Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Adrian ternyata jauh lebih licik dari yang dibayangkan. Dia tidak pernah benar-benar mencintai Nadia; baginya, Nadia hanyalah alat paling sempurna untuk menghancurkan satu-satunya hal yang paling dicintai Bramantyo sebagai balas dendam atas persaingan saudara selama bertahun-tahun.
Suatu malam, saat badai melanda Jakarta, Adrian sengaja mengatur situasi. Dia tahu Bramantyo akan pulang lebih awal untuk memberi kejutan pada Nadia.
Adrian masuk ke kamar pribadi Nadia saat Nadia sedang tertidur pulas akibat kelelahan hamil. Dengan cepat, ia menaruh beberapa helai pakaiannya di lantai, mengacak-acak tempat tidur, dan menyemprotkan parfum maskulinnya di bantal Nadia. Saat mendengar suara mobil Bramantyo memasuki basement, Adrian melepaskan kancing kemejanya dan duduk di tepi ranjang, tepat saat pintu kamar terbuka.
"Adrian?! Apa yang kau lakukan di sini?!" suara Bramantyo menggelegar seperti guntur.
Adrian berdiri dengan akting yang luar biasa—ia berpura-pura panik, mencoba mengancingkan kemejanya dengan terburu-buru. "Kak... ini tidak seperti yang kau lihat... aku dan Nadia... kami tidak sengaja..."
Nadia terbangun dengan kaget, matanya mengerjap bingung melihat Bramantyo berdiri dengan wajah merah padam dan Adrian yang tampak "setengah telanjang" di sampingnya.
"Apa yang terjadi? Bram?" tanya Nadia lirih, masih mengantuk.
Bramantyo tidak mendengarkan. Obsesinya yang gelap membuat logikanya mati seketika. Ia melihat baju Adrian di lantai dan raut wajah adiknya yang tampak bersalah (padahal sengaja dibuat-buat).
"KAU!" Bramantyo menerjang Adrian, memukulnya hingga tersungkur. "Aku memberimu segalanya, dan kau mengkhianatiku dengan wanita yang paling aku jaga?!"
Bramantyo kemudian beralih ke Nadia. Ia mencengkeram bahu Nadia dengan kasar. "Dan kau, gadis kecil yang kusembah... ternyata kau sama saja dengan wanita murahan lainnya! Kau menggunakan kehamilanmu untuk membuatku lengah sementara kau bermain di belakangku dengan adikku sendiri?!"
"Bram, aku bersumpah aku baru bangun tidur! Aku tidak melakukan apa pun!" tangis Nadia pecah. "Dia menjebakku, Bram!"
Tapi Bramantyo sudah dibutakan oleh luka masa lalu. Baginya, pengkhianatan dari dua orang terdekatnya adalah kiamat. "Jangan sebut namaku dengan mulut kotor itu! Aku sudah melihatnya sendiri! Kamera pengawas di taman atap kemarin... senyumanmu padanya... kalian sudah merencanakannya, kan?!"
Tanpa mencari bukti lebih lanjut, tanpa memeriksa CCTV kamar (yang ternyata sudah dideaktivasi Adrian sebelumnya), Bramantyo menarik Nadia keluar dari kamar.
"PERGI!" teriak Bramantyo. "Bawa anak itu bersamamu! Aku tidak peduli lagi apakah itu darah dagingku atau darah daging pengkhianat ini! Keluar dari rumahku, keluar dari hidupku!"
Bramantyo melemparkan tas kecil berisi beberapa pakaian Nadia ke lantai. Di bawah guyuran hujan lebat Jakarta malam itu, Nadia diusir paksa oleh petugas keamanan atas perintah langsung dari Bramantyo yang sedang kalap.
Nadia berdiri di depan gerbang mewah itu, kehujanan, memegangi perutnya yang mulai membuncit, tidak memiliki tujuan dan uang.
Sementara itu, di dalam penthouse, Adrian berdiri dengan senyum kemenangan saat melihat kakaknya hancur, duduk bersimpuh di lantai sambil memecahkan gelas-gelas kristal.
"Tugas selesai," bisik Adrian pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Adrian menghilang. Ia meninggalkan surat singkat untuk Bramantyo: "Terima kasih atas permainannya, Kak. Ternyata menghancurkan hatimu jauh lebih mudah daripada merebut perusahaanmu. Aku pergi ke London, dan jangan repot-repot mencariku. Selamat menikmati kesepianmu."
Bramantyo tersentak. Ia baru menyadari bahwa ia mungkin telah melakukan kesalahan fatal, namun harga dirinya yang setinggi langit mencegahnya untuk mencari Nadia. Ia tenggelam dalam botol alkohol, menghancurkan diri sendiri di dalam istananya yang kini benar-benar kosong.
Nadia, di sisi lain, berjalan di tengah kota yang dingin, sendirian dengan janin di rahimnya, membawa kebencian baru yang lebih besar dari sebelumnya.