~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Mertua 2
“Biar Jingga, yang menjaga Mama hari ini”. Ia memberanikan diri untuk mengucapkan sebuah kata, memecah ketegangan dalam meja makan.
Sorot matanya menatap teduh wajah wanita paruh baya di depannya, tak ada balasan yang di berikan. Hanya saja Jingga, ingin melakukan yang terbaik untuk orang terkasih. Sejak kecil tak pernah mendapat kasih sayang seorang Ibu. Membuatnya begitu merindu berada di sebelah seorang wanita yang bergelar sebagai seorang Ibu.
Fajar dan Pak Angga, sudah bersiap untuk berangkat ke kantor dengan di dampingi asisten masing-masing. Mereka akan berangkat menggunakan mobil yang terpisah. Suatu tradisi dalam keluarga ini, jika seorang Tuan besar dan Tuan muda tidak di perkenankan untuk berada dalam satu mobil, kecuali dalam hal darurat.
Tak ada kecupan manis yang singgah di kening Jingga, seperti yang Bu Nadin terima dari Papa mertuanya. Jingga dan Fajar begitu canggung, Fajar mengulurkan tangannya dan berakhir dengan Jingga yang harus mencium punggung tangan suaminya. Tentu saja semua itu hanay drama belaka, mengingat mereka sedang berada dalam rumah orang tuanya.
Jingga mulai memberanikan diri mengajak Mama mertuanya berbicara.
“Apakah Mama butuh sesuatu?”. Wajahnya memelas mengharapkan sebuah sambutan akan kebaikan yang ia tawarkan.
Bu Nadin lebih memilih diam tak bergeming.
“Apakah Mama mau istirahat saja di kamar?”.
Tak ada jawaban yang di berikan mertuanya.
Jingga tak putus asa, ia ingin menghibur dan mengabdi sepenuhnya pada keluarga barunya. “Bolehkah Jingga, membawa Mama jalan-jalan ke taman depan rumah utama ini?”. Tawarnya kembali dengan wajah yang benar-benar memelas, mengharap sebuah sambutan yang terulur untuknya.
“Biar Mama tidak stres, mari kita lihat bunga-bunga yang ada di taman depan”. Tangan putihnya memberanikan diri untuk meraih tangan mertuanya, membimbing untuk membawanya keluar menikmati pagi.
Namun sayangnya, dengan cukup cekatan Bu Nadin menampik tangan Jingga.
Ia kembali tersenyum, pada Mama mertuanya. Ia sadar jika kehadirannya memanglah tidak di inginkan. Kini Bu Nadin mulai beranjak dari meja makan dan kembali ke kamar. Jingga hanya bisa menatap kepergian Bu Nadin, mengikuti dari jarak jauh, memastikan jika wanita itu baik-baik saja hingga sampai di kamarnya.
Setelah memastikan mertuanya baik-baik saja hingga masuk kamar. Jingga kembali menuju dapur, kali ini ia ingin membuat bubur kacang hijau lagi untuk Mama. Demi mengurangi kebosanan yang ada, Jingga menambahkan sagu mutiara dan juga bubur ketan hitam nantinya.
Tangannya kembali saling beradu untuk menciptakan sebuah rasa yang dapat menggugah selera.
“Nona sedang apa?, baunya harus sekali sepertinya ini sangat enak”. Hidung para pelayan saling mengendus kala melewati dapur.
“Non Jingga selain cantik, juga pandai sekali ya memasak, padahal Nyonya itu sangat susah menerima makanan jika tidak enak rasanya. Tapi masakan Non Jingga tidak ada yang beliau tolak”. Penuturan pelayan pembuat hati Jingga menghangat.
“Benar saja Mama, tidak akan menolak makanan yang ia masak, asal belum tahu jika ia yang memasak. Jika sudah tahu aku yang masak pasti tidak mau makan lagi”. ucapnya dalam hati
***
Hingga menjelang pukul delapan malam, Fajar maupun Pak Angga belum juga kembali pulang. Jingga mulai resah menanti kehadiran mereka. Sementara Bu Nadin masih berdiam diri di kamar enggan untuk keluar. Yang paling membuat Jingga khawatir adalah keadaan Bu Nadin, ia belum makan kembali sejak sarapan tadi. Bu Nadin mengatakan jika akan makan ketika suaminya pulang.
Pukul Sembilan, tak ada tanda-tanda dua pria dewasa itu akan kembali. Jingga memutuskan untuk mendatangi kamar Bu Nadin, ia membawa semangkuk bubur kacang hijau yang berkolaborasi dengan ketan hitam dan juga mutiara, tak lupa siraman kuah santan dan daun pandan menjadikan aromanya kian harus menyerbak.
“Ma, bolehkah Jingga masuk?”, ia berdiri di ambang pintu menunggu sebuah jawaban.
Diam, sepertinya Bu Nadin memang benar-benar enggan untuk berbicara dengannya. Kini Jingga memberanikan diri untuk masuk kamar Bu Nadin, tak lupa terlebih dahulu ia mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Tok..tok..tok...
“Ma, Jingga masuk ya”, kini ia duduk di tepi ranjang dengan membawa semangkuk bubur panas di tangannya.
Diam.
Benar-benar sunyi susana kamar itu.
“Mama, makan dulu ya, Jingga bawa bubur untuk Mama”.
Diam, Bu Nadin masih enggan untuk bersuara.
Berdering....
📞Calling suami.
Dengan cukup cekatan tangan Bu Nadin, meraih ponsel yang ada di samping ranjangnya
“Iya, Mas kapan pulang?”. Tanyanya pada Pak Angga yang berada di sebrang sana.
“Ma, sepertinya hari ini aku dan Fajar akan pulang larut malam, bahkan kami akan menginap jika kondisinya tidak memungkinkan untuk pulang. Ada sesuatu yang harus Papa dan Fajar kerjakan”. Tukasnya dan langsung menutup panggilan itu secara sepihak.
“Halo..halo....”, ucap Bu Nadin dan lekas membuang ponselnya ke segala arah yang ada dalam ranjangnya.
“Mama makan dulu ya, setelah itu minum obat”. Jingga yang mengetahui jika mertua dan suaminya tidak pulang kembali menawarkan makan untuk Bu Nadin.
“Aku tidak lapar!”, jawabnya dengan ketus dan membuang muka, enggan untuk menatap Jingga.
Kruk...Kruk...Kruk..
Sayangnya hati dan perut tidak sinkron, Jingga yang menyadari bunyi itu berasal dari perut Bu Nadin kembali menawarkan makan untuknya.
“Biar Jingga siapin ya Ma”. Bau gurih dan juga harum begitu menyeruak dalam ruangan, apalagi kepulan asap di atasnya mampu membuat Bu Nadin menelan ludahnya dengan begitu kasar.
Tangan Jingga, terulur mengisi setengah sendok bubur itu dan menyodorkan pada mulut Bu Nadin.
Tiga detik kemudian.
Bu Nadin, yang tak kuasa menahan perutnya yang lapar serta bau bubur yang begitu menggoda selera, reflek membuatnya membuka mulut dan menerima suapan dari Jingga. Bu Nadin menelan bubur itu, menikmati sensasi rasa yang berbeda, benar-benar enak. Bahkan lebih enak dari pada resto bintang lima tempat ia biasanya makan. Tak kuasa menolak uluran tangan Jingga, ia kembali membuka mulutnya hingga habis satu mangkuk penuh.
“Sekarang Mama minum obat dulu ya”. Kali ini Jingga terulur memberikan beberapa butir obat yang sudah di siapkan oleh dokter untuknya.
“Mama Istirahat dulu ya, biar Jingga pijet?”.
Bu Nadin masih enggan untuk bersuara, tapi ia menuruti semua perintah Jingga.
Kini tangan Jingga, mulai menyentuh kaki mertuanya, meskipun sudah berusia cukup matang tapi kulit Bu Nadin masih sangat terawat dan juga bersih. Jingga memberikan pijatan-pijatan ringan di seluruh kaki dan tangannya.
Sepanjang memberikan pijatan pada Bu Nadin, Jingga bercerita banyak hal, tentang bunga-bunga, tentang tanaman hijau juga tentang beraneka macam resep makanan jawa yang ia ketahui.
Tanpa Bu Nadin sadari, ia menikmati setiap sentuhan yang Jingga berikan. Hatinya menghangat kala ada yang peduli dengan keadaannya. Jika biasanya ia sendiri di tengah kesunyian kini hadirnya Jingga membuat ia sedikit merasakan ada lentera dalam hidupnya.
.
.
.
.
.
Jangan lupa like, komen dan subscribe ya teman2