Adiba Hanifah dimadu oleh suaminya saat dirinya tengah hamil muda.
Sebuah targedi tak terduga membuatnya keguguran, sekaligus mengantarkannya pada sosok pria asing yang ternyata menjadi bosnya dikantor.
Sakha Genta Buana, pria arogan dan ketus yang menawarkan pernikahan dengan sebuah imbalan keselamatan ayahnya.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Akankah Adiba menemukan kebahagiaannya setelah separuh hidupnya penuh dengan penderitaan?
Atau justru semakin buruk karena Sakha menikahinya karena sebuah dendam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afifatun Nasobah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas Adiba
Ketukan dipintu disertai teriakan Haki tak membuat Adiba beranjak, wanita yang tengah mengemas semua bajunya kedalam koper itu masih terus fokus dengan apa yang dia lakukan.
Dia sudah muak berada dalam rumah ini, dia merasa sudah saatnya dia pergi. Entah kemana dirinya akan pergi nanti, yang jelas bertahan bukanlah sebuah pilihan. Tak peduli waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, dan jelas langit sudah mulai gelap, yang ia inginkan adalah segera pergi.
Ketukan pintu yang awalnya pelan semakin berubah menjadi gedoran, dengan malas Adiba membuka kuncinya. Ia menatap jengah pada Haki yang menatapnya nyalang, melangkah kembali kedepan lemari untuk melanjutkan mengepak baju.
Haki mencengkram pergelangan tangannya, memaksanya berhenti. Dia menghempaskan tangan Haki, namun kali ini tak berhasil, pria itu justru semakin mengeratkan pegangannya.
" Kamu tidak akan pernah pergi dari rumah ini." Suara tegas Haki tak lagi membuat Adiba gentar.
" Kamu egois Mas, kamu memaksaku bertahan, tapi tak mau membatalkan niatmu menikahi wanita itu." Adiba meringis merasakan tangannya semakin sakit, Haki yang menyadarinya segera melepaskan cengkramannya.
" Maaf..."
" Mungkin inilah sifatmu, Mas. Selalu melukaiku hanya untuk memenuhi egomu."
" Maaf Adiba, Mas terbawa emosi."
" Emosi, bukankah yang seharusnya emosi adalah aku?. Sudahlah Mas, aku benar-benar lelah. Aku ingin hubungan kita berakhir sampai disini saja. Sudah cukup lima tahun aku menjadi istrimu, meski tak sedikitpun ada cinta untukmu padaku."
" Tidak!." Haki menggeleng cepat.
" Mas mencintaimu Adiba, mas mencintaimu."
" Cinta?." Adiba memaksakan tawa. " Cinta seperti apa yang kamu maksud Mas? Cinta hanya untuk pelampiasan naf*umu semata? Begitu? Jika Mas sungguh mencintaiku, harusnya air mataku saja sudah membuatmu menangguhkan niat menikahi Farah. Tapi apa? Mas tetap kekeuh menikahinya bahkan saat aku telah menolak terang-terangan."
" Tolong bertahan dalam pernikahan ini Adiba, Mas akan berusaha untuk adil pada kalian. Mas benar-benar tidak bisa kehilanganmu."
" Bertahan pada pernikahan tanpa restu adalah hal yang sulit, dan menjadi mudah karena kamu selalu berada dipihakku setiap kali ibu memintamu menceraikanku. Tapi, bertahan pada pria yang bahkan tak cukup dengan satu wanita, aku tak bisa Mas."
Adiba langsung menutup kopernya, menariknya keluar yang diikuti oleh Haki. Tepat saat dianak tangga pertama, dia berbalik dan menatap calon mantan suaminya.
" Terima kasih, telah menanamkan buah hati yang akan menemani sisa hidupku." Ucapnya tersenyum tipis sembari mengusap perutnya, dengan air mata yang menetes dipipinya. Ia melanjutkan langkah menuruni tangga, dan keluar dari rumah itu.
Haki diam ditempatnya, langkahnya terasa berat untuk mengejar istrinya. Dia benar-benar tak rela berpisah dengan Adiba, namun memaksa wanita itu bertahan sepertinya bukanlah hal yang bisa merubah keadaan.
Ia akan mencari cara, agar Adiba mau bertahan padanya dan menerima Farah sebagai madu.
" Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku Adiba." Gumamnya dengan tangan yang terkepal.
Ponsel disaku bajunya berdering, Haki mengangkat panggilan dari Farah.
" Halo."
" Mas, sakit ibu kambuh lagi."
" Apa? Baiklah aku akan segera kesana!." Ucap Haki mengakhiri panggilan, lantas bergegas menuju rumah sakit tempat calon mertuanya dirawat.
Sementara Adiba yang tengah menaiki motornya tak tentu arah semakin kalut saat hujan mulai turun, juga langit senja yang semakin gelap membuatnya memilih berhenti disebuah halte yang sudah sepi. Entah kemana dia harus pergi digelapnya malam seperti ini, yang jelas keluar dari rumah itu lebih menenangkan ketimbang bertahan.
Wanita itu tengah menatap jalanan dimana kendaraan berlalu lalang meski hujan semakin deras, sembari memeluk tubuhnya yang kedinginan, hingga seorang pria menghampiri.
" Eh Neng, sendirian aja!." Seorang pria berjalan sempoyongan kearahnya. Bau alkohol yang terasa semakin menyengat membuat Adiba beranjak.
" Mau kemana Neng, disini aja temenin Abang." Pria berambut gondrong yang dikuncir kuda itu mencekal tangannya, membuatnya ketakutan.
Namun dengan mengumpulkan segenap keberanian, dia memukul kepala pria itu dengan tasnya. Kemudian menendang inti pria itu hingga meringis kesakitan. Membuatnya melepaskan cekalan tangan darinya. Adiba menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Sayangnya, jalannya dihadang oleh beberapa preman yang menatapnya dengan menjijikan.
" Jangan lari-lari dong Neng, senang-senang dulu sama kita."
Adiba melihat satu persatu preman itu, hingga dia menyadari salah seorang dari mereka adalah Rian, kakak angkatnya.
" Rian! Kamu tega sama aku!."
" Dia siapa Ri, kenal Lo?." Salah satu preman bertanya.
" Kakak tiri gue, udahlah gak papa. Sikat aja." Pria dengan tindik ditelinga kirinya itu menyeringai lebar.
" Yakin Lo?."
" Iya."
Salah satu preman merebut tas selempangnya, dua orang mencekal tangannya. Adiba terus berusaha memberontak, namun beberapa preman itu justru berusaha melecehkannya.
" Lepas!." Teriaknya.
Bugh! Sebuah tendangan tepat jatuh diperutnya, membuat Adiba merasakan sakit yang tak terkira. Yang ia pikirkan pertama kali adalah anaknya, dia berusaha melawan, namun tenaganya jelas bukanlah apa-apa dibandingkan para berandal itu.
Entah apa yang terjadi ia merasakan langkah para preman itu menjauh, dua preman yang mencekalnya melepaskan tangannya, tubuhnya terasa melayang, jatuh keatas trotoar yang dingin.
Yang jelas, samar dia mendengar suara sirine khas polisi. Pandangannya semakin samar saat merasakan sesuatu merembes diantara kedua kakinya, hingga ia merasakan sebuah tangan meraih tubuhnya, dan dia benar-benar kehilangan kesadaran.
" Bagaimana keadaannya?." Tanya Sakha pada dokter seusianya yang baru saja keluar dari UGD.
" Keadaan pasien sudah stabil, hanya saja..."
" Apa?."
" Pasien kehilangan janinnya." Jelas dokter Andi.
" Dia hamil?."
" Yah, usia kandungannya masih kurang dari dua bulan. Ngomong-ngomong, kenapa dia bisa bersamamu. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?." Tanya dokter Andi, yang merupakan sahabat Sakha. Atau setidaknya cukup mengenal seluk beluk kehidupan pria itu.
" Aku melihatnya dijalan."
Yah, Sakha melihat saat beberapa orang preman itu mengelilingi seorang wanita. Dia yang awalnya berniat pulang mengurungkan niatnya, karena kejadian itu mengingatkannya pada nasib adiknya, ia pun langsung turun dari mobilnya. Namun, melihat jumlah preman yang cukup banyak, ia memilih bersembunyi dibalik pohon, menyalakan suara sirine dari ponselnya.
Dan berhasil, para preman itu kalang kabut dan pergi begitu saja. Dan tentunya, tanpa dia harus bersusah payah.
Ia menghampiri wanita yang sudah terkulai lemas diatas trotoar, menyadari jika itu adalah Adiba, wanita yang menjadi karyawan baru perusahaannya.
Ia lantas menggendong wanita itu, sejenak dia terdiam, menyadari sesuatu yang basah dibawah Adiba. Namun dia tak mempedulikannya, dan langsung membawa Adiba kedalam mobil menuju rumah sakit.
" Ya sudah, sebaiknya kau bersihkan dulu tubuhmu, aku pergi dulu." Ucap dokter Andi menepuk pelan bahunya.
Tepat saat dokter Andi pergi, sekretaris Arav datang dengan sebuah paperbag ditangannya.
" Silahkan Tuan."
Sakha menerima paperbag itu. " Jaga dia!." Titahnya, Arav mengangguk patuh.
Sakha lantas pergi menuju toilet yang berada dirumah sakit swasta itu.
" Dia hamil? Artinya dia sudah menikah? Dia bukan korban...?" Gumamnya menggenggam wastafel setelah selesai membersihkan diri.
Sakha menggelengkan kepala menyadari pikiran buruknya. " Tak semua orang sesial Yumna..." Pria itu membasuh wajahnya, lantas keluar dari toilet, menghampiri Arav yang masih setia ditempatnya.
" Kau sudah urus mereka?." Tanya Sakha, yang telah menyuruh Arav mengurus orang-orang yang telah mengganggu Adiba.
" Masih dalam pengejaran Tuan, ada beberapa wajah yang tertangkap CCTV, sedangkan yang lainnya sangat tidak jelas."
" Lalu bagaimana dengan koper dan motornya?." Tanyanya menatap pintu UGD dimana Adiba masih tak sadarkan diri.
" Sudah aman Tuan."
" Kerja bagus."
" Eum Tuan? Ada sesuatu yang ingin saya katakan." Arav tampak ragu.
" Katakanlah, kenapa kau harus terlihat ragu?."
" Ini tentang Nona Adiba."
" Katakan!."
" Ternyata dia adalah putri dari Budi alias Irwan Sunarto."
" APA?."
Bersambung.