Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 MURID KEGELAPAN
Gunung Kampud (Kelud) bukan gunung sembarangan yang dapat didaki tanpa rasa hormat pada kekuatan alam. Konon gunung ini menyekap energi dendam luar biasa di danau kawahnya. Di dalam danau kawah yang selalu mendidih, pernah terjadi drama cinta dan pengkhianatan yang melibatkan 3 orang sakti mandraguna. Tersebutlah Dewi Kilisuci putri kraton Jenggala Manik yang memiliki kecantikan luar biasa hingga menembus alam lelembut dan raksasa sampai terdengar oleh Mahesa Sura dan Lembu Sura, dua bangsa jin yang satu berkepalad kerbau dan lainnya berkepala sapi. Dua lelembut sakti itu kemudian melamar Dewi Kilisuci. Singkat cerita, melihat perwujudan mereka yang menyeramkan, Dewi Kilisuci tidak bersedia diperistri oleh keduanya. Namun, untuk menolak secara terang-terangan, Dewi Kilisuci tidak berani. Maka ia mengajukan syarat yang sesungguhnya tidak masuk akal, di mana mereka berdua harus berlomba membuat sumur di puncak gunung Kampud dalam waktu semalam, dengan syarat tambahan, satu sumur terisi air yang berbau harum mewangi, sedang lainnya harus berbau anyir darah. Mereka berdua menyanggupi syarat yang mustahil itu. Sementara untuk berjaga-jaga dari kemungkinan penipuan, Dewi Kilisuci telah memerintahkan para prajuritnya bersembunyi di sekitar lokasi puncak gunung yang telah ditentukan.
Esok hari saat sang Surya terbit, dengan kesaktian yang sangat tinggi, baik Mahesa Sura maupun Lembu Sura telah menyelesaikan prasarat itu secara bersamaan. Tidak ada yang kalah, semua persis yang diminta oleh Dewi Kilisuci. Satu sumur mengambar-ambar bau wangi sewangi-wanginya, sedang yang lain menyengatkan bau anyir darah yang memualkan perut. Saat itu juga Mahesa Sura dan Lembu Sura melesat terbang menemui Dewi Kilisuci untuk melaporkan keberhasilannya.
Dewi Kilisuci yang tidak menyangka persyaratan pinangannya yang tidak masuk akal ternyata dapat dipenuhi oleh dua bangsa Jin itu, jadi terpojok. Harusnya ia menikahi keduanya sebagai konsekuensi ucapannya, atau setidaknya menyuruh mereka bertarung sampai mati dan menjadi istri bagi pemenangnya. Namun, ia terlalu jijik melihat ujud keduanya. Akhirnya dengan terpaksa, ia memilih jalan dusta. Dengan terlebih dahulu mengisyaratkan para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar dua sumur, ia menjebak Mahesa Sura dan Lembu Sura untuk membuktikan bahwa tiap sumur yang mereka buat mengeluarkan aroma bau yang diminta sampai ke dasarnya.
Terbutakan cinta dan terdorong memenangkan sayembara, dua lelembut tak tertandingi itu tanpa pikir panjang segera menyelam ke dasar sumur yang ujungnya adalah inti Bumi itu sendiri, tempat. keberadaan lahar magma yang bergolak membara secara abadi. Setelah meyakini keduanya sudah menyelam jauh, Dewi Kilisuci memerintahkan kepada ribuan prajuritnya untuk menimbun dua sumur itu dengan batu. Sementara Lembu Sura dan Mahesa Sura yang tidak menyadari jebakan itu terus ambles (menyelam) bumi. Hingga akhirnya mereka sampai di dasar dan memastikan bahwa isi sumur buatan mereka sempurna. Bersamaan mereka berenang naik ke atas dan mendapati permukaan sumur telah tertutup rapat dengan jutaan bebatuan dan tanah. Mereka sadar telah dijebak dan ditipu mentah-mentah oleh Dewi Kilisuci. Jasad mereka terkurung di sumur buatan mereka yang kemudian meluap menjadi danau kawah Gunung Kampud (Kelud). Meski jasad materi mereka terkurung, namun jiwa mereka yang sakti tetap hingga akhir jaman. Bersamaan dengan itu, terdengar suara. kutukan dari dalam danau kawah itu, bahwa sewaktu-waktu, kemarahan mereka atas pengkhianatan janji itu akan terwujud dalam letusan gunung Kampud yang akan mengambil banyak sekali nyawa manusia keturunan Dewi Kilisuci di tiap luapan laharnya.
Itulah sebabnya gunung itu kemudian disebut Kampud, Kelud, dan Kalut, yang artinya Penuh, mampu menelan nyawa sebanyak-banyaknya, dan membuat kepanikan tak terkira. Bahkan, Maharaja Sri Aji Jayabaya dari Kraton Kadhiri yang memahami bahasa Alam Raya dan mampu memandang jaman sampai ratusan ribu tahun mendatang dalam ramalan-ramalannya menyebut bahwa letusan Kampud akan selalu menjadi penanda bergantinya kekuasaan di Nusantara.
Dan, di gunung yang sangat disakralkan itu, Kidang Panah kini mendaki dengan sangat terburu-buru untuk menemui pengemis sakti yang minta kepalanya demi keselamatan seluruh warga desa Padma Dewi.
Hutan, jurang, dan bentangan pasir sisa-sisa letusan yang sangat menggelincirkan telah dilalui. Pemandangan yang sebenarnya begitu indah dengan bebungaan warna warni yang harum mewangi hingga kegelapan sempurna terliputi derik ular berbisa, burung hantu, gonggong anjing hutan, dengkur celeng, sampai auman harimau tak dihiraukan Kidang Panah. Yang menjadi pikirannya hanya bagaimana cara secepatnya ia sampai di puncak gunung. Memang secara fisik tidak terlalu sulit baginya mendaki gunung itu. Gunung Kampud tidak terlalu tinggi, tidak terlalu besar. Mungkin yang jauh lebih besar adalah daya supranaturalnya. Tapi, ia tidak peduli. Sejak menjadi pelarian dan membentuk gerombolan begal, hal terpenting baginya adalah keselamatan jiwa seluruh anggota anak buahnya. Keselamatannya sendiri tidak begitu penting. Apalagi ia telah bertemu dengan anggota keluarganya, khususnya adik yang ia kasihi, ternyata semua dalam keadaan baik-baik saja, ia rela menyerahkan nyawa untuk kebaikan seluruh warga desa Padma Dewi. Intinya Padma Dewi. Ini semua untuk cintanya pada Padma Dewi. Ia akan membuktikan bahwa Kidang Panah hari ini adalah seorang manusia yang berguna bagi kehidupan.
Dengan berlari, akhirnya Kidang Panah sampai juga di puncak Kampud.
Dinyalangkan mata Kidang Panah begitu sampai di puncak gunung. Tapi tiada tanda kehadiran pengemis tua itu di sana.
Mengingat setiap detik sangat berharga menyangkut keselamatan warga desa, Kidang Panah tidak ingin membuang-buang waktu. Ia berteriak sekeras-kerasnya, " Bapaaaa....aku Kidang Panah datang memenuhi undangan Anda. Silahkan menampakkan diri!"
Belum usai Kidang Panah menutup mulutnya, dari kegelapan terdengar suara tawa terbahak-bahak, " Hahaha...Kidang Panah, kalau kau benar-benar berniat memenuhi panggilanku, kau harus datang ke sini! Ahahahaha...."
Kidang Panah mengarahkan seluruh ketajaman matanya untuk mencari arah suara itu. Tapi suara itu terdengar bergema bersahutan sehingga tidak bisa ditentukan arah asalnya. Yang ia lihat hanya kegelapan total karena terhalang kabut tebal yang kedap cahaya. Satu-satunya tempat yang bercahaya hanya danau kawah. Bergolak dengan bara lahar, namun juga dipenuhi asap tebal sehingga cahaya baranya pun tidak mampu menembus sampai keluar.
" Anda di mana, Bapa? Saya datangi."
" Kau benar-benaevberani mendatangi tempat di mana kuberada, Kidang Panah?"
" Berani!" jawab Kidang Panah mantap.
" Hahaha...bocah kemarin sore tidak mengerti apa yang diucapkannya. Hahaha... Bekalmu hanya omong besar, sebentar kau juga akan kencing di celana. Hahaha...."
" Perlihatkan dirimu, Bapa!"
" AKU DI SINI!"
Terdengar suara pengemis tua itu. Suaranya sangat tegas dan jelas tanpa gema sehingga Kidang Panah langsung dapat menduga arah asal suaranya.
Kidang Panah menoleh ke arah asal suara itu, dan seketika hatinya tercekat cekam.
Danau Kawah Gunung Kampud yang semula dipenuhi asap tebal tiba-tiba menyibak. Terlihat jelas danau raksasa berisi cairan kawah berwarna bara merah kehitaman selalu menggelegak persis besi panas meleleh. Jika digambarkan, seperti tempat peleburan abadi tiap benda yang jatuh ke dalamnya. Jangankan manusia, logam sekeras apapun pasti lebur lenyap bila tersentuhnya. Namun, Kidang. Panah menyaksikan pengemis tua itu dengan santai berdiri di atas permukaan bara cair itu sambil melambaikan kedua tangannya, " Ayo ke sini, Kidang Panah....hahahaha... "
Kidang Panah sejenak termangu-mangu menyaksikan pemandangan yang tidak masuk akal itu.
" Jadi menemui aku tidak, Kidang Panah? Kalau tidak ya tidak apa-apa. Pulanglah, kembali ke dukuh Padma Dewi! Kujanjikan kau selamat karena kau memang tidak bersalah padaku. Tapi, mereka semua orang Padma Dewi layak mati. Hahaha... yang kau temui hanya kumpulan mayat! Hahaha ..."
Begitu mendengar keselamatan. warga dukuh disinggung, Kidang Panah yang semula ragu menepis seluruh ketakutannya. Apalagi entah sengaja atau tidak, pengemis sakti itu menyebut 'orang Padma Dewi', bukan warga dukuh, seolah mengingatkan kembali tujuan hidup Kidang Panah hanyalah untuk mengabdi pada cintanya terhadap Padma Dewi.
" Padma Dewi, " Kidang Panah mendesahkan nama terindah. Hatinya bertekad untuk tidak memperhitungkan nyawanya sendiri. Ia adalah budak cintanya Padma Dewi, sama seperti Mahesa Sura dan Lembu Sura yang rela menyelam ke. sumur inti Bumi demi cintanya pada Dewi Kilisuci, demikian juga Kidang Panah rela terjun ke lautan kawah gunung berapi demi cintanya pada Padma Dewi." Aku datang padamu, Padma Dewi..."
Kidang Panah melangkah dengan tepakan kaki tak tergoyah. Tubuhnya yang tinggi di atas rata-rata orang pada masa Majapahit karena sejak kecil ia selalu berlatih olahraga kelenturan terbayang tegap gagah. Semakin mendekati danau kawah, yang ia rasakan pertama adalah bau belerang yang menyengat menyesakkan dada. Namun bukan hanya itu, Kidang Panah juga mencium bau gosong, wewangian dan anyir darah yang bergantian tiap saat. Mungkin ini adalah bukti kebenaran adanya dua sumur buatan Lembu Sura dan Mahesa Sura yang berlawanan sifat. Kidang Panah sempat berpikir bahwa udara yang keluar dari danau kawah itu pasti beracun, maka ia menahan napasnya. Namun, setelah dilihat jarak yang yang harus ditempuh untuk mencapai tempat berdirinya pengemis tua itu, tak mungkin ia mampu menahan napas selama itu. Kidang Panah kemudian bernapas dengan wajar. Percuma saja ia menahan napasnya, di tengah jalan nanti ia bisa mati juga kehabisan udara. Kalau gas yang keluar dari danau itu beracun, apa bedanya mati karena racun dengan mati karena kehabisan napas? Yang penting ini untuk Padma Dewi! Mati atau hidup...
Setelah mengatasi keraguannya antara bernapas atau menahan napas, kian mendekat ke danau kawah, yang dihadapi Kidang Panah adalah panas kawah yang kian membakar. Langkahnya menjadi kian lamban karena keringat terus mengucur sehingga cairan tubuhnya keluar habis. Tubuhnya lemas, napas menderu, sejujur kulitnya terpanggang. Namun Kidang Panah terus melangkah mendekati danau kawah yang membara. Kulitnya sudah kemerahan, bibirnya pecah-pecah, bahkan rambut dan bulu-bulu tubuhnya mulai mengeluarkan aroma gosong terbakar.
Tiba-tiba daya tahan tubuh Kidang Panah menurun drastis. Ia tak mampu mempertahankan lagi kaki yang bergetar dan sumsum lututnya yang seolah ikut mengering. Kidang Panah terjatuh.
" Braaaakkk...!!!"
Tubuh Kidang Panah jatuh tersungkur menelungkup ke tanah tepat setengah depa dari bibir danau kawah.
" Pulang saja kau, Kidang Panah....kau tidak bersalah. Selamatkan nyawamu sendiri...." sayup-sayup Kidang Panah mendengar suara pengemis tua itu.
Napas Kidang Panah yang memburu suaranya meliputi keheningan malam dan bunyi gelegak kawah gunung Kampud. Detak jantung Kidang Panah berlarian seolah menjelang tercabutnya nyawa. Pandangannya kabur tidak bisa lagi membedakan warna. Seluruh dayanya hilang. Yang ada hanya rasa panas, sangat panas melebihi apa yang pernah ia bayangkan. Ia mulai merasakan rambutnya terbakar, benar-benar terbakar. Kesadarannya mengambang antara ada dan tiada. Kaki-kakinya mengejang terbakar. Matanya kadang terbuka, kadang tertutup. Kidang Panah sudah tidak tahu situasi apa yang sedang dihadapinya kali ini. Ia hanya ingin istirahat.... istirahat... terpejam... tidur... mungkin juga mati.
" Sudaaahhh... pulanglah, Kidang Panaaaahhh...menyerah sajaaaa....menyeraaaahhh...." Pengemis tua itu kembali sayup-sayup terdengar suaranya.
Kesadaran Kidang Panah nyaris tak mampu bereaksi lagi. Makna suara pengemis tua itu tidak lagi mampu ia pahami. Yang ada hanya deru napas dan degup jantung yang tidak teratur. Kadang lemah, kadang berpacu. Yang tersisa hanya refleks tubuh menjelang kematian fungsi otak. Secara naluri tubuh Kidang Panah membalik, menghadapkan wajah ke atas. Matanya setengah terbuka lagi. Yang tertangkap hanya bayangan suram langit. Tanpa cahaya sedikitpun. Baik bintang maupun bulan tiada hadir dalam pandangan.
" Tidak perlu memikirkan nasib warga Padma Dewi....warga Padma Dewi...Padma aaDewiiiii...Padmaaaaa....Dewiiiii....." lamat-lamat suara itu datang lagi.
" Padmaaaaa....Dewiiiii...." Bibir Kidang Panah bergerak-gerak mendesis nama cintanya.
tapi
" Padmaaaaa.....Dewiiiii..." kembali Kidang Panah mendesis.
Langit yang penuh mega, perlahan-lahan membentuk ujud yang dikenali Kidang Panah. Mata Kidang Panah berkejap-kejap. Ia mendesah
apanjang, awan-awan itu membentuk wajah Padma Dewi yang tersenyum lembut.
Tiba-tiba Kidang Panah mendapatkan kesadaran yang sempat lenyap. Ia ingat tujuannya mendaki ke puncak Kampud untuk menyelamatkan nyawa seluruh warga desa Padma Dewi. Untuk Padma Dewi!
Kidang Panah membalikkan tubuhnya. Ia tidak mempunyai cukup tenaga lagi untuk berdiri. Namun ia bertekad akan tetap maju, mendekati pengemis tua itu. Kidang Panah merangkak mendekati danau kawah yang tinggal berjarak satu Depa. Tangannya gemetar, sekujur tubuhnya tersengat panas yang tiada terkira. Namun ia tidak
peduli lagi, kini ia telah merangkak tepat di bibir danau kawah.
" Tolong hentikan sihir ini, Bapaaaa..."
Pengemis itu justru tertawa, " Hahaha...tak perlu banyak dalih! Laki-laki yang dipegang omongannya. Ayo ke sini kalau berani!"
Kidang Panah mendenguskan napas. Tangannya maju menapak kawah.
" Ceeezzzz...." Telapak tangan Kidang Panah terbakar bara kawah. Seketika melepuh.
* Aaaarrrrggghhhh....!" Kidang Panah menarik tangannya dari bara kawah. Panas kawah menyergap sampai ke tulang, merambat ke seluruh sarap hingga ke sumsum dan otaknya.
" Hahaha...kau pikir panas kawah ini sihir, Kidang Panah? Hahaha... dasar bodoh! Kenyataan alam kau bilang sihir."
Kidang Panah dalam dera kesakitan yang luar biasa tidak mampu berpikir panjang. Ia sadar kemampuan pengemis itu di luar jangkauannya. Jangankan untuk menantang bertempur, berdiripum ia sudah tak mampu. Apalagi harus mendatanginya di atas permukaan danau kawah, jelas mustahil. Namun niatnya sudah mantap, ingin menyelamatkan warga desa yang desanya mengandung nama tercinta Padma Dewi. Maka, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menawarkan perjanjian terakhir.
" Ambil nyawaku, Bapa! Ambil nyawaku sebagai ganti seluruh nyawa warga dukuh Padma Dewi! Ambil, ambil sekarang jugaaaa.. !!!" Kidang Panah berteriak dengan seluruh sisa tenaganya.
Namun bukannya kasihan, pengemis itu tertawa mmakin keras hingga gemasnya berpantulan di seluruh puncak gunung," Ahahaha.... hahaha...ada begal kehilangan akal. Sok jadi pahlawan di hadapan pengemis. Kalau kau benar-benar rela mati, mengapa kau masih memilih cara kematianmu? Apa bedanya mati di pinggir danau dengan kucabut nyawamu di sana dibanding jika kau mati terbakar kawah? Apa bedanya mati tanpa kesakitan dengan mati didahului kesakitan jika pada akhirnya sama-sama mati? Ahahaha...hahaha...orang tak punya nalar sedang tawar menawar denganku!'
Kidang Panah menggeram, " Aku tidak takut mati dengan cara apapun asal kau janji menyembuhkan seluruh orang Padma Dewi yang sakit dan membangkitkan yang telah meninggal!"
" Kalau begitu, sini! Kemarilah! Hahahaha..."
Kidang Panah mengatupkan bibirnya Berjanji dalam hati tidak akan berteriak sesakit apapun yang akan menderanya. Hidup atau mati sekarang sama Demi warga Padma Dewi ia sudah ikhlas membayar keselamatan mereka semua dengan nyawa dan dera siksa sesakit apapun.
Setengah melompat Kidang Panah masuk ke danau kawah Gunung Kampud. Seketika telapak tangannya terbakar. Ia ingin berteriak, namun ditahannya. Dengan merayap ia terus merangkak maju. Cairan kawah menelannya seketika. Ia angkat tangannya, melihat lengannya sudah meleleh. Daging berjatuhan hingga terlihat tulang lengannya. Rasa panas tak tertahankan mendera. Kidang Panah menggigit lidahnya sendiri agar tak berteriak. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan menjelang kematiannya. Saat ini yang ia pikirkan bukan bagaimana cara bertahan hidup lagi, tetapi bagaimana agar kematiannya berguna untuk menyelamatkan seluruh jiwa warga Padma Dewi.
Semakin Kidang Panah merangkak, makin tenggelam tubuhnya. Sekujur daging yang tersentuh kawah sudah meleleh lepas. Kini tinggal wajah Kidang Panah yang tersisa. Namun, kawah sudah menyentuh bibirnya yang segera meleleh juga. Kidang Panah masih merangkak hingga kawah menyentuh dan siap menutup lobang hidungnya. Sudah pasti ia mati!
Tiba-tiba pengemis itu terbang berkelebat menyambar tubuh Kidang Panah yang sudah siap tenggelam sepenuhnya..Pinggang Kidang Panah yang tinggal berujud tulang belulang ditentengnya, secepat kilat. Ia menjejak permukaan kawah dan membawa jasad Kidang Panah terbang.
' Ahahaha.....muridku! Muridku yang hebat telah kutemukan. Tenanglah kau, Gajahmada! Bersukacitalah kau, Nusantara. Hahaha....'
."""
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
matur nuwun 🙏
berkah untuk Jaka Julig
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆