yang lusuh. Ada setitik air mata yang tertahan di sana.
Tiba-tiba terdengar suara deringan ponsel milik Via. Wanita muda itu segera meraih benda berbentuk persegi panjang itu. Tampak di layar tertera nama Bu Retno, membuat seulas senyum tipis hadir di wajah cantiknya. Ia menggeser simbol hijau agar segera terhubung dengan wanita yang telah membesarkannya itu.
"Assalamu Alaikum, Bu!" ucap Via.
"Walaikum salam Via. Apa kabar, Nak! Kamu baik-baik saja, kan? Sejak menikah kamu jarang menghubungi ibu."
"Alhamdulillah, baik Bu. Ibu sehat, kan?" tanya Via. Ia terlihat beberapa kali mengulum bibirnya, menahan air mata yang telah menggenangi kelopak matanya.
"Ibu sehat."
"Lyla?"
"Lyla juga baik. Hanya saja sejak kamu pergi, Lyla jadi sering menangis mencari kamu. Dia bilang mau tinggal sama bundanya."
Sebisa mungkin Via menahan agar suara isakannya tidak terdengar oleh Bu Retno. Ia berusaha terdengar sebahagia mungkin untuk menutupi keadaan sebenarnya dari wanita yang dianggapnya bagai ibu sendiri itu. "Kalau begitu biar nanti aku minta izin Mas Wira untuk membawa Lyla tinggal bersama kami, Bu."
"Iya, kasihan Lyla terus-terusan menangis. Dia belum terbiasa tidur tanpa kamu."
"Ya sudah, Bu. Nanti aku akan bicara dengan Mas Wira."
"Kamu jaga diri ya Nak. Jangan terlambat makan. Kamu itu selalu lupa makan."
Mendengar ucapan Bu Retno membuat Via tak dapat membendung air matanya. "Tidak, Bu. Mas Wira itu baik dan perhatian. Aku tidak kekurangan apapun di sini," ucapnya berbohong.
"Syukurlah, Nak. Ya sudah nanti ibu hubungi lagi."
Panggilan terputus, Via kembali meletakkan ponselnya di atas sebuah meja. Ia menangis sejadi-jadinya di kamar sempit dan pengap itu. Rasanya Via tak dapat lagi membendung kerinduannya pada sosok gadis kecil yang selama empat tahun mengisi hari-harinya. Kehadiran Lyla menumbuhkan alasan bagi wanita itu untuk bertahan hidup.
******
Sore itu Wira sedang duduk di ruang tengah dengan sebuah laptop di pangkuannya, ketika Via datang menghampiri dengan membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkan di atas meja. Namun, sama sekali Wira tak meliriknya. Tak peduli sebaik apapun Via memperlakukan suaminya itu. Bagi Wira, Via tetaplah seorang wanita yang buruk.
"Mas ... ada yang mau aku bicarakan," ucap Via takut-takut.
"Ada apa?" tanyanya ketus. Sejak seminggu tinggal di rumah di sana, sikap seperti itulah yang diterima Via dari sang suami.
"Kalau Mas mengizinkan, aku mau membawa Lyla untuk tinggal di sini, Mas. Apa boleh?"
"Kau pikir rumah ini panti asuhan? Jadi kau bisa membawa orang seenaknya tinggal di sini?"
Via terdiam. Ucapan Wira sudah mewakilkan bahwa laki-laki itu tak mengizinkan Via membawa Lyla untuk tinggal bersama mereka.
"Maaf, Mas. Tapi Bu Retno bilang, Lyla selalu menangis mencariku. Tolong izinkan Lyla tinggal di sini, Mas. Lyla tidak akan mengganggu. Dia akan tidur di kamar belakang bersamaku."
"Kalau aku sudah bilang tidak artinya tidak! Aku tidak mau kau bawa anak harammu itu untuk tinggal di rumahku!" bentak Wira.
Sambil menahan air matanya Via berkata dengan suara pelan, "Lyla bukan anak haram, Mas!"
Jawaban Via pun membuat Wira tertawa sinis. "Lalu kalau bukan anak haram apa namanya? Kau belum belum pernah menikah. Lalu bagaimana kau bisa punya seorang anak, kalau bukan hasil hubungan gelapmu."
Via mengusap setitik air matanya. Sekali lagi mencoba membujuk Wira. "Tolong aku, Mas. Aku hanya punya Lyla saja. Aku tidak akan meminta hal lain dari Mas Wira, asalkan Lyla boleh tinggal di sini. Aku akan melakukan apapun yang Mas Wira mau."
"Baik! Kau boleh bawa anakmu tinggal di sini. Tapi ingat, dia tidak boleh berkeliaran di rumah ini. Tempatnya adalah di kamar belakang bersamamu."
Lega rasanya mendengar Wira mengizinkan Via membawa Lyla ke rumah itu. Walaupun pada akhirnya Via sadar bahwa Wira pun akan membenci Lyla sama seperti membenci dirinya. "Terima kasih, Mas. Aku permisi, mau menjemput Lyla dulu."
Tangannya terulur hendak menyalami sang suami. Namun, Wira seakan tak peduli. Ia enggan bersentuhan dengan wanita yang telah menjadi istrinya itu.
Tidak apa-apa kalau Mas Wira membenciku. Yang penting dia mengizinkan aku membawa Lyla untuk tinggal di sini.
Dengan langkah penuh semangat, Via bergegas menuju sebuah halte bus. Sudah tidak sabar untuk bertemu putri kesayangannya itu.
*****
Senyum bahagia jelas tergambar di wajah seorang gadis kecil. Sambil berlari dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lyla menyambut kedatangan sang bunda.
"Lyla jangan lari, Sayang. Nanti jatuh." Via merentangkan tangannya, memeluk anak kesayangannya itu.
"Bunda dalimana? Kenapa Bunda tidak pulang-pulang? Lyla kan cali-cali Bunda," ucapnya tanpa melepas pelukannya. Via pun menggendong anak gadisnya itu, dan duduk di sebuah kursi.
"Bundanya sibuk, Sayang. Tapi sekarang, bunda kemari untuk jemput Lyla. Lyla mau ikut bunda kan?"
"Kemana Bunda? "
"Ke rumah baru kita. Nanti Lyla bisa sama bunda setiap hari."
"Mau Bunda. Lyla mau ikut Bunda."
Via kembali melepaskan kerinduannya dengan memeluk anak gadisnya itu. Hingga Bu Retno datang dengan membawa koper berisi pakaian Lyla yang telah disiapkan sebelumnya. Wanita paruh baya itu terlihat sedih melepas kepergian dua orang yang sangat disayanginya itu. Setelah mengobrol beberapa saat untuk melepas kerinduan, Via akhirnya berpamitan pulang.
"Kenapa Nak Wira tidak mengantar kamu, Via?" tanya Bu Retno.
"Mas Wira sedang bekerja, Bu. Aku akan pulang dengan taksi online." Via tersenyum cerah, seolah kehidupannya dengan Wira berjalan semestinya, layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
"Oh ... Sudah pesan taksinya?"
"Sudah, Bu."
Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan panti asuhan itu. Via segera berpamitan pada Bu Retno.
*****
Setibanya di rumah Wira, Lyla tak henti-hentinya mengagumi rumah yang baginya bagaikan istana itu. Gadis kecil itu terus berceloteh ria.
"Bunda, lumahnya om Wila besal, ya. Kayak istana. Kita mau tinggal di sini, ya Bunda?"
Sebelum masuk, Via berjongkok di hadapan gadis kecil itu. Membelai puncak kepala dan wajahnya dengan sayang. "Lyla, Sayang ... dengar Bunda ya," ucap Via diiringi anggukan kepala oleh Lyla. "Lyla tidak boleh nakal di rumah ini. Rumah ini bukan rumah bunda. Jadi Lyla harus menurut ya. Jadi anak baik."
"Iya, Bunda. Lyla tidak nakal."
"Ya sudah, kita masuk, yuk." Dengan menyeret sebuah koper, Via menggandeng Lyla memasuki rumah itu.
Tampak Wira baru saja turun dari lantai atas. Sepertinya akan keluar, terlihat dari pakaiannya yang rapi. Pandangannya mengarah pada sosok anak kecil yang datang bersama Via. Pertama kalinya melihat Lyla dari jarak dekat membuatnya begitu terpaku. Lyla, seorang gadis kecil yang begitu cantik dan polos, berhasil menyita perhatian Wira.
*******