🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Mas Gus
"Sayangnya, saya mungkin tidak bisa menemani para anggota untuk mengajar para santri selama empat puluh hari ke depan Yai," Gus Ihsan berkata setelah mereka selesai menyantap makan siang. Saat ini mereka sedang duduk-duduk santai di balkon lantai dua.
"Loh, kenapa San?" Abah Baharuddin berseru kecewa. "Abah kira kamu juga mau ikut nginep di sini loh,"
Gus Ihsan tersenyum, "Sebagai ketua PPI di daerah ini, saya harus mendampingi anggota lain untuk bersosialisasi di pesantren selanjutnya Bah,"
"Alhamdulillah.." Gus Sahil berkata spontan, membuat semua orang memandangnya terkejut. "Eh, maksudnya, alhamdulillah programnya bisa berjalan terus begitu," Gus Sahil mencari-cari alasan.
"Iya Gus, terimakasih banyak untuk doanya. Tapi saya janji, Insyaallah setiap satu minggu sekali saya usahakan untuk datang mengawasi jalannya program,"
Abah Baharuddin mengangguk-anggukan kepala. "Harusnya begitu. Abah juga pengen konsultasi soal program pesantren yang baru sama kamu,"
"InsyaAllah Bah, Saya siap kok membantu kapan saja. Oh iya Ning, kalau boleh, saya juga mau menawarkan sesuatu sama njenengan," Gus Ihsan merogoh saku celananya, memberikan sebuah kartu nama pada Hafsa. "Kalau berkenan, saya mau merekrut njenengan sebagai anggota PPI daerah ini,"
Hafsa menerima kartu nama itu ragu-ragu. "Tapi Gus, saya kan nggak ahli dalam bidang apapun. Memang saya bisa berguna di PPI?"
"Loh, bukannya njenengan dulu pernah ikut les masak sama Ajwa ya? Kue buatan njenengan kan enak sekali Ning. Saya inget dulu pernah pesan untuk acara organisasi,"
"Tapi itu kan sudah lama sekali Gus, saya sudah tidak pernah bikin kue lagi sekarang,"
Gus Ihsan terkekeh, "Yang namanya bakat itu, meskipun lama nggak dipakai, nanti juga bisa ingat lagi kalau sudah dipegang. Apalagi kalau diajarkan ke orang lain, pasti lebih jago. Jadi bagaimana, njenengan mau?"
Hafsa melirik ke arah Abah Baharuddin dan Umi Zahra yang tampak mengangguk bersemangat. Mereka berdua tampaknya setuju-setuju saja dengan tawaran itu. Hafsa kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Gus Sahil yang balas menatapnya dengan tatapan tajam, jelas sekali kalau suaminya itu tidak setuju dengan ide tersebut.
"Nanti ya Gus, biar saya pikir-pikir dulu," Hafsa membuat jawaban aman.
"Ya sudah, tolong pikirkan baik-baik Ning. Bakat njenengan terlalu sayang kalau disia-siakan begitu saja,"
Hafsa mengangguk. Sementara Gus Sahil masih tidak melepaskan pandangannya dari sang istri.
Setelahnya, Gus Ihsan berpamitan. Dia sudah ditunggu oleh para anggota di pesantren lain. Sementara anggota yang tersisa diarahkan untuk menginap di tempat yang sudah disediakan.
...----------------...
"Menurutmu, Gus Ihsan itu bagaimana Brur?" Tanya Gus Sahil pada Mabrur yang sedang sibuk mencuci mobil. Ia sendiri duduk di undakan teras. Menonton aktivitas Mabrur.
"Bagaimana apanya Gus? Maksudnya wajahnya? Kalau Gus Ihsan itu menurut saya ya ganteng," Mabrur menjawab pertanyaan Gus Sahil sambil terus menyikat ban mobil.
"Ah, masa sih Brur? Ganteng mana sama aku?"
Mabrur terlebih dahulu menatap Gus Sahil sebelum kembali meneruskan pekerjaannya. "Ya kalau menurut saya gantengan Gus Ihsan sih Gus,"
"Ah, seleramu yang jelek Brur!" Gus Sahil melemparkan kanebo ke arah Mabrur. Merasa kesal.
"Loh, itukan pendapat pribadi saya Gus. Ya njenengan itu juga ganteng sih. Tapi, menurut saya, njenengan itu gantengnya ngebosenin, beda sama Gus Ihsan. Kalau Gus Ihsan itu manis, sopan, rapi. Pokoknya kalau dilihat terus itu makin ganteng!"
Gus Sahil jelas makin kesal mendengar jawaban Mabrur. "Nggak jelas kamu Brur!"
Mabrur hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung sendiri letak salahnya dimana.
"Brur," Hafsa muncul dari dalam rumah. "Antarkan aku ke apotek yuk, mau belikan obat buat Umi,"
"Loh, memang Umi kenapa Sa?" Gus Sahil yang menyahut. Buru-buru menghampiri Hafsa.
"Ya nggak apa-apa Gus, cuma stok obatnya habis, harus beli lagi,"
"Oh.. Yasudah, kalau gitu biar aku yang antar," Gus Sahil menawarkan diri.
"Nggak usah Gus!" Hafsa buru-buru menolak. "Saya diantar Mabrur saja,"
"Loh, kamu itu gimana toh? Mabrur sama aku itu masih lebih berhak aku buat nganterin kamu. Mabrur itu bukan siapa-siapa, sementara aku itu suami kamu yang sah. Memang kamu nggak tahu kalau pergi sama yang bukan mahram itu nggak boleh?"
"Saya cuma nggak mau merepotkan njenengan Gus. Sudahlah, saya sama Mabrur saja, nanti minta temani Mbak Zulfa biar nggak cuma berdua,"
"Ketimbang kamu repot-repot nyari Zulfa yang lagi ngaji, mending sekarang langsung berangkat sama aku," Gus Sahil tetap tidak mau kalah.
Hafsa menarik napas panjang. Ia menyerah berdebat dengan Gus Sahil. Akhirnya berangkat diantar oleh suaminya itu.
...----------------...
Sepanjang perjalanan, Hafsa dan Gus Sahil tidak saling bicara sepatah kata pun. Radio mobil yang menyanyikan lagu-lagu sholawat pun tidak membuat suasananya menjadi lebih ceria.
"Memang, kamu mau menerima tawarannya Gus Ihsan tadi?" Gus Sahil memulai percakapan.
"Memang sama njenengan boleh?" Hafsa balik bertanya. "Tatapan njenengan tadi seolah sudah mau membunuh saya kalau saya terima tawaran itu,"
"Aku nggak begitu kok," Gus Sahil membela diri.
"Oh, kalau begitu berarti boleh ya? Yasudah, saya mau hubungi Gus Ihsan sehabis ini,"
"Eh, ya jangan lah," Gus Sahil buru-buru menolak. "Kamu kan sudah janji sama Abah buat mensukseskan program anak-anak santri,"
Hafsa tidak berkomentar. Berdebat dengan Gus Sahil memang melelahkan.
"Lagian, kamu kenapa nggak pernah bikinkan kue buatku? Kalau Gus Ihsan nggak bilang, aku malah nggak tahu kalau kamu pintar bikin kue,"
"Kan tadi saya sudah bilang Gus. Saya memang lama tidak bikin kue lagi, sudah malas,"
Gus Sahil melirik ke arah Hafsa sembari tangannya sibuk menyetir.
"Mulai sekarang, aku nggak mau dipanggil Gus lagi sama kamu,"
"Maksudnya?" Hafsa menoleh pada Gus Sahil dengan tatapan heran. "Njenengan pengen dipanggil Kyai gitu?"
"Bukan," Gus Sahil menggeleng. "Aku pengen kamu manggil aku seperti panggilan suami pada umumnya. Ya masa, kamu manggil aku sama Gus Ihsan nggak ada bedanya? Bisa-bisa orang kira yang suami kamu itu si Gus Ihsan, bukan aku,"
"Kok jadi bawa-bawa Gus Ihsan begitu sih Gus?" Hafsa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Memang njenengan mau dipanggil apa to? Ayang? Bebeb? Hubby? Memang njenengan mau dipanggil pakai panggilan begitu,"
"Ya jangan yang seperti itu lah," Gus Sahil risih sendiri membayangkan dirinya dipanggil dengan salah satu sebutan itu. "Panggilan yang umum saja. Seperti Mas, misalnya,"
"Mas?" Hafsa menyipitkan mata mendengar Usulan Gus Sahil. "Mas Gus?"
"Ya itu juga boleh," Gus Sahil mengangguk-angguk setuju. "Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan itu,"
"Njeh Gus," Hafsa menjawab datar.
"Loh, kok masih sama aja? Dicoba lagi, gimana tadi jawabnya?" Gus Sahil mengoreksi. Hafsa menghela napas dalam-dalam sembari melirik suaminya dengan tatapan maut,
"Njeh Mas Gus,"