Ganhia Wijaya, seorang gadis cantik yang penurut dan pekerja keras, hidup dengan tenang di bawah naungan keluarganya yang sederhana. Namun, kedamaian itu hancur ketika ayahnya terjerat utang besar kepada Tuan Danendra Mahendra, seorang pengusaha muda yang kaya raya namun terkenal dengan sifatnya yang dingin dan sombong. Demi menyelamatkan bisnis keluarganya yang hampir bangkrut, ayah Ganhia memaksa putrinya untuk menikah dengan Danendra, meski hatinya menolak.
Akankah mereka menemukan kebahagiaan di tengah pernikahan yang dilandasi oleh sebuah kontrak yang penuh tekanan?
yuk mampir yuk di karya pertama aku🙏😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merlin.K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Black card
Malam semakin larut. Suara jangkrik dari luar jendela menemani keheningan kamar itu. Ganhia masih belum benar-benar tertidur, pikirannya masih bergelut dengan keanehan sikap Danendra malam ini. Biasanya, pria itu akan mengomel jika ia terlambat atau lupa satu detail kecil. Tapi hari ini? Tidak ada teguran, tidak ada tatapan tajam. Hanya diam, dan bahkan... tenang.
"Jangan-jangan dia lagi ada masalah besar, makanya diam begitu?" batinnya mulai mengembara ke segala kemungkinan.
Ganhia menghela napas pelan dan memutuskan untuk benar-benar tidur. Tapi baru saja matanya mulai tertutup, terdengar suara dari arah tempat tidur.
"Nhia..."
Ganhia langsung membuka matanya. Suara itu lirih, nyaris seperti gumaman, tapi ia yakin itu suara Danendra. "apa dia menyebut namaku."
Ganhia, masih dalam posisi berbaring, namun kini matanya tertuju pada sosok Danendra.
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas yang teratur. Mungkin pria itu sudah benar-benar tertidur. Tapi... mengapa memanggil namanya?
Ganhia bangkit pelan-pelan, mendekati tempat tidur, hanya untuk memastikan. Ia melihat Danendra yang tampak damai dalam tidurnya. Wajah itu jauh dari kesan dingin dan galak yang biasa ia lihat.
"Ah sudahlah, jangan mikir aneh-aneh, mungkin dia cuma ngigau," gumam Ganhia sambil kembali ke sofanya.
Namun, di balik matanya yang terpejam, Danendra sebenarnya belum sepenuhnya tidur. Ia sadar memanggil nama Ganhia, tapi memilih untuk diam saat gadis itu menjawab. Entah kenapa, hatinya terasa lebih ringan hanya dengan tahu gadis itu ada di dekatnya.
Pagi itu Ganhia turun bersama Danendra dari lantai atas. Langkahnya mengikuti dari belakang, seperti biasa—tanpa suara, tanpa keluhan. Ia sudah terbiasa berjalan seirama dengan langkah panjang Danendra yang tenang namun tegas.
Saat tiba di ruang makan, semua sudah duduk di tempat. Ibu, Gisel, dan Claudia yang sedang sibuk dengan ponsel masing-masing langsung mengangkat kepala ketika melihat Danendra datang... dengan Ganhia di belakangnya.
Danendra langsung menarik kursinya dan duduk, Haris yang akan menarik kursi Danendra tangannya langsun berhenti dan sedikit tertunduk dan mulai tersenyum dengan perubahan Tuan Muda " sejak anda hadir di sini Nona Tuan muda mulai sedikit seperti manusia lagi" Ganhia yang tahu posisi duduknya biasa di samping pria itu pun mendekat dan hendak duduk.
Namun belum sempat kursi itu ditarik, Claudia tiba-tiba berdiri dan dengan langkah cepat langsung duduk di samping Danendra, mendahului Ganhia.
Ganhia menghentikan gerakannya, menatap sekilas Claudia yang tersenyum manis ke arah Danendra sambil berkata,
"Aku di sini aja ya, Kak. Lama nggak duduk sebelahan sama Kak Nendra."
Namun reaksi yang ia dapat justru tegas dan dingin.
"Kembalilah ke kursimu, Dia," ucap Danendra datar tanpa menoleh padanya.
Claudia menoleh dengan ekspresi tak terima.
"Tapi—"
"Jangan buatku mengulang," tegas Danendra, kali ini tatapannya menusuk.
Claudia menoleh cepat, wajahnya langsung cemberut.
"Aku cuma mau duduk disini, kak". ujarnya dengan nada manja.
Namun Danendra tak menoleh padanya, hanya menatap piring kosong di depannya. "Aku tidak suka diatur-atur saat sarapan."
Claudia menghela napas panjang, bangkit dengan enggan dan kembali ke tempat duduknya, tepat di seberang meja. Gisel hanya menatap kakaknya dengan ekspresi tak percaya, sedangkan Ibu diam namun matanya tajam memperhatikan semua yang terjadi.
Ganhia akhirnya duduk di kursi itu. Dalam hati ia bergumam pelan, hampir tak terdengar:
"ternyata anda juga tertekan ya Adik ipar, dengan kakak anda sendiri."
Ia mulai menuangkan nasi ke piring Danendra, mengambil beberapa lauk yang ia tahu jadi favorit pria itu, dan dengan tenang berkata:
"silakan Tuan
Hening.
Gisel langsung menoleh ke arah Ganhia dengan alis terangkat. Ibu pun sempat menghentikan gerakan sendoknya, dan dalam hati berkata:
"Ternyata kamu hanya dinilai anakku layaknya pelayan, bukan pasangan."
Claudia, yang tadinya masih cemberut, kini justru tersenyum kecil, sinis namun penuh rasa puas.
"Tuan, ya." gumamnya pelan.
Gisel mengerutkan dahi. Ada yang mengganggunya dari panggilan itu. Ia memandang Danendra, seakan menunggu reaksi.
Tapi Danendra hanya mengambil sendoknya, dan dengan datar menjawab:
" terimakasih"
Tanpa basa-basi, ia mulai makan.
Ganhia menunduk sedikit, mencoba menutupi perasaannya yang entah kenapa terasa sedikit geli dan getir di saat bersamaan.
Lagi-lagi perkataan Danendra membuat semua orang yang ada di sana terkejut, tak terkecuali sekertaris Dirga yang baru datang.
Meja makan mulai sepi setelah Danendra dan Ganhia meninggalkan ruangan. Gisel berpura-pura sibuk dengan sarapannya, sementara Ibu masih menatap arah pintu dengan pandangan tajam, sebelum akhirnya meletakkan sendoknya perlahan.
"Claudia,"panggil Ibu dengan suara tenang tapi penuh makna.
"ya Bu," Claudia menoleh sambil menyeruput jusnya dengan santai.
"Kau liat sendiri, kan?"
"Maksud Ibu..."
Ibu Mahendra menarik napas pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Dia memanggil kakakmu Tuan. itu bukan panggilan seorang istri itu seorang pelayan..."
Claudia tersenyum kecil, mengangguk seolah menikmati kalimat itu.
Memang sejak awal dia terlihat seperti pelayan, Bu. Aku rasa kak Nendra cuma menjadikanya sebagai alat untuk memancing kepulangan Kak Alea Bu..
Ibu mengerutkan kening, namun tidak menyanggah, Ibu hanya tersenyum datar.
Claudia menghela napas berat, lalu meletakkan gelas jusnya.
"Kalau begitu… aku harus mulai bergerak, sebelum gadis itu duduk di posisi yang seharusnya jadi milik kak Alea."
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan." suara Ibu lembut, tapi tajam seperti pisau.
Suasana kantor Mahendra Group seperti biasa: sibuk, tertata, dan penuh profesionalitas. Setiap langkah Danendra disambut dengan sapaan hormat dari para staf, namun tidak ada yang berani menatapnya terlalu lama. Sosoknya terlalu dingin dan berwibawa untuk dijadikan bahan gosip.
Dirga mengikuti dari belakang, membawa berkas-berkas penting. Begitu masuk ke ruang kerjanya yang luas dan minimalis, Danendra meletakkan jasnya di gantungan dan langsung duduk di kursinya.
"Dirga." Suaranya tenang, tapi penuh instruksi.
"Ya, Tuan?"
" Buatlah satu Blac Kard untuk gadis itu." ucap Danendra sambil membuka laptopnya tanpa menoleh.
Dirga berhenti sejenak. Tangannya yang sedang membuka berkas mendadak diam. Ia menatap punggung Danendra dengan alis sedikit terangkat, tapi segera kembali bersikap profesional.
"Baik Tuan, akan saya urus hari ini juga"
Namun tanpa sadar, sudut bibir Dirga terangkat tipis membentuk senyum kecil. Senyum yang tidak bisa dia tahan walau hanya sedetik.
"limit?" tanyanya hati-hati.
Danendra menutup laptopnya perlahan, lalu bersandar ke kursinya. Matanya mengarah ke jendela besar yang menampakkan langit kota.
"tanpa batas."
Dirga menunduk sedikit, lalu menjawab mantap,
" mengerti Tuan."
Namun dalam hati, ia tidak bisa menahan gumaman kecilnya:
"Nona… sepertinya Anda sudah tidak akan bisa lari lagi. Tuan Muda kami memang tak pandai menunjukkan perhatian, tapi jika sudah memutuskan memberi... dia tidak pernah menarik kembali."
"Dan Anda, Tuan… sedikit demi sedikit, sifat Anda yang lama kembali. Hangat, meski tetap tertutup. Nona itu mengubah Anda tanpa Anda sadari."
Dirga membalik badan dan keluar dari ruangan, masih dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu benar, pemberian kartu Black bukan sekadar akses belanja. Itu simbol kepercayaan dan... perlindungan.
Sementara di dalam ruangan, Danendra kembali menatap layar laptopnya tapi pikirannya entah kenapa melayang ke rumah... ke gadis yang masih memanggilnya “Tuan” dengan wajah datarnya.
ternyata hanya untuk di panggil
sayang....
lanjut thor ceritanya
sedikit demi sedikit
telah tumbuh
lama" buanyak
dan bucin...
lanjut thor ceritanya