NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:204
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 12: Sinyal Bahaya di Dalam Lift

​Siang itu, pantry lantai 15 kembali menjadi saksi bisu makan siang sederhana antara seorang CEO yang menyamar dan staf adminnya. Aroma tumis kangkung dan udang balado memenuhi ruangan kecil itu.

​"Sumpah, Nay. Ini udang baladonya juara," puji Adit sambil menyeka keringat di dahinya. Rasa pedas masakan Nenek Ijah benar-benar "nendang", berbeda dengan masakan restoran bintang lima yang rasanya seringkali terlalu sopan di lidah.

​Nayla tertawa senang. "Syukurlah kalau Mas suka. Nenek seneng banget pas aku bilang bekalnya abis dimakan temen kantor."

​"Temen kantor doang nih?" goda Adit.

​Nayla tersipu. "Ya... temen spesial deh. Soalnya cuma Mas Adit yang mau nemenin aku makan di pantry. Yang lain pada gengsi, maunya ke mall atau kantin VIP."

​Di balik pintu pantry yang sedikit terbuka, sepasang mata sedang mengintai.

​Vina berdiri di sana, memegang ponselnya dengan mode kamera menyala. Ia tidak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas, tapi ia bisa melihat Nayla tertawa lepas bersama seorang pria.

​"Siapa sih cowok itu?" gumam Vina. "Bajunya kemeja biasa, lengan digulung... kayak anak General Affair atau IT. Selera Nayla rendah banget, pantesan makannya di pantry."

​Vina hendak pergi dengan mencibir, namun matanya menangkap kilauan benda di pergelangan tangan pria itu saat ia mengangkat sendok.

​Sebuah jam tangan.

​Sebagai wanita yang hobi mengoleksi barang branded (meski seringkali cicilan), Vina punya mata elang untuk barang mewah. Ia men-zoom kamera ponselnya semaksimal mungkin, lalu memotretnya. Cekrek.

​Vina mundur perlahan, kembali ke kubikelnya. Ia membuka hasil foto itu dan memperbesarnya. Gambar agak pecah, tapi bentuk bezel dan warnanya sangat khas.

​Rolex Submariner Date.

​"Gila..." bisik Vina. "Itu jam harganya dua ratus jutaan. Nggak mungkin KW, kilau steel-nya beda. Masa staf GA pake Rolex asli? Gajinya berapa emang?"

​Kecurigaan mulai merayap di benak Vina. Antara pria itu adalah anak orang kaya yang gabut kerja rendahan, atau... pria itu bukan staf biasa.

​"Nayla, Nayla... mainmu hebat juga," desis Vina licik. "Aku harus cari tahu siapa cowok ini."

​Sore harinya, pukul 17.00.

​Adit dan Nayla kebetulan pulang bersamaan. Mereka menunggu lift turun di lantai 15.

​"Mas Adit bawa kendaraan?" tanya Nayla.

​"Nggak, hari ini lagi pengen naik taksi aja," bohong Adit. Mobil Maybach-nya sebenarnya sudah menunggu di lobi VIP, tapi ia ingin mengantar Nayla sampai dapat taksi dulu. "Kamu langsung pulang?"

​"Iya, Nando minta dibeliin krayon. Mau mampir toko buku sebentar."

​Ting!

​Pintu lift terbuka. Kosong. Mereka masuk berdua.

​Namun, saat pintu hendak menutup, sebuah tangan menahannya. Pintu kembali terbuka.

​Seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu mahal dan aura pejabat tinggi masuk. Itu Pak Darmawan, Direktur Keuangan Rahardian Group. Orang nomor tiga paling berkuasa di perusahaan.

​Jantung Adit seakan berhenti berdetak.

​Pak Darmawan sibuk melihat ponselnya saat masuk, tapi begitu ia mendongak dan melihat siapa yang berdiri di pojok lift, matanya membelalak kaget.

​"Loh! Pak A—"

​Pak Darmawan hendak membungkuk hormat dan menyapa "Pak Adit", tapi kalimatnya terpotong.

​Adit memberikan tatapan tajam yang mematikan. Matanya melotot sedikit, lalu melirik cepat ke arah Nayla di sebelahnya, memberikan kode keras: DIAM atau kau kupecat.

​Pak Darmawan yang sudah puluhan tahun di dunia korporat langsung menangkap sinyal itu. Ia menelan ludah, badannya kaku seketika. Keringat dingin mulai keluar di pelipisnya.

​Nayla yang melihat reaksi aneh Pak Darmawan menatap bingung. "Mari, Pak," sapa Nayla sopan karena melihat ID Card Pak Darmawan yang talinya berwarna emas (tanda level Direktur).

​"Eh... i-iya. Mari, Mbak," jawab Pak Darmawan gugup. Ia berdiri tegak menghadap pintu, tidak berani menoleh ke belakang tempat Bos Besarnya berdiri. Suasana di dalam lift itu menjadi sangat canggung dan mencekam.

​Nayla menyenggol lengan Adit pelan. "Mas, kenal bapak itu? Kok beliau kayak kaget liat Mas?" bisiknya.

​Adit harus berpikir cepat. Otaknya berputar 1000 kali lebih cepat dari prosesor komputer.

​"Oh, itu... Pak Darmawan," bisik Adit balik, volumenya sengaja ia atur agar Pak Darmawan dengar. "Beliau dulu tetangga saya di kampung. Sering saya malingin mangganya pas kecil. Makanya kaget liat saya kerja di sini. Iya kan, Pak Dar?"

​Adit menepuk pundak Direktur Keuangan itu dengan akrab—sebuah tindakan yang kalau dilakukan karyawan biasa bisa berujung SP3.

​Pak Darmawan tersentak, hampir jantungan ditepuk sang CEO. Namun ia sadar ia harus main sandiwara.

​"Eh... i-iya! Betul!" Pak Darmawan tertawa kaku, tawanya terdengar sangat palsu. "Adit ini... nakal dulu. Suka ambil mangga. Hehe. Wah, sudah besar kamu ya, Dit."

​"Iya Pak, nasib jadi kuli di sini," jawab Adit santai.

​Nayla tertawa kecil. "Ya ampun, dunia sempit banget ya. Pantesan Bapak kaget."

​Ting! Lift sampai di lantai dasar.

​"Saya duluan ya, Dit... eh, Mbak," Pak Darmawan buru-buru keluar setengah berlari, seolah dikejar setan. Ia tidak kuat menahan tekanan jantung berada satu lift dengan CEO yang sedang menyamar.

​Adit menghela napas panjang. Hampir saja.

​"Lucu ya temen Mas Adit," komentar Nayla saat mereka berjalan keluar lobi. "Direktur Keuangan lho itu, Mas. Ternyata tetangga masa kecil."

​"Iya, nasib orang beda-beda, Nay. Dia jadi Direktur, saya jadi staf pengawas," Adit tersenyum kecut.

​"Nggak apa-apa, Mas. Rezeki orang kan beda-beda. Yang penting halal," Nayla menghibur.

​Mereka sampai di pinggir jalan raya. Sebuah taksi kosong melintas.

​"Nay, taksi tuh," Adit menyetopnya.

​Saat Nayla membuka pintu taksi, ia menoleh pada Adit. "Mas, besok kan Sabtu. Libur kan?"

​"Libur. Kenapa?"

​"Kalau... kalau Mas nggak sibuk, mau ikut nemenin aku sama Nando ke Ragunan? Nando pengen liat gajah. Kemarin dia nanya terus tentang 'Om Adit' yang kasih kue enak."

​Undangan itu.

Sederhana, tulus, dan berbahaya.

​Adit tahu ia seharusnya menolak. Ia harus menjaga jarak. Semakin sering ia bertemu, semakin besar risiko ketahuan. Apalagi di tempat umum seperti Ragunan.

​Tapi bayangan menghabiskan hari Sabtu layaknya keluarga kecil bahagia bersama Nayla terlalu menggoda untuk ditolak.

​"Boleh," jawab Adit cepat, sebelum logikanya sempat melarang. "Jam berapa?"

​"Jam 9 pagi ketemu di sana aja ya, Mas. Biar Mas nggak kejauhan jemput."

​"Oke. Sampai ketemu besok."

​Nayla masuk ke taksi dengan senyum merekah. Adit melambai sampai taksi itu hilang.

​Begitu taksi hilang, sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan Adit. Pak Darmawan keluar dari dalamnya dengan wajah pucat.

​"Pak Adit! Ampun, Pak! Saya tadi hampir keceplosan!" Pak Darmawan menyatukan tangannya memohon ampun. "Saya beneran nggak tau Bapak lagi... anu... lagi undercover."

​Adit merapikan kerah kemejanya, wajahnya kembali dingin dan berwibawa.

​"Tidak apa-apa, Pak Darma. Akting Bapak lumayan tadi. Soal 'maling mangga' itu, anggap saja naskah improvisasi," ujar Adit datar. "Tapi ingat, Pak. Kalau sampai ada satu orang saja di kantor ini yang tahu saya 'staf pengawas' selain Bapak dan HRD... Bapak tahu kan konsekuensinya?"

​"Tau, Pak! Siap! Mulut saya terkunci rapat!"

​Adit mengangguk, lalu masuk ke Alphard Pak Darmawan. "Antar saya ke parkiran VIP belakang. Saya malas jalan."

​"Siap, Pak!"

​Dari kejauhan, di balik pilar lobi, Vina menurunkan ponselnya. Ia tidak mendengar percakapan mereka karena jarak yang jauh dan bising jalanan. Tapi ia melihat jelas satu hal:

​Pria "staf pengawas" itu masuk ke dalam mobil Alphard Direktur Keuangan, dan Pak Direktur itu membukakan pintu untuknya seperti seorang sopir melayani majikan.

​Mata Vina menyipit. Teka-teki ini semakin menarik.

​"Staf Pengawas naik Alphard Direktur? Tetangga masa kecil? Nggak mungkin," gumam Vina. "Ada yang nggak beres. Dan aku bakal bongkar ini."

...****************...

Bersambung...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!