Menyaksikan genosida jutaan manusia tak berdosa langsung di depan mata, membuat Arya terluka dan mendendam parah kepada orang-orang Negeri Lembah Merah.
Entah bagaimana, Arya selamat dari pengepungan maut senja itu. Sosok misterius muncul dan membawanya pergi dalam sekejap mata. Ia adalah Agen Pelindung Negeri Laut Pasir dan seorang dokter, bernama Kama, yang memiliki kemampuan berteleportasi.
Arya bertemu Presiden Negeri Laut Pasir, Dirah Mahalini, yang memintanya untuk menjadi salah satu Agen Pelindung negerinya, dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang bernama Puri Agung. Dirah yang bisa melihat masa depan, mengatakan bahwa Puri adalah pasangan sejati Arya, dan ia memiliki kekuatan melihat masa lalu. Puri mampu menggenggam kebenaran. Ia akan menjadi target utama Negeri Lembah Merah yang ingin menguasai dunia.
Diramalkan sebagai Ksatria Penyelamat Bima dan memiliki kemampuan membaca pikiran, mampukah Arya memenuhi takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mirabella Randy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GILA DAN BODOH
Tatapanku dan Puri saling mengunci dalam sunyi. Benakku merengkuhnya utuh. Aku menyaksikan hantu pikirannya dihujani kenangan-kenangan purba, lagi-lagi, tentang diriku.
Di masa itu aku lebih jangkung dan tegap, lebih dewasa, mengenakan kain putih sederhana yang menutup pinggang hingga lutut, sepenuhnya telanjang dada. Rambut ikalku lebih panjang, tergerai alami hingga menyentuh bahu. Dalam kilasan itu aku berjalan tenang, tatapanku melembut, bibirku setia menutur janji.
Aku tidak ingat semua itu. Aku bahkan tak tahu semua itu sungguh terjadi di masa lalu. Tapi batinku secara alami merengkuh perasaan purba itu.
Perasaan ingin selalu menjaga. Mendampingi. Memuja.
Perasaan yang sangat tidak asing.
Puri menemukan napasnya kembali. Ia goyah dan menatapku lemah.
"Kamu tidak peduli pada pernikahan... tapi kamu peduli padaku?" suara Puri bergetar saat bertanya. "Apa maksudmu?"
"Karena aku kembali bukan untuk menikah," sahutku perlahan. "Aku tidak peduli pada rencana pernikahan itu. Aku tidak peduli pada akhirnya aku akan menikah atau tidak. Tapi aku peduli kamu tetap hidup selama aku ada di sini bersamamu."
Puri terdiam sejenak. Ia tak sepenuhnya memahami apa yang kuucapkan. Namun hantu pikirannya merasa sangat karib dengan tuturku, yang entah bagaimana mirip dengan janji dalam kenangannya ribuan tahun silam.
"Kenapa...? Apa pedulimu aku hidup atau mati?" ia bertanya lirih.
Aku menatapnya sesaat, sebelum hati-hati berkata, "Kalau kamu mati, Puri, seluruh dunia ini akan hancur."
Tentu saja Puri terkejut. Ia tak menduga aku akan mengatakan hal itu. Hantu pikirannya tertuju pada Dirah, membuatnya bertanya-tanya apa kalimatku barusan ada hubungannya dengan sesuatu yang telah dilihat Dirah.
Aku memasukkan kedua tanganku ke saku celana, mataku mengawasinya lekat dan lama. Aku harus melakukan sesuatu jika Puri melepas kekuatannya untuk melihat visi Dirah dalam kenanganku. Ia masih belum boleh tahu semuanya.
Terutama, soal anak perempuan yang akan lahir dari rahimnya. Anak kami.
Entah mengapa, pipiku terasa panas. Aku buru-buru mengenyahkan pikiran itu dan mengendalikan diri.
"Apa kamu akan memberitahuku, apa maksud semua perkataanmu itu?" tanya Puri pelan.
"Bukankah jelas? Kalau kamu mati, ayahmu tidak akan bisa menerimanya. Dia memegang kendali atas pasukan terbaik dan terbesar di negeri ini. Perang bisa terjadi kalau kamu mati. Bayangkan berapa banyak nyawa tidak berdosa hilang jika perang terjadi. Satu perang akan memicu perang lainnya, dan pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kehancuran."
Aku berbohong. Lagi.
Seperti Randu, aku tak bisa mengatakan pada Puri bahwa ia diincar orang-orang Negeri Lembah Merah, karena itu adalah informasi rahasia negara. Aku tak bisa bilang ia akan selalu diburu, bahkan mungkin akan dibunuh, karena ia satu-satunya orang di seluruh Bima yang sanggup melihat kebenaran di masa lalu. Ia satu-satunya yang bisa mengetahui kebenaran musuh dan membuat kami menang perang. Ia satu-satunya yang bisa mengetahui kebenaran kekuatan magis dari masa lalu dan menyelamatkan kami semua dari kiamat di masa depan.
Ia harus terus hidup dan aman. Aku akan melindunginya sampai akhir, dengan darah dan nyawaku sendiri.
Bahkan saat memikirkan itu, aku merasa api dalam jiwaku makin membara. Tekadku makin membaja.
Akan kulakukan apa saja. Asal kamu tetap aman dan bahagia.
Tetapi kali ini Puri sangat cerdas dan peka. Hantu pikirannya tahu aku tidak berkata jujur padanya.
"Memangnya kenapa aku harus mati?" serunya jengkel. "Menurutmu ada yang berencana membunuhku? Selama ini aku hidup dengan baik dalam perlindungan ayahku. Tidak pernah ada ancaman pembunuhan untukku. Kalau pun ada yang bisa mengancam hidupku saat ini, itu adalah dirimu, dan kekuatan yang mendukungmu di belakangmu!"
Kalau tadi dia sangat cerdas, sekarang dia jadi sangat tolol. Dari semua kemungkinan terburuk di dunia ini, bagaimana mungkin dia bisa berpikir akulah yang akan mengancam nyawanya? Jika aku memang ingin dia mati, untuk apa aku berusaha keras menjalankan misiku hingga detik ini? Untuk apa aku berusaha keras memeras otak dan energi menciptakan senjata yang bisa mengalahkan musuh yang jelas-jelas akan membunuhnya? Untuk apa aku bersumpah pada ayahnya, rela bertaruh nyawa demi menjaganya agar tidak terluka dan tewas sia-sia?
Dia gila atau bodoh, sih?
Aku memandangnya tajam, jujur merasa sangat kesal. "Kalau aku dan kekuatan yang menurutmu mendukungku ingin kamu mati, kamu sudah mati bertahun-tahun lalu, Puri. Aku bahkan bisa saja membunuhmu dengan mudah saat ini, meski kamu bersenjata dan aku tidak. Dari situ saja kamu harusnya paham, aku sama sekali bukan ancaman bagimu. Aku tak pernah punya niat membunuhmu. Pernikahan itu adalah alasan agar aku selalu ada di sisimu, agar aku bisa melindungimu."
"Tapi melindungiku dari apa?" Puri menuntut marah, masih tidak bisa terima bahwa ia tidak tahu apa-apa. "Bisa jelaskan padaku atau tidak?"
Ya, bisa... tapi tidak sekarang.
"Kamu akan tahu nanti."
Puri membelalak. Tanpa ragu, ia melepas kekuatannya untuk menelusuri masa laluku.
Aku mengejang. Kutatap ia tajam, bersiap menyerang untuk memecah konsentrasinya--tapi rupanya, energinya masih tidak maksimal. Emosinya masih membuncah. Aku bisa melihat dan merasakan hantu pikirannya memancarkan gelombang acak dan lemah. Benar saja, ia hanya bisa menyerap kilasan Dirah membicarakan soal perjodohan, memintaku pulang dan menjadi Agen, dan kilasan perang senjata dengan Negeri Lembah Merah. Terakhir, kilasan hantu pikiran Dirah bernyanyi saat aku berusaha mencari tahu niatnya semalam.
Puri mengambil kesimpulannya sendiri dengan kecewa. Ia berpikir ia harus menemui Dirah langsung jika ingin menemukan semua kebenaran. Aku hanya menyimpan masa lalu dengan Dirah yang tak berguna baginya.
Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Untunglah ia tak bisa menemukan banyak. Aku sudah berpikir akan mengejutkannya bahkan memingsankannya jika ia memaksa melihat semua masa laluku dengan kekuatan penuh.
Kekuatannya sungguh mengerikan. Sangat kontras dengan penampilan dan sifatnya yang lembut dan lemah.
Meski begitu, aku tidak boleh lengah. Aku harus berusaha terus mengalihkan perhatiannya, agar ia tak lagi berusaha menelusuri kebenaran itu dari masa laluku.
"Mumpung ada di sini, mau jalan-jalan?" tanyaku halus.
Puri mengerjap. "Apa?"
Aku menyeringai dalam hati. Semudah itu fokusnya teralihkan kalau ia bersamaku.
"Jarang-jarang bisa berada di tempat hijau dan asri seperti ini, kan?" kataku tenang. "Mau berjalan-jalan menyusuri hutan bersamaku? Kamu sudah tahu, aku tidak akan mencelakakanmu. Lagipula, kamu masih memegang pistolku."
"Apa gunanya?" Puri mendengus. "Katamu kamu bisa saja membunuhku meski aku bersenjata dan kamu tidak."
Aku tertawa. Begitu dong, cerdas sedikit.
"Kalau begitu, kembalikan pistolnya padaku."
"Tidak, biar kubawa saja!" cetusnya.
Aku pernah mendengar, salah satu sifat khas perempuan adalah mereka suka sekali bersikap plin-plan. Jadi itu memang benar?
Aku memutar bola mata. Lalu aku maju dan mengulurkan tangan.
"Apa? Kamu benar-benar menagih pistolmu?" Puri mendelik.
Aku mengerutkan kening, sama sekali tak menduga ia akan bicara begitu.
Kenapa sih jalan berpikirnya hampir tak pernah benar?
"Siapa bilang aku minta pistolku? Aku menawarkan diri untuk menggandengmu. Kalau tidak digandeng, nanti kamu jatuh tersungkur."
"Memangnya aku selemah itu?"
Puri merengut dan berjalan cepat mendahuluiku. Aku menatapnya tajam.
Baru beberapa langkah, kakinya sudah tersandung akar yang tertutupi rumput. Tubuhku spontan melompat cepat dan ringan ke depan. Kedua lenganku berhasil melingkari tubuhnya, dan alih-alih jatuh ke tanah, Puri mendarat mulus dan aman dalam pelukanku.
"Tuh kan," gumamku.
Puri membeku. Aku bisa merasakan detak jantungnya kian bertalu. Otakku sendiri sesaat terasa kosong. Aku hanya bisa bengong menatap wajahnya yang kini begitu dekat. Aku bisa menghirup aroma lembut melati dari rambut dan lehernya yang berdenyut.
Ketika aku sadar, aku buru-buru melepasnya. Puri tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, wajahnya sedikit memucat.
Aku memandangnya kaget dan khawatir.
"Kamu sesak napas? Punya asma, ya?"
"Entah," sahut Puri pendek. Aku mendengar jelas hantu pikirannya mengutuk diri sendiri: sial, kenapa aku selemah ini?
Aku memandangnya lekat dan lama, seraya memasukkan kedua tanganku kembali ke saku celana.
"Apa tidak usah jalan-jalan saja?"
Daripada kamu bolak-balik jatuh, sesak napas dan pingsan lagi. Heran juga ada makhluk hidup selemah ini.
"Sebaiknya tidak usah," gerutu Puri "Pulangkan saja aku, dan aku akan mengembalikan pistolmu."
Aku otomatis menggeleng. "Aku belum selesai bicara denganmu."
"Mau bicara apa lagi?"
"Ceritakan tentang dirimu," pintaku langsung. Ini topik yang paling kutunggu untuk bisa kubahas dengannya. "Atau katakan apa saja yang ingin kamu katakan padaku."
Puri melekukkan bibir. Hantu pikirannya yang berwatak tertutup langsung bersikap defensif dan sinis. "Kamu sudah tahu tentangku. Presiden dan lainnya pasti sudah pernah memberitahukan padamu tentangku."
Aku menghela napas. Ini tidak akan mudah, rupanya.
"Kurasa tidak," kataku. "Mereka mungkin sudah mengatakan beberapa hal, tapi tetap saja aku belum benar-benar mengenalmu. Dan aku lebih suka mengetahui segalanya tentangmu langsung darimu."
"Apa pentingnya buatmu?" tukas Puri sengit.
"Untuk mempermudah pekerjaanku," jawabku tenang. Senang kali ini bisa jujur. "Aku kan harus melindungimu."
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu!"
Aku tidak percaya dia bilang begitu. Padahal jelas-jelas dia sangat rapuh dan lemah. Belum lagi ketololannya bisa menyebabkan bencana kalau tiba-tiba ada serangan yang menimpanya. Kombinasi itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuatnya celaka dan mampus dalam hitungan detik.
"Tidak perlu bagaimana? Saat bersamaku saja, kamu sudah dua kali hampir jatuh dan melukai dirimu," saking jengkelnya, aku tak tahan lagi untuk menyeringai dan mengejeknya.
"Itu karena aku sedang sial saja," kilah Puri. "Pokoknya aku tidak suka semua ini. Aku tidak suka perjodohan ini. Aku tidak suka dipaksa bersamamu. Aku tidak suka tidak tahu apa-apa, tapi diposisikan seakan aku dalam bahaya. Aku tidak suka menjadi pion orang lain. Aku tidak ingin mengalami semua yang kualami sekarang. Aku mau pulang!"
Kesedihan dan kemarahan Puri membuncah, dan ia tak sanggup lagi membendungnya. Kepalanya tertunduk. Pundaknya gemetar dan air matanya berjatuhan.
Puri menangis.
Aku terdiam. Lagi-lagi, hatiku bergetar. Entah bagaimana, kesedihannya juga menjalariku.
Jujur, aku tak bisa melihatnya tersedu seperti itu. Ada sesuatu dalam diriku yang bangkit dan menuntutku untuk mengusir duka itu darinya. Apapun caranya. Harus.
Kakiku bergerak maju. Jemariku terulur dan tanpa ragu aku mengusap butiran basah di pipinya yang cantik dan lembut.
Aku nyaris gemetar. Ini pertama kali aku menyentuhnya dengan penuh perasaan.
"Aku senang kamu mau jujur," bisikku. "Tidak apa-apa. Menangis saja. Segalanya memang terasa membingungkan. Tapi aku pun tidak tahu lebih banyak hal darimu. Dan aku tetap tegar menghadapinya. Karena aku mengandalkan naluriku, yang biasanya tidak pernah keliru."
"Naluri apa?"
Puri mendongak. Suaranya serak. Ia menggigil. Hantu pikirannya menggigil.
Bukan hanya aku yang hampir gemetar karena sentuhan ini. Ia juga sama.
Aku tersenyum tipis.
Puri memandangku tidak mengerti.
Aku mencoba menyampaikan apa yang belum bisa kusampaikan secara terang-terangan. Aku tahu Randu sedang mengawasi kami. Ia tak boleh tahu bahwa aku bisa membaca pikiran dan Puri bisa melihat masa lalu.
Ini rahasia kami berdua.
Aku mengetuk pelipisku dengan jari telunjuk kiriku. Mataku berkilat penuh isyarat.
Puri terdiam. Hantu pikirannya paham.
Kau bicara soal bakat magismu, yang diam-diam bisa membaca pikiran.
Hantu pikiran Puri bicara dengan pelan namun jelas dalam benakku. Aku tersenyum membenarkan.
Tapi percuma saja kamu bisa baca pikiran, kalau katamu kamu tidak tahu apa-apa tentangku! Kamu juga tidak tahu banyak tentang penglihatan atau rencana Dirah di belakang semua ini.
Hantu pikirannya mengomel padaku. Cerewet dan benar-benar bikin jengkel.
Dia tidak tahu aku sengaja hampir selalu mengusir hantu pikiran dan perasaan Dirah karena aku tidak mau ditaklukkan olehnya. Dia tidak tahu aku hampir jungkir balik rasanya saat menghadapi kebodohan dan keabsurdannya hari ini, sementara di saat yang sama aku harus selalu mengantisipasi serangan kekuatan magisnya dan berusaha membujuknya agar mau membuka hati padaku. Jujur, masuk ke markas musuh dan meledakkan bom di dalamnya seribu kali lebih mudah daripada apa yang harus kulakukan sekarang.
Ternyata perang berdarah jauh lebih mudah dihadapi daripada seorang perempuan.
...***...
udah pernah sblmnya 😍
🤣🤣🤣🤣
aku nomor 8/Smug/
aku juga mau cilok/Grievance/
sukorr genteng /Slight//Joyful/
antar sesama korban permainan bara🤣🤣🤣
🤣🤣🤣🤣
siang ini jgn buat aku haredang air mata /Sob/