FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Kedua anak manusia itu masih terdiam. Jantung mereka juga masih dah dig dug, tiba-tiba jadi canggung.
Nathan masih heran kenapa dia bisa berpikir seperti itu pada Arin. Dia bisa saja tertarik pada gadis lain karena selama ini banyak sekali yang mendekatinya tapi kenapa dia malah merasa tertarik pada Arin. Gadis yang ia kenal sejak kecil, mereka sudah bersama dari dulu mungkinkah perasaan mereka bisa berbeda sekarang.
Tentu saja bisa, Arin saja bisa kok. Gadis itu malah sudah tau kalau dia suka pada Nathan sejak masih remaja. Dasar pria itu saja yang tidak peka. Tapi Arin merasa beruntung karena Nathan yang menganggapnya adik jadi Arin bisa berbuat semaunya termasuk tidur di kamar Nathan. Ya malahan sampai SMA Arin masih sering tidur di kamar Nathan. Mungkin terakhir sebelum Arin menyatakan cinta saat itu. Barulah Arin merasa canggung saat berdua dengan Nathan.
"Nanti pulang jam berapa?" tanya Nathan. Dia coba berbicara biasa, menepis rasa gugupnya.
"Kenapa kakak bertanya, kak Nathan tidak perlu menjemputku. Aku bisa naik taksi atau pulang bersama Rezza," ujar Arin.
Nathan jadi kembali kesal saat mendengar nama laki-laki itu keluar dari mulut Arin. "Aku akan menjemputmu, ini perintah bukan tawaran. Jangan pergi sebelum aku sampai."
Arin melolong mendengar Nathan yang lagi-lagi tidak menerima pendapatnya. Biar saja, Arin berencana tidak akan memberitahu jadwal kepulangannya. Biar laki-laki itu tau rasa. Tunggu saja sampai malam, saat Nathan ke kampus Arin pasti sudah pulang. Arin tersenyum sendiri membayangkan bagaimana membuat Nathan menunggu.
Sampai di kampus. Arin langsung turun setelah mengucapkan terimakasih. Walaupun kesal dia tidak melupakan tata Krama. Nathan juga buru-buru langsung pergi karena ada pertemuan penting pagi ini.
Tinnn!!
Suara klakson mengagetkan Arin. Dia kesal karena mengira Nathan yang berulah. Mau apalagi pria itu, tidak cukup apa membuat Arin yang manis kesal pagi-pagi. Arin pun berbalik.
"Apa lagi kak?!"
"Wooiii sejak kapan aku dipanggil kakak?" heran Rezza.
"Kamu?? Maaf aku kira itu dia." Arin salah sasaran.
"Siapa? Pria sombong itu? Apa kau tadi berangkat bersamanya? pantas saja kau jalan." Panggilan khusus untuk Nathan dari Rezza karena menurut Rezza, Nathan itu sombong dan songong mentang-mentang sudah sukses.
"Heeii panggil aku kakak, aku lebih tua darimu. Sudahlah aku tidak ingin membahasnya lagi, ayo turun atau aku tinggal," ujar Arin.
"Tunggu!" Buru-buru Rezza memarkirkan mobilnya. Lalu menyusul Arin. "Memang dimana mobilmu?" tanyanya.
Plak. "Panggil kakak."
"Iya mas, kak Arin yang cantik, baik hati dan tidak sombong," puji Rezza.
"Kau bisa saja, ban mobilku bocor. Entahlah padahal tadi malam baik-baik saja," ujar Arin.
"Ini aneh, pasti pria sombong itu yang melakukannya. Mana mungkin bocor tiba-tiba," kata Rezza berprasangka pada Nathan.
"Mana mungkin kak Nathan melakukan hal itu, untuk apa. Kurang kerjaan sekali. Aku duluan, sebentar lagi sudah terlambat. Daahhh ..." Arin menuju kelasnya dan melambaikan tangan sebelum pergi.
"Ini aneh, pasti ada yang tidak beres," bergumam sendiri.
Di kantor setelah selesai rapat dengan klien. Nathan memanggil asistennya untuk datang.
"Taun memanggil saya?" Assisten Jodi sudah datang.
"Tolong kau tanyakan pada kampus, jadwal Arin hari ini jam berapa dia pulang," titah Nathan.
*Bukankah Anda bisa bertanya pada nona Arin langsung Tuan," komen Jodi.
"Kalau bisa untuk apa aku menyuruhmu. Sudah tidak usah banyak bertanya, kau kerjakan saja apa perintah ku."
Jodi lupa kalau Nathan tidak suka dibantah, ahh ya Nathan tetap saja Nathan. "Baik Tuan."
Sepuluh menit, asisten Jodi kembali menghadap. Bukan hal yang sulit untuk mendapatkan jadwal Arin karena Arin adalah pemilik perusahaan yang selama ini menjadi donatur terbesar di kampus itu. Tentu semua dosen mengenalnya. "Permisi Tuan, saya sudah mendapatkan jadwal nona Arin," kata Jodi laporan.
"Mana cepat, kau kirimkan padaku." Menaruh bolpoinnya begitu saja, padahal banyak berkas penting yang menunggu untuk ditandangani. Lalu mengecek ponselnya.
"Sudah aku kirim Tuan."
"Ya ya terimakasih, oh ya nanti aku pergi sebentar menjemput Arin," kata Nathan.
Jodi mau protes tapi pasti sudah tau jawabannya. Dia itu hanya bawahan sudah pasti tugasnya mengatur jadwal atasannya sebaik mungkin dan menggantikan atasannya kalau ada pertemuan.
"Ada apa lagi, kenapa kau masih disini? Apa kau kurang pekerjaan?"
"Ah tidak Tuan, saya akan keluar sekarang." Seenaknya saja bilang kalau Jodi kurang kerjaan, jelas selama ini bahkan pekerjaan Jodi lebih banyak dari Nathan sendiri. Memang sih dia gajinya besar, kadang juga Nathan masih memberinya bonus bahkan keluarganya juga di jamin. Tapi dia harus punya stok kesabaran yang banyak untuk menghadapi atasan seperti Nathan.
Sekitar jam satu siang Nathan berencana mau pergi menjemput Arin. Rencananya dia juga akan mengajak gadis itu untuk berjalan-jalan ke mall, sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka pergi jalan-jalan. Kalau dulu sebelum Nathan bekerja, Arin sering sekali merengek minta jalan-jalan dan akhirnya Nathan pun menuruti gadis itu untuk pergi menonton dan lainnya.
Kalau diingat sebenarnya cukup menyenangkan juga waktu itu. Saat melihat Arin tertawa lepas bersamanya. Meski Nathan terlalu suka film romantis saat menonton tapi dia menikmatinya, dia suka melihat wajah Arin yang tersipu malu saat ada adegan romantis di film yang mereka tonton.
Tok tok tok. Baru juga Nathan mau pergi, seseorang mengetuk pintu.
"Masuk."
"Kau sudah siap? Kita pergi sekarang?" tanya Jihan penuh semangat karena akan pergi berdua ke tempat yang cukup jauh, meski hanya untuk mengecek proyek. Tapi itu cukup membuatnya senang.
"Aku memang mau pergi tapi tidak denganmu. Kau mau kemana?" tutur Nathan.
"Apa kau lupa kita mau ke Bandung. Mengecek perkembangan proyek di sana. Bagaimana kau lupa dengan hal penting seperti itu Nathan. Tapi tidak apa-apa, ayo kita pergi sekarang," ajak Jihan.
Sayangnya, yang menganggap hal itu penting hanya Jihan saja. Tidak berlaku untuk Nathan yang lebih memilih untuk pergi dengan adik kecilnya. Meninjau perkembangan proyek bisa diwakilkan oleh Jodi, ya tentu saja siapa lagi yang ia percaya selain Jodi.
Nathan memencet tombol telepon yang terhubung ke ruangan Jodi.
"Ya Tuan."
"Kemari sekarang."
"Tunggu apa lagi, ayo kita pergi sekarang. Jangan membuang waktu disini. Ayo Nat." Jihan sudah tidak sabar. Dia sudah berdandan cantik dan cukup menarik demi untuk berduaan dengan Nathan. Dia harus memanfaatkan kesempatan emas ini sebaik mungkin. Entah kapan lagi dia punya waktu seperti ini. Sesuatu juga sudah ia siapkan.
Jodi datang.
"Nah kau sudah datang, kalian bisa pergi sekarang," kata Nathan.