KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad
Suatu malam di Majapahit.
Halimun yang pekat menyelimuti Alas Sunyakama. Sunya bermakna hampa sunyi, sedang Kama berarti napsu, keinginan. Artinya, hanya manusia yang telah menyingkirkan
napsu duniawilah yang mampu tinggal di hutan itu. Tentu tidak terhitung binatang buas pemakan daging dan tumbuhan di sana. Sebab hutan sesungguhnya memang untuk hewan dan tumbuhan yang hidup secara insting demi kebutuhan bertahan hidup, bukan manusia yang keinginannya tidak mengenal batas puas. Banyak cerita berhembus, orang-orang yang masuk ke alas Sunyakama tidak pernah kembali. Beberapa versi mengatakan mereka dimakan seekor Naga bernama Sanghyang Karma yang mampu mendeteksi niat buruk seseorang. Beberapa lagi ada yang meyakini mereka dicabik-cabik oleh Sardula Datu ( Sardula \= Harimau, Datu \= Raja ) yang selalu lapar oleh daging orang jahat.
Sebagian kecil memang ada yang beruntung mampu keluar dari hutan Sunyakama dengan selamat, namun anehnya mereka semua berubah menjadi pribadi yang ‘lain’. Mereka kehilangan keinginan, beberapa bahkan dianggap gila, atau setidaknya linglung. Namun mereka memiliki kemampuan yang bertuah. Entah tiba-tiba mampu mengobati orang yang sakit, menyingkirkan wabah yang melanda desanya, atau menjadi perapal mantra yang mampu mengalihkan hujan, menyingkirkan Siluman, menguasai lontar-lontar sakral, padahal sebelumnya buta aksara, ada juga yang tiba-tiba menjadi mpu Keris. Ciri-ciri lainnya, mereka menjadi pendiam dan tidak bersedia menceritakan pengalaman selama di hutan, kadang kalau bicara juga seenaknya seperti tidak nyambung persis orang gila. Penduduk desa di sekitar hutan itu menghormati mereka sebagai orang yang ‘Lulus’ dari ujian maha berat, sehingga mereka ditokohkan dan didengar suaranya, seaneh apapun. Dan yang jelas, orang-orang yang lulus itu menolak bayaran ketika dianggap berjasa. Sebagai balasannya, orang-orang yang merasa berhutang budi pada mereka secara diam-diam menaruh bahan makanan atau buah-buahan di halaman orang ‘lulus’ itu di malam hari agar dapat dipungut sebagai penyambung hidup untuk mereka yang tidak pernah meminta.
Tapi benarkah alas Sunyakama tidak dihuni seorangpun manusia? Tidak ada yang pernah tahu hingga malam ini terdengar ledakan dahsyat bersamaan dengan guncangan yang membuat penduduk desa Arcala terbangun dalam kejut.
“ Apa yang terjadi?” Kebo Ireng, penguasa desa Arcala berlari ke pelataran. Di jalanan sudah berkerumun warga desa yang juga terbangun oleh goncangan dan suara misterius .
“ Saya tidak tahu, Ki Buyut. Tapi lihat, di tengah alas Sunyakama membara.” Sahut seorang pemuda berusia kira-kira 20 tahun.
Kebo Ireng yang disebut ki Buyut, Buyut adalah jabatan penguasa desa pada masa itu, menghela nafas panjang dengan khidmat menangkupkan tangan,” Jagad Dewa Bathara!”
“ Ada apa, ki Buyut? Apa kita harus memadamkan bara api itu agar tidak membuat kebakaran hutan?”
Buyut Kebo Ireng menatap dengan senyum mengejek geli,” Kamu gila apa berani masuk ke sana? Pengen mati? Sudah bosan ngeloni istrimu?”
Para lelaki yang semula tegang dengan kejadian itu serentak tertawa. Buyut Kebo Ireng memang suka bercanda.
“ Ya kalau Jugul mau masuk alas Sunyakama silahkan, biar Priyanti saya yang jaga deh.” Sahut seorang pemuda.
“ Keparat kau, Julig! Dasar kirik!” Sahut Jugul sambil mengepalkan tangan ke dahi Julig.
Julig yang disebut anak anjing justru menjulur-julurkan lidah, melompat-lompat dan menggonggong. Julig memang pandai meniru suara binatang. Semua suara binatang penghuni hutan, ternak, sampai burung-burung dapat ia tirukan dengan tepat.
Kerumunan warga desa yang semula tegang jadi mencair suasananya setelah melihat dua sahabat Jugul dan Julig saling bercanda.
Sejenak setelah tawa mereda, Kebo Ireng mengangkat tangan ke depan dada memberi tanda bahwa apa yang akan ia sampaikan perlu perhatian. Warga sudah paham dengan isyarat itu. Kebo Ireng meski kadang santai namun sebenranya pengetahuanya sangat luas, konon ia pernah ke Kota Raja Majapahit, dan mengabdi pada seorang Pujangga Kraton.
“ Kalian semua setelah ini pulanglah ke rumah masing-masing. Tapi jangan tidur sampai matahari terbit. Haturkan sembah pada sang Hyang, berterimakasihlah pada Sang Kala yang telah memberi kesempatan pada kalian menjadi saksi atas tergenapinya ramalan Dewata Agung ini. Ingat kan waktu Krama yang sudah lulus dari Alas berceloteh dalam karawuhannya (Karawuhan \= Kesurupan Roh \= Terasuki Ilham) bahwa Dewata akan segera mendatangkan seorang Ksatria Negara dengan mengendarai Arcala? Kini aku tahu maksudnya. Desa kita bernama Arcala, artinya Goncangan. Dan inilah tandanya. Sekarang kalian bubarlah.”
Warga desa menyimak kata-kata sang Buyut dengan khidmat. Mereka sangat percaya dengan ketinggian ilmu penguasa wilayahnya. Ada semacam rasa bangga bercampur haru, sekaligus ingin tahu bagaimana mungkin sebuah desa terpencil yang diapit oleh dua bukit besar sehingga sinar mataharipun enggan mampir ke sana hingga sampai menyeberangi punggung bukit di puncak teriknya, terpilih sebagai desa yang melahirkan seorang Satria Pilih Tanding yang katanya mampu menguasai rahasia empat unsur alam ; Air, Api, Angin, dan Tanah? Katanya itu sudah disebut di lontar-lontar leluhur. Bahkan konon, pada akhirnya Sang Satria Pinilih akan diijinkan menggunakan kekuatan Angkasa Hampa bila dharma baktinya pada Bhumi Majapahit terpenuhi.
Satu per satu warga desa mengangguk, menyampaikan salam hormat pada ki Kebo Ireng, berpamit untuk sembahyang di rumah masing-masing, hingga jalanan kembali menjadi sunyi.
Kebo Ireng menyilangkan kedua tangannya di dada, bersedekap. Napasnya keluar masuk dengan ritme perlahan. Tampaknya ia bersemadi atau mencoba mengintip kejadian apa yang sebenarnya sedang berlangsung di tengah alas Sunyakama yang membara.
Sekitar sehitungan air mendidih, ia membuka mata. Didengarnya ada helaan nafas di belakangnya. Ia segera tahu siapa orang yang menunggui meditasinya. “ Julig, kamu tidak ikut masuk ke rumah?”
Julig adalah seorang pemuda berumur 18 tahun. Kulitnya putih bersih, sangat halus sehingga sekilas menyerupai wanita sinar, matanya kocak suka bercanda, wajahnya sangat tampan untuk ukuran orang desa. Sayangnya ia bertubuh pendek di bawah rata-rata, tetapi tidak cebol, kurang lebih setinggi perempuan. Kalau laki-laki normal berukuran tiga setengah siku, Julig kira-kira tiga siku, jadi memang seperti perempuan. Ia dipanggil sebagai Julig bukan karena licik, namun karena banyak akal dan pandai bicara. Dan sebenarnya, Julig seorang terpelajar yang berguru kepada Kebo Ireng tentang Sastra dan kerohanian, namun hubungan guru dan murid ini dirahasiakan di depan umum. Hanya bila mereka berdua saja, komunikasi guru dan murid terjadi.
“ Sebenarnya saya menyimpan sebuah pertanyaan, Bapa Guru. Tapi, apa Bapa memperkenankan saya bertanya?” Julig bertanya sembari menangkupkan tangan menghatur sembah sebagaimana norma yang berlaku pada saat itu.
“ Apa tentang goncangan di Alas Sunyakama?”
“ Benar, Bapa.”
“ Silahkan. Malam ini aku tidak akan menutup segala hal yang sudah dibuka oleh Dewata sendiri.”
‘ Terima kasih, Bapa. Apa benar alas Sunyakama sesungguhnhya ada penghuni suci yang berujud manusia?"
“ Benar.”
“ Dan itu Yang Mulia Mpu Angalas?’
Kebo Ireng tertawa lirih,” Jadi selama ini kau pikir Mpu Angalas itu dongeng? Hehehe…dasar kamu sudah Julig, bogel lagi!”
“ Ampun, Bapa. Saya tidak tahu, karena yang saya dengar selama ini hanya desas desus.”
“ Beliau benar-benar ada. Guruku sendiri pernah bertemu saat beliau menjadi Pujangga. Namun, hari ini Alam mengisyaratkan bahwa beliau tidak sendirian di hutan itu. Sang Mpu ditemani seorang Ksatria Pinilih. Jadi, selama ini Yang Mulia sedang menatar seseorang di Sunyakama tanpa diketahui siapapun. “
“ Terima kasih atas kejelasan makna goncangan Arcala ini, Guru.”
Buyut Kebo Ireng mengulurkan tangannya. Mengusap penuh kasih sayang ubun-ubun Julig,” Dan kamu pun terpilih sebagai bagian dari rencana semesta ini untuk kejayaan Negara. Kamu akan bersama-sama dengan sang Ksatria.”
Julig terkesiap. Detak jantungnya bagai berhenti mendengar kalimat gurunya.
“ Maksud Bapa?”
“ Hening saja. Terimalah. Aku merestui, jiwa raga. Dari dunia maya sampai kelak di alam kesejatian, keselamatan maupun kesesatan seorang murid adalah tanggung jawab Guru. Siap-siaplah mengiringi di belakang langkah Ksatria bila ia melangkah, dan membuka jalan terdepan untuk menyingkirkan bahaya. Ini sabda yang baru saja kuterima dalam semedi tadi. Sabda dari Yang Mulia Mpu Angalas!”
***
Mpu Angalas tertegun menatap lobang yang mengangakan bara tepat di tengah kepekatan hutan Sunyakama. Seumur hidup sejak hidup di keramain sebagai pujangga kraton maupun dalam pengembaraan sebagai mpu Keris, hingga kini menjadi pertapa yang mengasingkan diri di kesenyapan hutan, baru sekarang ia menyaksikan fenomena alam terdahsyat terjadi di depan mata.
Diawali dengan celorot cahaya biru kehijauan turun dari langit, sebuah Watu Lintang (meteor) raksasa terus menghujam. Ukuran meteor itu rupanya terlalu besar sehingga tidak habis menyerpih debu ketika begesekan dengan atmosfir Bumi. Jauh berlipat-lipat kali kecepatannya terus meluncur hingga menerjang udara di atas alas Sunyakama menimbulkan ledakan melingkar seperti cendawan yang suaranya ratusan kali dari gelegar guruh. Udara sekitar seketika terbakar dan pucuk-pucuk pohon layu dalam sekejap. Tidak sampai hitungan sekejap mata, ia menghujam tanah menimbulkan goncangan bagai gempa letusan gunung. Dan kini yang teesisa adalah tanah berlobang yang membara. Sementara di sekitarnya, pohon-pohon hangus menjadi tiang arang, bahkan beberapa seketika menjadi abu lenyap tanpa bekas seperti tersapu entah ke mana. Sementara, meteor itu tergeletak masih membara di pusat cekungan besar. Besarnya kira-kira segenggaman tangan.
“ Watu Limtang Sapu Jagad,” gumamnya lirih sembari menghaturkan sikap hormat pada daya alam semesta.
Tangan Mpu Angalas membentuk sikap sembah. Matanya yang bersorot sejuk menatap meteor yang masih membara itu. Dengan langkah sangat perlahan namun teguh, ia menuruni curaman cekung yang masih membara dengan suhu yang sanggup meleburkan besi.
“ Hati-hati, Bapa Guru,” terdengar suara dari seorang pemuda yang agak terengah berlari mendekat setelah mendengar dentuman dan melihat ada bara.
Mpu Angalas menoleh. Seorang pemuda kira-kira berumur 27 tahun, berperawakan sedang berkulit coklat namun bersih, wajahnya tampan dengan sorot mata datar mendekati dingin, sudah berdiri tegap di bibir cekungan.
“ Saya ikut, Bapa.” Belum sempat Mpu Angalas menjawab, pemuda itu sudah melangkangkahkan kaki ingin menyusul menuruni cekungan bara.
“ Berhenti !” Mpu Angalas menghardik,” Diam di tempatmu, Karna!"
Pemuda yang dipanggil sebagai Karna itu seketika menghentikan langkah. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa untuk mematuhi apapun perkataan Mpu Angalas.
“ Lihat saja, dan jangan bicara apapun sebelum aku bicara!” Mpu Angalas berkata lagi. Karna mengatupkan tangan di depan dahi tanda mematuhi perintah Mpu Angalas.
Kaki telanjang Mpu Angalas harusnya melepuh dan terbakar menginjak tanah membara. Namun itu tidak terjadi. Ia kini sudah duduk bersila tepat di samping meteor yang masih menyala. Sejenak menarik napas, tangannya menghatur sikap sembah sebelum memungut meteor itu dengan dua tangan seperti menggendong bayi dengan sangat hati\-hati dan penuh kasih sayang. Meteor yang menyala itu dihadapkan pada wajahnya. Mulutnya bergerak seolah sedang mengajak bicara. Lalu…Mpu Angalas menjilat bara meteor itu, dan…seketika padam api sekaligus baranya. Di tangannya sudah tergolek batu hitam setengah memgkilat sebesar sekepalan tangan. Bersamaan dengan itu, tanah yang semula membara seketika menjadi dingin dan pulih seperti sedia kala.
“ Turunlah, Karna.”
Karna segera turun dan duduk bersila menghadap sang Guru.
“ Ini Watu Lintang Sapu Jagad,” Mpu Angalas bergumam. “ Ini milikmu, Anakku Karna. Terimalah!” Mpu Angalas mengangsurkan batu meteor itu ke Karna.
Karna menerima meteor itu. Tiba-tiba ia merasakan sengatan energi yang sangat tajam merasuk ke sekujur tubuhnya. Nyaris ia lempar batu itu karena terkejut. Namun ia genggam kembali setelah sengatan itu berubah menjadi daya yang berputar-putar halus di di dadanya.
“ Untuk apa ini, Bapa?”
Mpu Angalas tidak menjawab pertanyaan Karna, justru ia mengangkat tangan kanannya member isyarat agar Karna diam. Karna segera tahu bahwa Guru sekaligus satu-satunya orang yang ia kenal di dunia ini akan membicarakan hal yang sangat penting dan tidak boleh dipotong.
“ Seperti yang sudah kuceritakan padamu, Karna. Aku pungut kamu saat kau masih belum bisa bicara. Maka itu kunamai kau Karna yang artinya telinga, sebab kau baru bisa mendengar. Harapanku, demikianlah caramu menghadapi kehidupan di dunia ramai nanti. Perbanyaklah mendengar, menyimak, dan berpikir, menimbang-nimbang segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, sebelum kau berkata sepatah katapun. Aku tidak tahu siapa orang tuamu. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Tapi kalaupun kau ingin mencari jejak atau keluarganya, kukira mereka ada di Kota Raja Wilwatikta Majapahit. Karena saat kutemukan tergolek di tengah perang yang kacau balau, pakaian dan perhiasan yang kau kenakan bagus. Orang tuamu paling tidak seorang pembesar bergelar Arya. Pakaian bayi dan perhiasanmu sudah kubungkus di pondok. Nanti sebelum berangkat, jangan lupa bawa itu…”
“ Bapa !” Karna memotong pembicaraan,” Maksud Bapa saya disuruh pergi dari sini? Saya tidak mau! Saya ingin….”
“ Diam!” Mpu Angalas menghardik keras. “ Biar aku selesaikan bicaraku!”
Karna menunduk dan Mpu Angalas melanjutkan bicara,” Sama seperti saat pertama aku melihatmu, Dewata seolah bicara untuk membawamu. Kau sudah kuajarkan segala hal yang kuketahui. Dari sastra, rohani, suasana dunia ramai di seberang hutan ini hingga ke Kota Raja, pengetahuan senjata dan kanuragan, semua sudah kuberikan. Kau adalah anakku, pewaris sejatiku, meski bukan darah dagingku. Pesanku, jika tidak terpaksa; jangan menerapkan 4 ajian pamungkas. Pertama, Tirta Gumulung yang artinya gulungan air atau ombak. Menebarkan dinginnya inti air. Ia bisa membekukan darah dan menghentikan jantung orang yang terhantam dayanya. Kedua, pukulan Tapak Dahana, mengandung inti panas Api, mampu membakar orang sampai tulang-tulangnya menjadi arang. Ketiga, ajian Bayu Bajra (Angin Ribut), ia menyerap inti udara. Dampaknya bisa melontarkan pusaran topan yang mampu mencabut pohon besar sampai ke akarnya. Apalagi manusia? Pernapasannya akan terhenti sebab seluruh daya udara tersedot oleh ajian Bayu Bajra. Andaikan kau terpaksa menggunakan 3 ajian itu saat menghadapi lawan yang tangguh, ukurlah dengan sangat hati-hati. Tidak perlu menerapkan kekuatan penuh. Ingat, jangan pernah berpikir untuk membunuh lawanmu saat bertempur. Kecuali dia musuh Negara dalam sebuah peperangan, atau pengkhianat yang menyusup, atau tidak ada harapan lagi untuk bertobat. Sebenarnya, 3 ajian yang mengambil inti sifat Unsur Alam itu diciptakan untuk pengobatan, asal pengerahan dayanya kecil saja, pas dan terukur. Misalnya, bila kau temukan seseorang yang nyaris mati karena kedinginan atau aliran darahnya beku, salurkan daya Tapak Dahana seperlunya untuk mengembalikan panas tubuhnya, atau mencairkan darahnya yang beku. Demikian juga ajian yang lain, tergantung situasinya. Ke empat, yang terakhir, ajian Sapu Jagad….”
Karna tercekat merasa tidak paham. Ajian Sapu Jagad belum pernah ia dengar, apalagi diajarkan. Namun ia segera ingat untuk tidak menyela pembicaraan. Mpu Angalas tersenyum maklum akan ekspresi bingung Karna.
“ Ananda Karna, ajian Sapu Jagad ini adalah milik pribadimu sendiri. Tidak seorangpun yang akan mampu memberimu cara membangkitkannya. Ia murni pemberian Sang Hyang Maha Kuasa melalui persatuan daya Langit dan Bumi. Lihat Watu Lintang yang kau pegang itu. Tadi pasti kau rasakan ada daya yang merasukimu kan? Itulah Sapu Jagad. Ia datang dari langit, dari kehampaan, melewati mega-mega yang mengandung air, menabrak udara sehingga meledak mengeluarkan api, kemudian menghujam Bumi, bersatu dengan tanah. Langit, Hampa, Air, Angin, Api, dan Tanah. Seluruh unsur kehidupan menyatu dalam Sapu Jagad yang tadi dayanya telah merasuki dan bersatu denganmu. Artinya, hanya kau sendiri yang mampu membangkitkan dan mengendalikannya kelak saat waktunya tiba. Ia akan berkembang dari dalam menurut dharma bhakti pribadimu sendiri, Praketi ( tindakan dan pemikiran\), dan kesadaranmu. Bila tingkat kesadaranmu sudah mencapai titik yang sama dengan seluruh sifat Alam, daya Sapu Jagad akan sempurna dengan sendirinya. Namun, karena ia terus bersamamu bersama batu meteor itu, ia juga akan memberi tanda secara nyata, kapan ajian itu sempurna. Yaitu, bila kau menemukan jodohmu. Seorang wanita mulia, anak dari seorang Mpu Keris pilih tanding. Siapa nama Mpu itu akupun tidak diberi gambaran oleh Dewata. Bisa saja ia berupa Mpu tersohor, bisa juga seorang sudra tak dikenal, atau pertapa, bahkan pengemis. Kau sendiri yang harus menemukannya. Ini menyangkut seluruh perjalanan hidupmu nanti. Menemukan jodohmu, sekaligus menemukan Mpu yang mampu membuat Keris Sapu Jagad dari bahan meteor itu. Bila Sapu Jagadmu sudah sempurna, akupun tak akan mampu menandingi kesaktianku.Tapi ingat, kesaktian bukan tujuan akhir seorang manusia. Di atas langit, masih ada langit."
Mpu Angalas menghela napas dalam sejenak, lalu berkata lagi,” Kedatangan Watu Lintang ini sekaligus tanda, bahwa sudah paripurna tugasku hidup sebagai manusia….”
“ Bapa !!!” Karna tak mampu lagi membendung diri untuk menyela,” Bapa mau Mokhsa? Jangan tinggalkan saya! Saya tidak butuh dunia ramai. Saya tidak butuh jodoh. Saya sudah merasa cukup hidup di sini, bersama Bapa. Paduka adalah Guruku, orang tuaku!”
“ Cukup, Karna. Cukup !!! Sudah dua kali kau menyela pembicaraanku. Itukah balasan bhaktimu padaku? Dengan menyela pembicaraan gurumu? Apa itu adat seorang Siswa? Sekali lagi kau menyela pembicaraan apalagi berani menolak perintahku, kau pergi dari sini sebagai orang yang terusir. Bukan sebagai muridku lagi, tetapi sebagai anak durhaka yang tidak kenal adab!”
Tubuh Karna gemetar. Seketika luruh seluruh nyalinya melihat hentak kemarahan Mpu Angalas yang biasanya penuh kasih lembut sebagai orang tua. Namun ia juga dilanda ketakutan yang teramat sangat. Bagaimana ia sanggup hidup tanpa gurunya, satu\-satunya orang yang ia kenal? Apalagi di dunia ramai yang belum pernah ia rambah sebelumnya. Apakah sama dengan cerita Mpu Angalas keadaannya? Bukankan di dunia ramai banyak orang jahat yang suka brdusta dan mencelakai? Tanpa didampingi seorang Guru, apa yang akan terjadi pada dirinya? Bagaimana kalau tiba-tiba ia disergap rindu sedang gurunya telah pergi ke alam keabadian?
“ Pergilah, anakku. Sekeluar dari alas Sunyakama ini, pakailah nama Jaka Wingit, karena kau sudah terasingkan sejak kecil. Aku merestui dan menyertai seluruh langkahmu. Negara membutuhkanmu. Di luar sana, ada kejadian sangat besar. Bhumi Majapahit memanggilmu. Jika kau mencintai dan patuh padaku sebagai Guru sekaligus orang tuamu, buktikan dengan memenuhi panggilan itu. Sekarang! Sekarang juga! Dan jangan menoloeh ke belakang begitu kau melangkah. Apapun yang terjadi, jangan menoleh ke belakang!”
Karna tau itu adalah sebuah perintah terakhir yang tidak mungkin dibantah.
Ia menatap wajah teduh Mpu Angalas yang demikian bersih seolah bercahaya. Tanpa noda, wajah tua namun tak berdosa. Ia ingin berlama\-lama menatap wajah itu, namun Mpu Angalas seolah memalingkan muka, lalu memberi isyarat agar Karna segera pergi.
Karna tidak berani membantah. Hatinya hancur. Tanpa kuasa menahan air mata, ia cium kaki Mpu Angalas sebagai tanda tunduk seorang Murid kepada Guru. Tetesan air mata menitik di ujung jari kaki Mpu Angalas. Mpu Angalas menghela napas sangat berat. Karna menyeka debu tanah dari kaki Mpu Angalas yang menempel di bibirnya. Mengurapkannya ke ubun\-ubun, ” Restu Bapa Guru yang mulia adalah hidup saya.”
Seperti yang diperintahkan, Karna yang sekarang dipanggil sebagai Jaka Wingit bangkit dan melangkah keluar dari lobang bekas meteor. Tanpa menoleh. Ia tidak tahu, bahwa Mpu Angalas pun menitikkan air mata.
“ Jangan menoleh. Ini juga sangat berat bagiku, Nak,” desis Mpu Angalas getir.
Setelah keluar dari cekungan, terdengar suara bergemuruh. Karna tidak tahu itu apa, sebab ia tidak boleh menoleh. Yang ia rasakan ada getaran seperti tanah longsor. Entah apa tanah sedang sedang mengubur jasad Mpu Angalas yang ia tinggalkan dalam kondisi bersila. Entah apakah itu proses moksanya jasad sang Guru.
Karna berlari kencang menerobos pekatnya hutan berusaha melupakan kecamuk perasaannya. “ Bapa…Bapa Guru….,” sepanjang perjalanan matanya tak berhenti basah. Ia tidak bisa menggambarkan apa yang sedang dirasakan.
Berlari ke timur. Ke Timur saja. Berlari seolah ingin meninggalkan kenangan terbaik bersama gurunya. Ke Kota Raja tujuannya. Karna si Jaka Wingit tidak menyadari, bahwa di depan sana sudah menunggu ribuan kisah petualangannya di dunia ramai. Ia tidak menyadari, dirinya akan berperan dalam membangun kebesaran Majapahit, bahkan Bumi Nusantara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Josef Nudu
alurnya bagus.
membuat penasara
2024-03-15
0
Ulun Kdi
Pembukaanx mantap👍👍
2022-10-11
1
putra
Salam
2022-10-05
0