Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Setelah drama kekacauan di pagi hari, Mutiara berjalan ke kamar Nalea. Ia mengetuk pintu perlahan.
“Nalea? Boleh Mama masuk?”
Nalea membuka pintu, tersenyum cerah. “Tentu, Ma.”
Mutiara masuk, membawa senyum tipis. “Mama ingin mengajakmu pergi berbelanja. Kita harus merayakan kembalinya putri Mama. Kita beli baju baru, ya?”
Nalea sangat senang dan bersemangat. “Benarkah, Ma? Aku mau!”
Mutiara duduk di tepi ranjang Nalea, kemudian matanya tertuju pada lemari pakaian Nalea yang terbuka. Ia melihat baju-baju Nalea. Semuanya model lama, dan warnanya sudah pudar. Sebagian besar pakaian itu adalah baju yang Nalea bawa dan sebagian pakaian yang tidak diinginkan Sisilia namun masih baru.
“Astaga, Nalea,” bisik Mutiara, hatinya mencelos. Ia merasa bersalah karena mengabaikan kondisi putri kandungnya. “Baju-bajumu… kenapa semuanya terlihat usang? Kenapa kau tidak pernah minta dibelikan yang baru?”
Nalea tersenyum getir. “Aku tidak mau merepotkan, Ma. Dulu, aku pikir aku tidak pantas mendapatkan yang bagus.”
Mutiara segera memeluk Nalea dengan erat. “Tidak, Sayang. Kau pantas mendapatkan yang terbaik. Kita akan pergi sekarang. Mama akan memilihkan baju yang paling indah untuk putri Mama.”
Akhirnya, aku mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang kuinginkan. Ini baru permulaan, Mama.
Nalea membalas pelukan Mutiara, menikmati momen itu, meskipun ia tahu ini adalah bagian dari drama yang harus ia mainkan untuk mendapatkan kembali semua yang menjadi haknya.
...********...
Di tengah hiruk pikuk pusat perbelanjaan mewah, Nalea dan Mutiara berjalan beriringan. Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, Nalea belum pernah menginjakkan kakinya di mal semewah itu. Dengan pakaian kaus putih dan celana jeans yang mulai usang, Nalea terlihat sangat kasual. Rambutnya yang panjang diikat kuncir kuda tinggi, mempertegas garis wajahnya yang tomboi tetapi memancarkan kecantikan alami yang tajam.
Aku tidak suka pakaian feminin. Rasanya seperti dibungkus dan tidak bisa bergerak. Tapi aku akan menurutinya demi Mama.
Mata Nalea tak sengaja tertuju pada sebuah gaun. Itu adalah dress selutut model Sabrina berwarna biru tua yang elegan, dihiasi detail kecil batu Ruby di bagian pinggang.
Mutiara mengikuti arah pandangan mata Nalea. Ia tersenyum lembut. “Kau menyukainya, Sayang?”
“Tidak,” jawab Nalea cepat, meskipun ia berbohong. “Terlalu… terbuka.”
“Jangan malu. Ayo, kita masuk ke toko itu,” ajak Mutiara, menarik tangan Nalea.
Mereka memasuki butik desainer ternama. Mutiara segera memanggil pramuniaga yang mengenalnya.
“Tolong ambilkan gaun biru yang dipajang di manekin depan. Ukuran M, untuk putri saya,” perintah Mutiara.
“Mama, jangan. Aku tidak suka gaun,” protes Nalea, tetapi Mutiara bersikap memaksa.
“Kau harus mencobanya, Nalea. Sesekali kau harus terlihat seperti Nona Muda sejati keluarga Hersa,” bisik Mutiara. “Ini permintaan Mama.”
Akhirnya Nalea menyerah. Ia masuk ke ruang ganti dengan gaun itu. Beberapa menit kemudian, Nalea keluar.
Mutiara seketika terdiam. Ia tak berkedip melihat pantulan kecantikan Nalea dalam balutan gaun biru tersebut. Rambut kuncir kudanya, meskipun casual, justru membuat leher jenjangnya terlihat elegan.
“Ya Tuhan, Nalea…” bisik Mutiara, matanya berkaca-kaca.
Mutiara mendekat, tangannya terangkat meminta izin untuk melepas ikat rambut Nalea. Perlahan, Mutiara melepaskan kunciran itu, membiarkan rambut hitam panjang Nalea tergerai indah di punggungnya. Mutiara mengeluarkan sisir lipat dari tasnya dan merapikan rambut Nalea.
Nalea melihat pantulan dirinya di cermin besar. Ia sangat cantik dan anggun. Ia merasa asing.
“Cantik sekali, Nak,” puji Mutiara tulus. “Kau benar-benar mirip dengan mama saat muda, dengan aura Mutiara. Kau adalah perpaduan yang sempurna.”
Akhirnya, aku mendapatkan pujian yang tulus dari Ibuku. Aku tidak peduli dengan gaun ini, yang kupedulikan adalah momen ini.
Mutiara tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. “Nalea, Mama harus mengenalkanmu pada semua orang. Kau pantas mendapatkan pengakuan itu.”
“Pengakuan apa, Ma?” tanya Nalea.
“Mama akan membuat pesta perkenalan. Mungkin akhir pekan ini atau minggu depan. Pesta besar di rumah kita. Semua orang harus tahu bahwa kau adalah putri kandung keluarga Hersa, penerus darah murni kita.”
Nalea tersenyum lebar. Itu adalah hal yang sangat ia butuhkan.
Saat Nalea kembali mengganti pakaiannya, Mutiara berjalan menuju bagian perhiasan untuk melihat-lihat anting yang cocok dengan gaun biru itu. Di sana, Mutiara bertemu dengan dua teman arisannya, Sukma dan Nenden. Sukma adalah istri pejabat daerah, dan Nenden adalah istri anggota dewan. Keduanya terkenal sangat snobbish.
“Mutiara! Kau sedang apa di sini?” sapa Sukma, tatapannya langsung menilai perhiasan yang dipegang Mutiara.
“Aku sedang memilih perhiasan,” jawab Mutiara dengan senyum tipis, berusaha bersikap ramah.
Tepat saat itu, Nalea keluar dari ruang ganti dengan pakaian jeans dan kausnya lagi.
“Oh, ini siapa, Mutiara? Pengawal barumu?” tanya Nenden, nadanya merendahkan.
“Dia… dia Nalea. Putriku,” jawab Mutiara dengan nada bangga yang dipaksakan.
Sukma dan Nenden saling berpandangan, lalu tertawa kecil, tawa yang menusuk hati.
“Putri? Mutiara, jangan bercanda. Lalu Sisilia bukannya putri kamu juga. Anak ini… gayanya seperti anak jalanan. Kau menjemputnya dari panti asuhan mana?” sindir Sukma.
Mutiara merasa sakit hati dengan ucapan temannya yang merendahkan. “Jaga ucapanmu, Sukma. Dia putri kandungku. Dia baru kembali ke rumah.”
Nenden menggeleng-gelengkan kepala. “Astaga, Mutiara. Jujur saja, Sisilia lebih pantas menjadi anakmu. Sisilia sangat sopan, berpendidikan, dan tahu etika. Lihatlah anak ini, style-nya saja sudah memalukanmu.
Nalea sudah tidak tahan. Ia melangkah maju, menatap kedua wanita itu lurus.
“Nyonya-nyonya yang terhormat,” ujar Nalea, suaranya tenang, tetapi tajam. “Jangan melihat buku sebelum membaca isinya. Dan, jangan menilai seseorang dari penampilan sebelum mengetahui kepribadiannya.”
Sukma tertawa terbahak-bahak. “Oh, dengarkan dia! Anak bau kencur sepertimu jangan sok berkata bijak! Kau kira kau ini siapa? Filosof?”
Mutiara segera meraih tangan Nalea, tidak ingin Nalea sakit hati dan memperpanjang perdebatan itu. “Sudah, Nalea. Kita pergi saja.”
Tetapi Sukma dan Nenden tidak berhenti. Mereka justru sengaja terus mengkonfrontasi Nalea.
“Kenapa, Mutiara? Kau malu anakmu terlihat seperti ini? Kami dengar kau menelantarkannya dulu, kan? Kasihan sekali, anak kandungmu sendiri kau buang. Sekarang dia kembali dan merusak citramu.”
Nenden menambahkan dengan sinis. “Anak ini sepertinya tidak pantas menjadi anak keluarga Hersa. Dia hanya akan merusak reputasi Zavian dan Azlan yang merupakan eksekutif muda, pria mapan dan sukses dari keluarga Hersa. Kau yakin dia tidak akan mencuri perhiasanmu? Atau jangan-jangan dia hanyalah penipu yang ingin menguras seluruh harta kekayaan keluarga Hersa?”
Nalea melepaskan tangannya dari Mutiara.
“Aku tidak pernah mencuri perhiasan, Nyonya,” balas Nalea, wajahnya datar. “Aku hanya mencuri kebohongan dan topeng kemunafikan yang kalian pakai.”
Sukma melotot. “Berani sekali kau! Siapa yang memberimu hak berbicara seperti itu?!”
“Aku berbicara karena aku memiliki martabat,” jawab Nalea. “Nyonya-nyonya, kalian berdua terlihat sangat cantik dengan perhiasan yang kalian pakai. Tetapi sayang, penampilan luar kalian tidak sebanding dengan hati busuk yang kalian sembunyikan.”
Dua wanita ini menyebalkan sekali. Rasanya aku ingin mencabut gigi mereka satu-persatu.