Gisel mendapatkan ide gila dari keluarganya, yaitu untuk memb*nuh Evan—suaminya. Karena dengan begitu, dia akan terbebas dari ikatan pernikahannya.
Mereka bahkan bersedia untuk ikut serta membantu Gisel, dengan berbagai cara.
Apakah Gisel mampu menjalankan rencana tersebut? Yuk, ikuti kisahnya sekarang juga!
Jangan lupa follow Author di NT dan di Instaagram @rossy_dildara, ya! Biar nggak ketinggalan info terbaru. Sarangheo ❣️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
"Baguslah kalau kamu berpikir seperti itu. Aku dukung!" Mbah Yahya langsung menepuk pundak kanan Evan dengan semangat. "Ingat! Jangan terlalu bucin jadi laki-laki!"
"Iya." Evan mengangguk.
"Oh ya, Van, ngomong-ngomong ... udah lama banget nih aku nggak tanya soal ini. Sering inget padahal kalau ada di rumah, tapi kalau kita ketemu kadang lupa."
"Tanya soal apa ya, Pak?" Evan menatap penasaran.
"Dulu itu, yang Rama terakhir diculik pas mau ke apartemen Tuti. Kan kamu yang menyelamatkan Rama dan membawanya ke rumah sakit. Itu kamu gimana ceritanya bisa menemukan Rama? Dan kenapa kasus itu sampai ditutup oleh pihak polisi dengan alasan pelakunya nggak berhasil ketemu?"
"Oohh tentang itu ...." Evan mencoba bersikap tenang, supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Sebisa mungkin dia akan menutupi kejahatan Gisel, selama perempuan itu mau patuh kepadanya. "Sebenarnya saat itu, saya menemukan Pak Rama dalam kondisi tergeletak di jalan raya, Pak, dengan kondisi tak sadarkan diri dan nggak ada siapa pun ditempat kejadian. Itulah sebabnya saya langsung membawa Pak Rama ke rumah sakit."
"Lho, tapi, Van ... kata Rama dulu, dia sempat mengingat kalau pas bangun dia seperti ada di hotel. Terus mendengar suara perempuan yang sedang menangis dari kejauhan, seperti sedang disiksa," tutur Mbah Yahya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang sedari dulu belum berhasil terpecahkan. Dan juru kuncinya di sini adalah Evan.
"Kalau soal itu saya nggak tau ya, Pak. Soalnya yang saya tau cuma menemukan Pak Rama yang tergeletak dijalan lalu membawanya ke rumah sakit," jelas Evan.
"Oohh ... Atau mungkin Rama saat itu cuma sedang bermimpi, ya? Karena 'kan kamu tau sendiri dia ada masalah dengan penglihatannya. Apalagi kacamatanya sempat terjatuh." Mbah Yahya mencoba mempercayai Evan, dan pria itu langsung mengangguk.
"Bisa jadi, Pak."
Apa yang Evan katakan adalah kebohongan, hanya demi melindungi Gisel. Sementara yang Rama ingat adalah nyata, karena memang kejadian penjebakan yang Gisel lakukan berada hotel. Lalu tentang suara perempuan yang menangis seperti sedang disiksa, itu adalah suara milik Gisel yang saat itu tengah Evan perkosa di dalam kamar mandi.
"Ya udah lah, Pak. Itu 'kan kejadiannya udah lumayan lama. Lagian Pak Rama juga sekarang dalam keadaan baik-baik saja. Jadi Bapak nggak perlu memikirkan masalah itu lagi, fokus saja menata masa depan. Apalagi sudah ada cucu laki-laki." Evan mencoba menasehati dan menenangkan Mbah Yahya. Dia ingin, masalah itu terkubur oleh sendirinya. Sehingga Mbah Yahya tak akan mengungkit-ungkitnya lagi.
"Tapi kadang kala aku sering merasa takut. Takut rumah tangga Rama diterpa cobaan lagi, Van. Apalagi 'kan pelakunya nggak berhasil ketemu sampai sekarang." Mbah Yahya tampak resah.
"Saya jamin nggak akan ada apa-apa dalam rumah tangga Pak Rama, Pak. Bapak nggak usah khawatir," kata Evan dengan lembut. 'Selama Gisel masih bersamaku, semuanya akan baik-baik saja, Pak. Aku juga yakin ... cepat atau lambat Gisel akan benar-benar melupakan Pak Rama,' batinnya merasa yakin.
***
Selesai melaksanakan rapat guru, Gisel diajak Olla nonton film ke bioskop di salah satu mall yang berada di pusat kota.
Acara nonton film itu sebenarnya sudah direncanakan sejak lama, bahkan sebelum Gisel menikah. Tapi karena terlalu sibuk, jadi Gisel baru bisa sekarang.
"Kita beli tiket dulu apa beli cemilan dulu nih, Sel?" tanya Olla yang tampak sedang berpikir.
Meskipun bukan hari libur, tapi suasana gedung bioskop itu cukup ramai sekali. Karena mungkin banyak sekali film yang baru rilis bulan-bulan ini.
"Beli tiket aja dulu, La, baru cemilan. Takutnya tiketnya keburu habis," usul Gisel.
"Iya juga, ya. Yaudah ayok!" Olla langsung menggandeng lengan Gisel, lalu mengajaknya ke tempat pembelian tiket.
Antrean itu cukup panjang juga rupanya, dan sembari menunggu, Gisel mengajak Olla untuk mengobrol.
"Oh ya, La. Cara buat suami supaya nggak marah lagi gimana, ya?" tanya Gisel.
Olla ini sudah lebih dulu menikah daripada Gisel, jadi menurutnya, dalam hal seperti ini dia jauh berpengalaman untuk dimintai pendapat.
"Marahnya kenapa dulu? Cemburu atau apa?" Olla menatap Gisel penuh antusias.
"Ya kayak salah paham gitu deh pokoknya."
"Kalau salah paham doang sih dijelasin aja kayaknya udah cukup deh, Sel."
"Masa sih, La?" Gisel terlihat tidak percaya.
"Iya." Olla mengangguk. "Suamiku sih begitu. Memangnya suamimu enggak, ya? Kamu lagi berantem sama dia?"
Gisel menggeleng. "Berantem sih enggak, cuma sempat ada salah paham aja. Aku sendiri udah jelasin, tapi kayaknya aku ragu dia percaya sama aku atau enggak."
"Kamu udah coba tanya ke dia?"
"Tanya gimana?"
"Ya tanya, dia percaya apa enggak sama kamu."
"Hari ini aku belum ketemu dia, La. Dari pas aku bangun tidur dia udah berangkat kerja."
"Udah coba telepon?"
"Belum sih."
"Ya udah coba telepon sekarang, terus tanya."
Gisel menurut, lalu mencoba menghubungi Evan dan berharap kali ini nomornya aktif, tidak seperti kemarin.
Tuuutttt ... Tuuutttt.
Tuuuuuttt ... Tuuutttt.
Syukurlah, kali ini nomornya aktif dan sudah tersambung. Hanya saja, tidak diangkat-angkat.
Panggilan kedua pun Gisel lakukan, tapi sama saja tak ada respon.
"Ish! Nyebelin!" Gisel berdecak kesal, sampai dia menghentakkan sepatunya.
"Kenapa, Sel?"
"Kebiasaan suamiku, La. Susah kalau dihubungi!" jawab Gisel sambil cemberut.
"Mungkin lagi sibuk kali."
"Ah dari kemarin masa sibuk mulu? Lagian orang kerja juga pasti ada istirahatnya. Apalagi ini 'kan masih jam makan siang." Gisel mengoceh, meluapkan semua kekesalan di hatinya.
"Mungkin dia ... eh, itu 'kan suamimu, Sel!" seru Olla tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah depan. Wajahnya terlihat terkejut, membuat Gisel segera memalingkan pandangannya.
Dari kejauhan, Gisel melihat seorang pria berjas abu-abu muda yang berdiri di dekat penjual popcorn. Kedua tangan Evan juga sudah memegangi dua bungkus popcorn.
Gisel tak bisa meragukan wajah Evan. Meski jarak memisahkan mereka, dia tetap bisa mengenali suaminya dengan baik. Ucapan Olla tadi benar, itu memang Evan.
"Iya, itu suamiku. Sedang apa dia di sini? Katanya kerja? Udah gitu nggak angkat telepon dariku lagi!" Emosi Gisel tiba-tiba memuncak. Saat mengingat panggilannya tidak mendapatkan respon, sementara orangnya sedang pergi nonton.
Gisel juga merasa yakin, bahwa pria itu akan nonton bersama seseorang. Hal itu terlihat dari makanan yang dia bawa, ada dua bungkus popcorn.
Merasa tidak terima dan diperlakukan tidak adil, Gisel pun langsung menarik tangan Olla dari lengannya. Kemudian, dengan jantung yang berdebar, dia berlari cepat menghampiri Evan dan membuat pria itu terkejut.
"Abang ngapain ada di sini?" tanyanya dengan mata yang tampak melotot.
"Lho, kamu sendiri ngapain di sini?" Evan justru berbalik bertanya, wajahnya tampak bingung.
"Aku mau nonton sama temanku, Olla, Bang." Gisel menunjuk ke arah depan, tepat di mana Olla berada. Perempuan itu juga langsung melambaikan tangan dan tersenyum. "Tapi Abang sendiri, kenapa justru ada di bioskop? Bukannya kata Umi Abang kerja? Atau jangan-jangan Abang sedang berselingkuh dibelakangku?" selidik Gisel yang di akhir kalimat mengungkapkan kecurigaannya.
...Widiihhh ... takut diselingkuhin kah kamu, Sel? 🤣🤣...
jadikan ini sebuah pelajaran berharga didalam kehidupan bang evan, ternyata berumah tangga itu butuh ketulusan hati, cinta dan kepercayaan, jika didasari dengan kebohongan apalagi sampai ingin melenyapkan itu sudah keterlaluan
buat kak Rossy semangat 💪, jujur aku suka ceritanya kak, seru buatku, malah selalu nunggu up tiap hari