Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Halim mengajak Nona untuk duduk disalah satu meja cafe yang dekat dengan pintu keluar.
“Kalau boleh saya tebak, Pak Halim pasti mau bertanya tentang Medi ‘kan?”
Halim terkesiap. Apa dari wajahnya sudah kelihatan ya kalau dia ngebet mau bertanya tentang Medina?
“Iya. Bisa kamu ceritakan dia orangnya yang bagaimana?”
“Medi sahabat saya dari SD, Pak.”
Halim menaikkan kedua alisnya. Nona jadi ciut. Apa dia salah kata, ya? Kirain berhadapan dengan orang tampan bin ganteng uwu-uwu bakalan merasa gimana gitu yaaa? Ini kok malah seakan-akan sedang diinterogasi karena sudah melakukan kesalahan.
“Berarti kamu tahu banyak ‘dong tentang dia.”
“Tahu banget, Pak. Medi itu udah ditinggal Ayahnya meninggal. Ibunya berjualan tempe. Medi juga bantu Ibunya dengan jualan brownies.”
Halim menghela nafas pelan. “Kamu tahu gak siapa-siapa aja yang pernah dekat dengan dia?”
Nona mengetuk dagunya dengan jari, sedang matanya menatap ke atas.
“Yang dekat ‘sih gak ada, Pak. Cuma yang suka banyak. Contohnya kayak Bapak,” ucap Nona dengan cengengesan.
Halim terkesiap lagi. Kenapa ucapan anak ini benar terus dari tadi.
“Memang kelihatan ya kalau saya suka sama Medina?”
Nona mengangguk dengan semangat. “Kelihatan banget, Pak. Saya sering perhatikan Bapak yang sering memandangi Medi.”
“Iya, saya memang suka sama Medina.”
“Tapi Bapak tahu ‘kan, dari penampilan aja dia udah tertutup dan sopan. Perempuan muslimah begitu, mana mau diajak pacaran, Pak.”
“Siapa yang mau ngajak dia pacaran?”
Nona terperanjat. “Eh?”
“Apa dia tahu saya suka sama dia?”
“Tahu, Pak. Cuma Bapak lihat sendiri, dia gak terlalu menanggapi Bapak. Karena dia gak akan tanggapi laki-laki yang bukan siapa-siapanya.”
Halim mengangguk. “Kalau begitu, saya minta bantuan kamu.”
“Boleh, Pak. Memang Bapak butuh apa?”
“Butuh bantuan kamu untuk jadi siapa-siapanya Medina."
Nona menaikkan sebelah bibir atasnya. Entah kenapa tiba-tiba otaknya berhenti bekerja mendengar kata-kata Halim yang kurang dimengerti nya itu. Padahal yang bicara duluan tadi juga si Nona. Adohoi!
Saat air mataku mengalir, ku tak bisa menggunakan tisu. Aku butuh 4 lembar. 4 lembar. 4 lembar. Saat aku menangis. Haaaa! Hobaaa!
Halim mengernyit. Perasaan dia ngomongnya udah benar 'dah.
"Bilang sama Medina, kalau saya akan segera menghalalkannya," ucap Halim to the point.
Jantung Nona seakan ingin keluar dari tulang rusuknya mendengar ucapan Halim dengan tampang seriusnya itu.
“Pak, ini beneran? Bapak jangan coba-coba mainin Medina, ya?”
Intonasi suara Nona mulai tinggi. Dia gak akan segan-segan menonjok orang yang berani punya niat untuk mempermainkan Medina-sahabatnya. Nona juga tidak takut walau yang punya niat itu Gurunya sendiri.
Halim menaikkan sebelah alisnya. “Saya serius! Karena Medina gak akan mau menanggapi laki-laki yang bukan siapa-siapanya ‘kan?”
“Egh, iya ‘sih, Pak.”
“Ya udah. Saya akan segera menjadi siapa-siapanya Medina.”
Nona mengerjapkan mata, dan lagi-lagi bingung dengan ucapan terakhir Halim yang agak membagongkan itu.
......*****.....
“Assalamu’alaikum! Medi, Medi!”
Medina segera menyambar hijab instan di atas meja riasnya dan memakainya. Untung saja dia sudah pakai baju piyama lengan panjang.
“Wa’alaikumsalam. Eh, elu, Na? Ayo masuk!”
Nona membuka sendal gunungnya, lalu masuk ke teras rumah Medina dan duduk di kursi plastik.
Medina memperhatikan raut wajah Nona yang sepertinya sedang memendam sesuatu.
“Elu gak mau masuk?”
“Gak, Me. Di sini aja! Lagi pula gue bentar doang!”
Medina ikut duduk di samping Nona. “Ada apa? Kok kelihatannya elu gelisah? Ini elu dari mana? Udah mau maghrib kok masih keluyuran?"
“Gue beli boba tadi di cafe dekat simpang 4.” Nona menunjuk cup boba yang tergantung di motor matic-nya.
Medina manggut-manggut. “Oohh. Tadi lu belum jawab pertanyaan gue!”
“Oh! Bentar!” Nona mengeluarkan hp-nya dari dalam kantung celana cargo yang dia kenakan. Mengotak-atik sebentar layarnya, lalu memberikannya pada Medina. “nih, dengerin!”
Medina dengan wajah bingung mengambil hp dengan casing berwarna pink itu dari tangan Nona.
“Apa yang harus gue dengerin?”
“Ck! Ah, elu, Me! Tinggal puter!”
Medina mengklik play pada aplikasi perekam suara di hp itu.
“I-ini bukannya suara Pak Halim? Kok bisa elu rekam? Atau lu dapat dari mana?” Medina bertanya dengan mimik wajah menahan kesal.
Nona terkekeh menampilkan giginya. “Kenapa, Me? Cemburu, ya?”
Medina memonyongkan bibirnya. “Gak! Biasa aja kali!”
Melihat ekspresi Medina yang cemberut, membuat Nona tertawa lebar. “Kelihatan banget tahu. Biar lu gak cemberut dan cemburu lagi, dengerin sampai habis.”
Medina mendengus. Sebenarnya kesal dan agak cemburu sedikit, kenapa Nona bisa merekam suara Halim. Ah, apa mereka sering bertemu selama ini?
‘Astaghfirullah! Kok otak gue penuh dengan pikiran horor begini ‘sih? Ingat! Ingat! Pak Halim bukan siapa-siapa gue! Tapi, tetap aja kalau hati gue gak tenang. Gue cemburu! Huwaaaa!’
Tapi mau tak mau, dan penasaran juga, akhirnya Medina mem-play lagi rekaman suara itu.
Mendengar ucapan Halim yang akan segera menghalalkannya, membuat kedua bola mata Medina membulat dan berbinar.
Nona jadi senyum-senyum melihat Medina yang terpaku itu. Dia menyenggol gadis di sebelahnya.
“Cie, cieee!”
Medina langsung tersipu, pipinya memerah. Jujur saja, entah kenapa seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di hatinya.
“Apa memang benar ini, Na?”
“Benar dong, Me! Gue baru aja ketemu Pak Halim tadi. Dia ngajak gue bicara tentang elu. Langsung gue rekam dong diam-diam. Dia serius banget keliatannya, Me. Apalagi dia udah dewasa. Udah butuh pendamping.”
Medina menyipitkan mata mendengar ucapan Nona. “Sok tahu banget lu jadi orang!”
“Gimana, Me? Seneng gak?” Nona menaik turunkan alisnya.
Medina tersenyum, dia menatap Nona dengan sendu. “Menurut elu, gue harus gimana ya, Na?”
“Jalani aja dulu hari-hari elu sebelum dilamar dan dinikahi sama Pak Halim.”
“Tapi masa iya gue nikah sekarang?”
“Kalau gue lebih baik menikah, dari pada saling pandang memandang, tapi tanpa status apapun.” Mulut Nona mencebik. “gimana, Me? Pak Halim nyuruh gue ngeyakinin elu.”
Medina menghela nafas gelisah. “Aduh! Kenapa gue jadi bingung?”
Nona mendengus sebal. “Preeet lah, Me! Bingung terus lu dari tadi! Pusing gua dengernya!”
Muncung Medina kembali maju beberapa centi.
Nona menghela nafas pelan. Dia menyentuh tangan Medina dan menggenggamnya. “Me, kalau menurut gue, lu jalani aja hari-hari seperti biasa. Nanti kalau memang waktunya tiba, dan memang Allah menakdirkan kalian berjodoh, insya Allah pasti akan terlaksana.”
Medina tersenyum. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Nona. “Masya Allah. Lega gue dengar omongan lu yang sok bijak tapi bener itu.”
Nona malah terkekeh. “Percaya ‘deh, Me! Pak Halim begitu karena dia lelaki gentle. Langsung berani ngajak nikah.”
“Tapi, kenapa dia gak ngomong langsung sama gue?”
“Ya elah! Lu gak sadar, ya? Lu 'kan gak mau tanggapi laki-laki yang bukan siapa-siapanya elu! Gila! Mulai pikun elu ya karena pesona Pak Halim? Hahaha.”
Medina kembali tersipu. Dia memukul gemas lengan Nona. “Uuuhh, iya! Iya!”
Nona bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar teras dan memakai sendalnya. “Ya udah! Udah mau maghrib, gue pulang dulu! Assalamu’alaikum !”
Medina ikut berdiri dan mengantar Nona hingga keluar teras. “Iya, Na! Hati-hati, ya? Makasih infonya? Wa’alaikumsalam.”
“Cie, cie! Bakalan ada yang gak bisa bobok malam ‘nih!”
Nona masih sempat-sempatnya menggoda Medina yang wajahnya sudah semerah blush-on.
“Iissh, Nonaaaa!!!”
Sepulang Nona dari rumahnya, Medina lalu masuk ke dalam rumah. Dia sedang sendirian di rumah, karena Ibunya belum pulang mengantar tempe ke warung-warung.
Medina mengambil hp lalu membuka WhatsApp. Di sana dia mengeklik chat room-nya dengan Halim.
Pesan terakhir Halim yang berbunyi hati-hati yang tak dia balas itu, membuat senyum Medina mengembang.
‘Akan Medi tunggu kedatangan Abang di rumah ini.’
........*****........
Jangan lupa sehabis baca, langsung like ya pembaca aku yang manis. jangan lupa komen juga ya😊💐❤️