Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhat Nada
Hari-hari berlalu begitu saja. Zaira memilih diam tak menanyakan perihal yang membuat hatinya menjerit.
Satu minggu berlalu. Ia pun belum sempat bertemu Revi di Poli Jiwa. Jadwal mereka selalu bertabrakan. Zaira pun ikut menyibukkan diri dengan menambah jadwal kerjanya di hari libur.
Brian masih sama, tidak berubah. Dia tetap lembut dan perhatian seperti biasa. Bahkan sekarang Brianlah yang merasa kalau Zaira seperti enggan disentuh. Untuk mengecup keningnya saja, dia terlihat enggan. Hal ini membuat Brian gelisah. Zaira beralasan hanya mengatakan sedang terlalu sibuk.
Pagi ini, Zaira seperti biasa, memasak untuk Brian. Brian memeluknya dari belakang.
"Pergilah, kenapa tidak olahraga saja?" Zaira beralasan sambil melepaskan pelukan Brian. Ia sibuk kesana kemari mengambil bahan-bahan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Brian hanya diam dibelakangnya.
"Kenapa?" Tanya Zaira lagi saat melihat Brian hanya menatapnya dari belakang.
Pelan-pelan ia raih tangan istrinya. Membuat Zaira berhenti beraktivitas.
"Kau menghindariku." Ucapnya yang hanya tertunduk memandang jari-jari Zaira yang di genggamnya.
"Aku tidak bersemangat setiap hari". Lanjutnya kemudian menatap istrinya. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu begini. Aku mohon, maafkanlah aku apapun itu." Mendengar itu, Zaira sedikit luluh. Laki-laki ini tidak pernah egois. Dia selalu mementingkan istrinya dahulu, mengalah dan minta maaf walau ia sendiri tidak tahu apa kesalahannya.
"Kesalahan yang aku perbuat, maafkanlah aku." Ucapnya lagi menggenggam erat tangan Zaira.
"Memangnya apa kesalahanmu?" Zaira penasaran apakah Brian akan mengakuinya?
Namun Brian malah menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak tahu. Makanya, apapun yang membuatmu begini, maafkanlah aku".
'Hah! Tidak mengakui.' Gerutu Zaira kesal dalam hatinya.
"Kalau tidak merasa punya salah, kenapa minta maaf?" Tanya Zaira kesal. Membalikkan badannya dan mengaduk-aduk sop yang mendidih.
"Zaira, aku mohon, katakanlah jika ada yang membani hatimu."
'Brian sialan. Apakah kau berfikir ciuman itu bukanlah kesalahan?' Makinya dalam hati.
"Tidak ada salahmu, Mas. Aku yang lelah."
Tak! Zaira mematikan kompor. "Aku akan siap-siap bekerja, kaupun bersiaplah, Mas."
Brian menarik tangannya. "Tidak sarapan bersama?"
"Tidak, aku sudah terlambat". Zaira berlalu pergi. Brian masih mematung di tempatnya.
******
Zaira baru duduk di mejanya. Ia melirik ponselnya yang bergetar. Melihat nomor baru muncul di layar.
"Halo, apakah saya berbicara dengan dokter Zaira?" Suara diseberang terdengar riang.
"Iya, saya sendiri. Maaf, dengan siapa saya berbicara?" Tanya Zaira sopan.
"Dokter? Tidakkah anda mengenal suara saya?"
"Tidak, maaf, ini siapa ya?" Zaira menyandarkan tubuhnya di kursinya.
"Saya Nada, dokter. Apakah masih ingat? Dokter izinkan saya masuk ke ruangan anda, bolehkah?" Pintanya pada Zaira.
"Boleh, silakan saja." Ucapnya malas-malasan.
Ckrek!
Pintu Zaira terbuka. Seorang wanita berambut gelombang berdiri disana dengan ponsel yang ia pegang di telinganya. Terlihat kukunya berwarna merah. Roknya pendek berwarna merah jambu dengan blazer berwarna putih. Anggun sekali, batin Zaira.
"Hai, dokter". Wanita itu melambaikan ponselnya menandakan dirinyalah yang menelpon tadi.
Zaira menutup ponselnya. "Duduklah". Ucapnya sambil berjalan dan mempersilakan Nada duduk di sofa.
"Wah, ruangan dokter tidak seperti yang lain, lebih kecil". Katanya sambil melihat-lihat.
"Memang saya yang tidak suka ruangan lebar." Zaira mengambil dua botol minuman dari dalam kulkas mini di sudut ruangan.
Wanita itu belum duduk. Dia berjalan melihat-lihat setiap sudut. Dia berhenti di depan foto-foto Zaira di atas meja. Mengambil sebuah foto dan menunjukkannya pada Zaira. "Diakah suami dokter?"
Zaira melihat foto itu. Foto saat dirinya bulan madu dengan Brian di salah satu pantai yang indah. Brian mencium mesra pipi Zaira yang sedang tertawa lebar.
"Mesra sekali. Aku jadi Iri." Dia meletakkan foto itu dan duduk di hadapan Zaira.
"Dokter tahukah anda bahwa pacar saya sekarang sedang bimbang. Saat saya datang tanpa kabar, Wajahnya terlihat terkejut. Tapi saya bisa merasakan sudut hatinya yang bahagia." Ucapnya mengoceh pada Zaira.
Dokter di hadapannya mengenggak minumannya. Terlihat enggan mendengarkan.
"Benarkah?" Tanya Zaira asal.
"He'em". Angguknya sambil membuka tutup botol miliknya. "Dia semakin tampan setiap aku melihatnya. Aku semakin tergila-gila. Sikapnya yang dingin pada wanita lain, perhatian dan lemah lembut. Ah.. aku jadi merindukannya." Ucap gadis itu lembut. Matanya menyiratkan kerinduan yang hangat.
"Dimataku, dia tidak pernah berubah. Bagaimana dia menatapku dahulu, seperti itu juga dia menatapku sekarang. Bukankah itu artinya dia masih tetap mencintaiku, dokter?" Tanyanya lagi, meyakinkan apa yang ia rasa selama ini.
"Benar." Jawab dokter Zaira singkat yang membuat Nada bahagia.
"Benar, kan? Aku selalu tahu lekakiku." Katanya tersenyum sambil membelai rambutnya.
*****
Brian termenung di ruangan biasa ia gunakan untuk rehat sejenak. Pikirannya melayang. Dia menyandarkan badan di kursi sambil melipat tangannya. Matanya tertuju pada teh panas di hadapannya yang kepulan asapnya masih terlihat jelas.
Suara pintu terbuka. Andre masuk dengan berkas dan kopi botol di kedua tangannya. Ia melirik Brian. Tak bergeming sedikitpun. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu.
Andre duduk di hadapannya. Tidak ingin bertanya sebab Brian pun belakangan seperti enggan bercerita lagi dengannya.
"Sibuk, Ndre?" Tanya Brian tiba-tiba.
Andre menyeruput kopinya. "Tidak".
Brian menatap berkas-berkas yang sedang di susun Andre di atas meja. Bimbang apakah ia harus bercerita ataukah tidak. Karena dia tahu, pastilah Andre tidak akan mendukungnya jika berkaitan dengan Rina.
Andre sangat berharap Brian menceritakan detail masalah yang ia hadapi. Ia ingin rumah tangga sahabatnya itu tidak bermasalah.
"Zaira pernah memintaku bersama wanita lain hanya agar aku mendapatkan anak dan kembali lagi padanya. Tapi aku menolak mentah-mentah karena..."
"Karena waktu itu kau belum bertemu dengan Rinnada dan sekarang kau ingin mengungkit kembali permintaan Zaira supaya kau juga bisa bersama Rinnada lagi. Benar?"
Telak, Andre melihat reaksi terkejut dari wajah Brian.
"Cih. Bajingan!". Gumam Andre pelan namum tetap terdengar oleh Brian.
Brian terdiam disana. Membiarkan Andre memakinya. Karena menurutnya, ia memang pantas di maki.
"Saat kuliah, Kau pernah membuat keputusan yang aku sendiri bahkan mungkin tidak sanggup melakukan itu. Aku sempat salut padamu."
Ya, Andre ingat saat ia meminta Brian meninggalkan Rinnada yang punya gangguan mental. Namun Brian malah semakin memperhatikan gadis itu, dan berusaha membuatnya bahagia.
"Bisakah kau bayangkan, jika ternyata Zairalah yang bertemu cinta pertamanya dan ternyata kaulah yang dinyatakan tidak bisa mempunyai keturunan? Apakah dia akan meminta lelaki itu menghamilinya? Apakah kau menyetujuinya?". Andre mencoba mengajak Brian untuk merenung, membalikkan fakta agar pria ini bisa berfikir.
Namun nampaknya kehadiran Rinnada membuatnya sulit berpikir.
"Dia pasti kemari kan, beberapa minggu yang lalu, saat Zaira ingin menemuimu?"
Brian melihat Andre. Tatapannya seperti tidak tahu. "Benarkah?"
"Kau pura-pura tidak tahu?" Andre memalingkan muka. Tidak masuk akal, pikirnya.
"Aku sudah menebaknya". Brian meminum teh di depannya. "Pagi itu, kami bertemu lagi. Dia mengambil ponselku. Lalu aku lupa memintanya lagi. Aku tidak tahu kalau Zaira mengirimiku pesan. Saat Zaira datang, aku melihat ponselku sudah di atas meja kerjaku." Brian memberi penjelasan.
"Berani sekali dia." Andre meletakkan tangannya di atas meja. "Kau.. Apakah tidak berpikir bahwa Rinnada tidak akan melakukan ini?"
Brian menghela napasnya.
"Aku yakin, Rinnada sudah mati." Ucapnya pada Brian dengan tegas.
Brian memalingkan wajahnya. Seperti mengetahui sesuatu yang dulu pernah terjadi.
Bersambung.....
(Gambar ilustrasi diambil dari P*nterest)
cow gk tahu diuntung