"Aku ingin besok pagi kau pergi dari rumah ku!"
"Bawa semua barang-barang mu aku tidak ingin melihat satu barang mu ada di rumahku!"
"Ingat Olivia...tak satu jejak mu yang ingin aku lihat di rumah ku ini. Pergilah yang jauh!"
Kata-kata kasar itu seketika menghentakkan Olivia Quinta Ramírez. Tubuhnya gemetaran mendengar perkataan suaminya sendiri yang menikahi nya lima bulan yang lalu.
"T-api...
Brakkk..
"Kau baca itu! Kita menikah hanya sementara saja, syarat untuk mendapatkan warisan orang tua ku!"
Bagai disambar petir, tubuh Olivia gemetaran menatap tak percaya laki-laki yang dicintainya itu. Seketika Pandangannya menggelap.
Bagaimana dengan Olivia? Mampukah ia mempertahankan pernikahannya?
Yuk ikuti kelanjutan Kisah Olivia "Istri Yang Terbuang".
Semoga suka. JANGAN LUPA TINGGALKAN SELALU JEJAK KALIAN DI SETIAP BAB YA 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OLIVIA-MAXXIE
Olivia dan Maxxie masih berada diruang kerja. Keduanya berdiri berhadapan. Maxxie bersandar di meja kerja dengan kedua tangan masuk kedalam celana panjangnya. Sedari tadi ia mendengarkan Olivia berbicara mengebu-gebu, membenci masa lalunya.
Perkataan yang terlampau sering Maxxie dengar saat bertemu dengan Olivia.
"Olivia.."
"Monica! Monica Franklin, kak. Berhentilah memanggil ku Olivia, Olivia Quinta Ramírez sudah lama mati. Yang ada dihadapan mu saat ini Monica Franklin", seru Olivia.
"Sampai kapan kau seperti ini. Sampai kapan masa lalu akan menghantui mu. Itu hanyalah masa lalu Olivia. Kau jangan terus-terusan mengingatnya. Kau akan terus menerus menyakiti diri mu sendiri. Menikahlah dengan ku, kita memulai kehidupan baru. Pergi yang jauh dari Amerika. Aku akan mengajak mu dan Asley tinggal di London, agar kau bisa melupakan semuanya", ujar Maxxie sambil mengusap lembut wajah cantik Olivia.
"Aku akan menyakiti mu, kak. Hatiku sudah tertutup menerima cinta dalam hidupku. Mungkin hatiku akan kembali terbuka saat dendam ku sudah terbayar pada orang-orang yang menghancurkan ku dulu", jawab Olivia dengan suara bergetar sambil memalingkan wajahnya. Setiap berbicara tentang masa lalu, otomatis kepedihan itu datang lagi melingkupi perasaannya.
Maxxie menatap Olivia dengan tatapan lembut. "Maka berbagilah kepedihan mu itu pada ku. Kau terus-terusan menyiksa diri mu Olivia. Lima tahun sudah berlalu, tak sekalipun kau katakan siapa suami mu...ayah Asley. Aku akan membantu mu menyelesaikan semuanya. Tapi kau selalu menolak memberi tahu ku. Kenapa kau tidak bersedia menerima bantuan ku?".
Olivia menatap sayu manik Maxxie. Hanya dihadapan laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai bagian hidup nya itulah Olivia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Rapuh dan lemah. Meskipun sekarang wanita itu tampak begitu kuat, namun sebenarnya ia tetaplah wanita lemah yang akan dengan mudahnya meneteskan air mata saat mengingat masa lalu nya yang begitu menyesakkan dada.
"Kakak sudah terlalu banyak membantuku. Biarlah bagian ini aku yang menyelesaikan nya".
Olivia menggenggam erat jemari Maxxie. "Aku dan putra ku sudah terlalu banyak menerima kebaikan mu, kak. Bahkan yang Asley tahu kau adalah ayahnya. Aku tidak akan pernah bisa membalas semua bantuan mu pada kami", ucap Olivia menatap Maxxie.
"Aku tidak bisa menjanjikan sebuah hubungan pada mu kak. Kakak berhak untuk mendapatkan wanita yang terbaik, dan itu bukan aku. Kakak tahu perasaan ini sudah lama mati. Aku lupa caranya mencintai. Perasaan cinta yang aku miliki habis tak bersisa, pergi bersama bajingan itu. Ia mengambil semuanya dari ku. Aku tidak mau menyakiti mu kak", ucap Olivia lirih dengan kedua mata yang sudah memanas.
Maxxie memeluk tubuh wanita rapuh itu. Ia sangat tahu bagaimana kondisi Olivia dari awal mereka bertemu hingga sekarang Sebenarnya Olivia tidak sekuat yang terlihat di luaran. Maxxie juga tahu selama mereka berpisah tempat tinggal, di saat sendiri Olivia masih sering menangis dalam kesendirian. Rosa rutin memberikan kabar kepadanya, ketika ia mendapat perintah Maxxie untuk tinggal bersama Olivia di New York. Sementara Max masih sering berpindah tempat antara Houston dan London.
Sebenarnya Max pun masih belum bisa melupakan istrinya. Cinta yang dimilikinya untuk Vivienne begitu besar dan kuat. Namun Maxxie mau membuka diri dan memulai hubungan baru bersama Olivia, tapi Olivia masih belum sembuh dari luka lamanya.
Max selalu rutin mengunjungi Olivia dan Asley yang menetap di New York. Saat pertama Asley bisa berbicara, anak itu memanggil Max, daddy. Max ingat betul momen itu. Maxxie tidak keberatan sama sekali, ia sangat menyayangi anak tampan bernetra silver tersebut seperti anaknya sendiri. Darah daging nya sendiri.
Tentu saja kala itu Olivia, ingin melarang Asley memanggil Max sebagai ayahnya. Karena Maxxie berhak bahagia bersama wanita manapun, tetapi Max melarang Olivia melakukannya.
"Aku tidak keberatan anak mu memanggilku daddy, Oliv. Kau tidak perlu merasa tidak enak begitu. Aku ada di saat anak mu lahir ke dunia ini, jadi wajar saja jika ia memiliki kontak batin pada ku. Setidaknya biarkan aku menjadi wali putra mu", ujar Maxxie kala itu.
Olivia tidak bisa menolaknya. Terlebih Asley semakin dekat pada Maxxie hingga kini. Yang Asley tahu, Maxxie lah ayahnya. Laki-laki yang selalu ada di saat ia membutuhkan figur seorang ayah.
...***...
To be continue