"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah untuk Davin
Sementara Leora menuju kamar, Davin masih di depan meja makan, menghabiskan makanannya.
Kepalanya dipenuhi beberapa pertanyaan.
Haruskah ia pergi malam ini?
Tapi bagaimana dengan Leora?
Perempuan itu tak ada takut dan kapoknya. Khawatir, jika ia pergi bahkan sebentar saja, Leora nekat kabur seperti tadi.
Ia mendesah pelan.
Bi Marni yang menyadari hal itu, langsung saja bertanya sambil mengambil gelas bekas minum Leora.
"Den... Kenapa lagi? Kayaknya lagi ada yang dipikirin ya?" tanyanya, penasaran.
Davin mendongak, mungkin dengan bicara pada Bi Marni kebingungannya akan berkurang.
"Iya, Bi. Aku disuruh ke rumah guruku malam ini. Tapi, aku bingung..."
"Ke rumah guru, mau ngapain malam-malam gini?" sambung Marni, merasa aneh.
Davin tersenyum hangat, "Nyuruhnya udah dari tadi siang. Tapi, aku tadi sibuk nyariin Leora"
Marni mengangguk, mulai paham.
"Ada yang harus aku urus bi. Penting. Tapi, aku takut kalau aku pergi Leora kabur lagi kayak tadi," kata Davin seraya mengacak rambutnya.
Marni tahu pasti ekspresi itu tanpa dijelaskan. "Gak papa, Den. Bingung itu normal, rasa takut juga bukan hal baru apalagi menghadap sifat seperti Non Leora. Tapi, kalau itu penting. Berangkat aja Den. Bibi janji bakal jaga Non Leora untuk Aden."
Mendengar itu, Davin merasa kebingungannya terangkat. "Serius Bi?"
"Iya, Den. Kapan Bibi gak serius" kata Marni, menimpali dengan santai.
"Hm... Oke deh. Aku siap siap dulu kalau gitu" ucap Davin, berdiri dari duduknya.
Sementara Davin melangkah menuju kamarnya, Marni hanya menggeleng kecil sambil membereskan meja makan. Dalam hati, ia benar-benar berharap Leora tidak membuat masalah lagi malam ini.
---
Di dalam kamar, Davin menatap bayangannya di cermin.
Ia bergumam, “Harus cepat. Jangan lama-lama.”
Tangannya cekatan meraih hoodie hitam, ponsel, dan kunci motor. Tapi sebelum pintu tertutup, suara pintu lain berderit pelan.
Leora muncul di ambang pintu kamarnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan kaus longgarnya sedikit kebesaran seolah menelan tubuhnya sendiri.
“Pergi?” tanyanya lirih.
Davin berhenti. Ia tahu Leora tidak bertanya karena peduli.
“Iya. Cuma sebentar,” jawab Davin pelan, memilih nada yang tidak memicu pertengkaran.
Leora tidak bergerak. “Ke mana?”
“Ke rumah Pak Ilham. Ada urusan penting.” Davin menatapnya sebentar. “Tenang aja. Gue balik cepat kok."
“Dan… jangan keluar kamar lagi malam ini,” tambah Davin tegas. “Bi Marni ada kalau lo perlu apa-apa.”
Leora mengepalkan jarinya, menunduk. “Aku gak mau apa-apa.”
Davin mengangguk, lalu membuka pintu. Namun sebelum ia benar-benar keluar, suara pelan itu kembali terdengar.
“Davin…”
Ia menoleh.
Leora tidak mendongak, hanya berdiri dengan bahu merosot sedikit. “Jangan… lama-lama.”
Satu kalimat yang hampir membuat Davin berhenti bernapas.
Ia tidak tahu apakah itu permintaan… atau ketakutan.
“Enggak,” jawab Davin dengan suara yang lebih lembut. “Gue balik sebelum lo tidur.”
Davin menutup pintu dan melangkah menuju garasi. Ia mulai menghidupkan motor, namun tanpa alasan jelas perasaannya berbeda seolah sesuatu membuat hatinya tenang.
Jalanan malam mulai hangat karena lampu lampu yang menemaninya disetiap deru motor. Ia mengendara dengan tenang, asal sampai tujuan dengan selamat.
Mungkin butuh sekitar tiga puluh menit lebih untuk sampai ke rumah gurunya.
Rumah Pak Ilham berada di ujung kota, sedikit menjorok ke dalam, melewati jalanan berbatu. Saat Davin menurunkan kecepatan motornya, hawa malam perlahan berubah. Lebih sunyi dan dingin.
Ia memarkir motornya tepat di depan pagar besi sederhana milik gurunya.
Tok. Tok. Tok.
Davin mengetuk pintu tiga kali.
Tak lama, pintu kayu itu terbuka. Seorang pria paruh baya muncul dengan kemeja rumahan, garis wajahnya tenang namun tajam.
“Kamu lama,” ucap Pak Ilham langsung, tanpa basa-basi.
Davin menunduk sopan. “Maaf, Pak. Saya… ada urusan mendadak.”
“Masuk.”
Davin melangkah ke dalam. Aroma kayu dan teh hangat memenuhi ruangan sederhana itu. Hanya ada satu lampu menyala, membuat bayangan di sudut ruangan terlihat lebih panjang dari biasanya.
“Duduk,” ujar Pak Ilham sambil menyiapkan teh. “Kita perlu bicara soal Rey.”
Davin membeku. Napasnya sempat terhenti.
“Rey…?” ulang Davin lirih. “Ada apa dengan Rey, Pak?”
Pak Ilham menatap muridnya itu lama.
“Kamu tau kan dia siapa?”
Darah Davin seperti berhenti mengalir.
“Kenapa memangnya Pak?” suaranya nyaris pecah.
“Bapak lihat lihat beberapa hari ini dia terus perhatikan kamu, apa ada sesuatu dengan kalian berdua?” Pak Ilham bertanya tenang. “Dan justru karena itu kamu harus hati-hati. Rey itu berbeda. Dia… bukan murid biasa.”
Davin mengepalkan kedua tangannya di pangkuan. Dengan nada rendah ia bertanya, “Pak… apa Rey mengganggu Bapak?”
“Belum,” jawab Pak Ilham tanpa ragu. “Tapi cepat atau lambat, dia akan mengganggu kita semua.”
Sunyi mengambang di antara mereka beberapa detik.
“Aku manggil kamu malam ini bukan cuma untuk itu aja,” sambung Pak Ilham. “Aku butuh kamu jaga diri. Dan, tunggu sebentar....”
Davin menelan ludah. Ada rasa ingin menyangkal, tapi ia tak bisa.
Sampai akhirnya beberapa saat. Ilham membawa beberapa bucket berisi aneka ragam, ada makanan percis yang ia beli tadi siang di supermarket dan beberapa surat yang ditulis dengan tangan.
"Apa samua ini, Pak?" tanya Davin, bingung.
"Murid murid yang puas dengan penampilanmu, tadi siang berbondong bondong ke rumah bapak untuk menitipkan ini semua" kata Ilham, seraya menyerahkan beberapa buket pada Davin.
Davin tertawa, perasaan beku tadi mulai memudar. "Ini serius?"
"Kamu lihat aja sendiri" kata Pak Ilham.
"Berhubung alamatmu tidak ditulis, dan kamu minta untuk di privasi, akhirnya mereka datang ke rumah Bapak"
Davin memegang satu buket berisi snack dan surat kecil berwarna pastel. Ia membuka salah satunya.
Tulisan tangan halus menyapa:
“Terima kasih sudah tampil dengan penuh hati. Kamu menginspirasi banyak orang hari ini.”
Davin tersenyum tipis. “Padahal cuma tampil sebentar, Pak…”
“Buat kamu mungkin sebentar,” balas Pak Ilham. “Tapi buat mereka itu berarti.”
Ia mengangguk pelan. Tapi senyumnya cepat memudar begitu pikirannya kembali pada Rey.
Pak Ilham meletakkan cangkir teh di depannya dan menatap muridnya dalam-dalam.
“Kamu harus lebih hati-hati, Vin. Anak itu selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang dia mau.”
“Bapak jangan khawatirkan aku. Tapi, kalau ada sesuatu yang mengganggu bapak. Bapak kasih tau aku ya?” gumam Davin tanpa sadar.
Pak Ilham tak langsung menjawab. Dan itu saja sudah cukup menjadi jawaban.
Davin menghela napas panjang. “Saya bakal waspada, Pak. Saya janji. Tapi Anda juga harus hati hati."
“Bagus. Kamu pulang sekarang. Jangan terlalu malam di jalan.”
Davin berdiri, mengambil hoodie dan buket-buket itu. “Makasih banyak, Pak. Untuk semuanya.”
Pak Ilham menepuk bahu Davin. “Jaga dirimu, Nak.”
Davin mengangguk, lalu melangkah keluar.
Udara malam menyambutnya lagi. Lebih dingin.
Seolah menandai sesuatu yang tak berada di tempatnya.
Ia menaiki motor, menyalakan mesin, dan mulai melaju pulang.
Namun…
Tepat beberapa meter dari rumah Pak Ilham, ia merasakan sesuatu.
Tatapan.
Seperti ada seseorang yang memperhatikannya dari kegelapan.
Ia menoleh cepat ke kanan.
Hanya ada gang kecil yang gelap.
Tak ada apa-apa.
Atau… ada, tapi bersembunyi.
“Ah… mungkin cuma perasaan,” gumam Davin, meski dadanya sedikit mengencang.
Motor kembali melaju memecah sunyi.
---
Di rumah.
Pintu kamar Leora terbuka sedikit.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya dengan napas pendek dan tidak stabil.
Pesan itu masih ada di sana.
“Kalau kamu berani. Kamu datang ke sini. Aku tunggu kamu, sayang"
Jantung Leora berdebar tak karuan. Tangannya berkeringat.
Ia menutup layar ponsel cepat-cepat seolah pesan itu bisa melompat keluar dan menangkapnya.
“Kenapa sekarang…” bisiknya panik.
Ia berdiri.
Melangkah panik ke meja, ke jendela, ke pintu. Tidak tahu harus apa.
Sampai akhirnya ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan ketakutan yang menumpuk.
Pikirannya berputar cepat. Apa Rey tau yang jemput gue Davin?
Ia memejamkan mata.
“Davin cepatan pulang…” bisiknya lirih, nyaris seperti doa.
Ia berjalan menuju pintu depan, berniat mencari Bi Marni. Setidaknya ada orang yang bisa diajak bicara.
Tapi langkahnya berhenti tepat di depan pintu.
Jantungnya berdetak semakin keras.
Ada bayangan melewati jendela ruang tamu.
Dan jelas… itu bukan Bi Marni.
Leora menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak.
“Nggak… gak mungkin…”
Bayangan itu semakin tinggi… semakin jelas…
Seperti menunggu.
Leora memundurkan tubuhnya perlahan, tangan gemetar hebat, lututnya melemas hingga ia hampir jatuh.
“Rey… itu lo?” bisiknya.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?