Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Begitu mobil Zhea berhenti di halaman rumah, Arin langsung keluar dari dalam sambil menggendong Zheza yang tampak baru bangun tidur. Wajahnya selalu ceria.
"Horee! Mama udah pulang!" seru Arin sambil mendekat dan menirukan suara bayi.
Zhea tersenyum lembut, mengambil bayi mungil itu dari pelukan Arin. "Makasih ya, Rin. Putri cantik Mama." Ia menciumi dahi putrinya sebentar, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Arin mengikutinya, masih semangat. "Tadi aku udah mikir-mikir, Kak. Kalau mau bikin pesta kejutan buat Kak Zavi, gimana kalau temanya putih dan emas aja? Biar elegan, tapi tetap simpel."
Zhea menoleh sambil menaruh tasnya di meja. "Putih dan emas?" Ia berpura-pura mempertimbangkan, lalu tersenyum samar. "Boleh juga. Klasik, tapi tetap kelihatan mewah."
Arin mengangguk antusias. "Iya! Terus aku kepikiran, kita bisa hias taman belakang, kan luas banget. Tambahin lampu gantung, meja buffet kecil, sama banner tulisan Happy Birthday, Kak Zavier!"
Zhea tertawa kecil, menatap Arin dengan tatapan penuh kasih. "Kamu emang paling bisa bikin suasana jadi hidup. Tapi rencananya ... Kakak mau buat acaranya di dalam rumah saja. Soalnya sekarang kan musim hujan."
Arin mengangguk pelan. "Iya juga sih. Kan nggak seru ya, Kak. Kalau lagi tiup lilin tiba-tiba hujan turun." Dia terkekeh di akhir ucapan.
Zhea menjentikkan jarinya. "Nah itu!"
"Oh, ya, Kak. Siapa aja yang mau diundang?" tanya Arin lagi sambil mengikuti langkah Zhea menaiki tangga.
"Siapa ya, palingan keluarga aja. Sama Elara ..." Zhea mengedikkan bahunya.
Arin menatap bingung. "Elara? Sekretaris Kak Zavi itu?"
"Iya." Zhea meletakkan Zheza ke boksnya dan membenahi selimutnya perlahan. "Itung-itung perwakilan dari para karyawan kantor," jawabnya asal. Nada suaranya datar, tapi penuh makna.
Arin menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk pelan. "Oke, Kak."
Zhea tersenyum lagi, kali ini lebih hangat di permukaan, meski sorot matanya dingin dan terukur. "Kita buat pesta itu jadi tak terlupakan," ucapnya seraya menyeringai samar.
Sementara Arin mencatat ide-ide dekorasi di ponselnya dengan semangat, Zhea menatap kosong ke arah jendela kamarnya.
Di kepalanya, pesta ulang tahun itu bukan lagi sekadar perayaan ... melainkan panggung kebenaran.
_____
Zhea tengah mengusap kening Zheza ketika Arin tiba-tiba bersuara lagi, nada bicaranya lebih pelan dari sebelumnya. "Kak ..." katanya ragu, "Aku mau ngomong sesuatu ..."
Zhea menoleh, menarik tangannya dari kening sang putri. "Hm? Tentang apa?"
Arin memainkan jemarinya di atas meja, wajah cerianya tadi berubah sedikit serius. "Tentang Elara."
Zhea hanya menatap, menunggu.
"Aku tuh ... nggak tahu kenapa ya, Kak, tapi aku nggak begitu suka sama dia," ujar Arin akhirnya, nada suaranya penuh kejujuran polos. "Waktu aku, Mama dan Papa mampir ke kantor beberapa bulan lalu ... aku melihat cara Elara ngomong sama Kak Zavi tuh kelihatan beda banget, rasanya ... terlalu akrab. Nggak kayak bawahan sama atasan."
Zhea tetap diam, tapi matanya memancarkan ketenangan yang nyaris menyeramkan. Ia menghampiri Arin, dan duduk perlahan di sebelahnya. "Terus?" tanyanya lembut, seolah hanya sekadar menanggapi obrolan ringan.
Arin menatap kakak iparnya hati-hati. "Ya ... aku cuma takut aja, Kak. Soalnya, aku tahu Kak Zavi itu ramah banget ke siapa pun. Tapi perempuan kayak Elara tuh ... matanya lain."
Senyum tipis muncul di bibir Zhea. "Mata yang seperti apa, Rin?"
Arin terdiam sejenak, lalu menjawab jujur, "Mata yang kayak selalu mengincar sesuatu yang bukan miliknya."
Zhea menatap ke arah langit-langit kamar, senyum di bibirnya tak berubah, tapi sorot matanya menajam sesaat. "Insting kamu bagus, Rin," ujarnya pelan. "Kadang perempuan memang bisa lebih peka dari siapa pun."
Arin menatapnya penasaran. "Kakak juga ngerasain hal yang sama kan?"
Zhea menoleh, senyum lembutnya kembali. "Ya, begitulah, Rin. Tapi Kakak percaya kok, sama Zavier." Namun dalam hati, Zhea berbisik lirih, "Sebentar lagi, kamu akan tahu siapa sebenarnya Elara."
_____
Siang mulai berganti sore ketika Arin duduk di kamar tamu yang ada di rumah kakaknya, memandangi layar ponselnya dengan ragu.
Sejak percakapannya dengan Zhea tadi, hatinya terasa gelisah. Nalurinya kuat sekali ... ada sesuatu yang tidak beres antara kakaknya dan sekretaris itu.
Akhirnya ia menekan nama Zavier di daftar kontak. Ponsel berdering beberapa kali sebelum suara berat kakak laki-lakinya terdengar di seberang.
"Halo, Rin, ada apa?" Nada suara Zavier terdengar tenang, tapi agak terburu-buru.
Di belakang samar-samar terdengar suara tawa lembut seorang wanita ... membuat dada Arin langsung menegang. "Kakak lagi di kantor atau di luar?" tanyanya pelan.
"Di kantor. Mau ada rapat kecil bentar lagi," jawab Zavier cepat. "Kenapa? Apa ada masalah?"
Arin menarik napas panjang. "Nggak, nggak ada apa-apa. Aku cuma ... ingin ngomong sedikit."
Hening sejenak. Lalu suaranya terdengar lebih serius. "Kak, aku tahu ini mungkin bukan urusanku, tapi ... hati-hati sama Elara."
Zavier terdiam beberapa detik, menatap Elara yang duduk tak jauh darinya dengan senyum menggoda, lalu menjawab datar, "Kenapa emangnya?"
Arin menggigit bibirnya. "Aku cuma ngerasa dia bukan perempuan baik, Kak. Dari cara dia ngobrol sama Kakak aja udah keliatan kalau niatnya bukan cuma soal kerja."
Zavier mendengus pelan, berusaha menutupi ketegangan yang tiba-tiba muncul. "Rin, jangan asal menuduh orang, ya. Elara cuma sekretarisku. Dia sangat profesional. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak lah!"
Arin menutup matanya sesaat. Ia tahu nada datar itu ... nada defensif, sekaligus menyembunyikan sesuatu. "Kak ..." Suaranya melembut tapi tegas, "Aku tahu Kak Zhea nggak pernah cerita apa pun ke Kakak tentang kekhawatirannya. Tapi sebagai sesama perempuan ... aku bisa melihat kecemburuan di mata Kak Zhea."
Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan suara bergetar pelan, "Jangan pernah mengkhianati Kak Zhea. Kalau sampai itu terjadi ... Kakak bakal nyesel seumur hidup. Karena nggak akan ada lagi perempuan sesempurna dia di dunia ini."
Di seberang, Zavier hanya diam. Pandangannya sempat bergeser ke arah Elara yang kini menatapnya penuh arti, seolah menanyakan siapa yang menelepon.
Ia menjawab Arin dengan nada datar, tanpa emosi. "Udah, Rin. Jangan mikir yang aneh-aneh. Kakak lagi sibuk, nanti kita ngobrol lagi."
Sambungan terputus.
Zavier meletakkan ponselnya di meja, menghela napas panjang.
Elara menatapnya lembut. "Siapa yang nelepon, Babe?" tanyanya manja.
"Adikku," jawab Zavier singkat.
Elara tersenyum kecil, mendekat. "Dia ngomongin apa?"
"Bukan apa-apa. Nggak penting juga," jawab Zavier. Tapi peringatan Arin barusan menggaung di telinganya.
'Kalau Kakak mengkhianati Kak Zhea ... Kakak akan kehilangan wanita paling sempurna di dunia.'
Namun bukannya menyesal, Zavier justru menatap Elara dan berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya masih bisa ia kendalikan.
Tanpa sadar, saat itulah ia mulai melangkah lebih jauh ke jurang yang Zhea sudah siapkan baginya.
"Sayang, duduk sini!" Zavier menepuk pahanya, membuat Elara tersenyum nakal.
"Kamu pengen lagi ya?" Bau parfum khas Elara tercium begitu ia menjatuhkan tubuh di pangkuan Zavier. Ia menyentuh rahang pria itu dengan jemarinya yang halus.
Zavier menatapnya lekat. "Aku memang pengen." Akhirnya ia mengakui.
Elara tertawa pelan penuh kemenangan. Ia memajukan wajah dan mencumbu bibir Zavier penuh gairah.
Sekejap kemudian, ruangan itu kembali memanas. Dipenuhi suara-suara syahdu yang terlarang.
Di luar, beberapa karyawan yang lewat ruangan itu hanya saling berpandangan, tak ada yang berani mengetuk pintu ruang direktur itu. Semua sudah paham, dan semua memilih diam.
Beberapa jam kemudian, ruangan Zavier sudah kembali sunyi.
Elara berdiri di depan cermin kecil di sudut ruangan, merapikan rambutnya yang sempat berantakan. Di bibirnya terukir senyum puas ... senyum seorang wanita yang baru saja memenangkan permainan berbahaya.
Ia melirik ke arah Zavier yang sedang duduk bersandar di kursi kebesarannya, tampak termenung dengan dada naik turun. Kemejanya masih sedikit kusut, dasinya terlepas begitu saja di meja.
"Babe," Elara memanggil lembut sambil menatapnya lewat pantulan kaca, "Gimana service-ku, memuaskan tidak?"
Zavier menoleh sekilas, tersenyum hangat. "Selalu. Permainanmu selalu memuaskan, Sayang. Aku ke kamar mandi dulu ya?" Zavier bangkit dari kursi dan masuk ke kamar mandi.
Begitu Zavier meninggalkannya sendirian di ruangan itu, Elara menatap bayangannya sendiri di kaca jendela besar. Pandangannya tajam, penuh keyakinan. "Kamu pikir kamu menang, Zhea?" desisnya lirih, tapi mengandung racun. "Kamu cuma punya nama dan status. Tapi aku ..." Senyumnya merekah dingin. "Aku punya hatinya. Dan tak lama lagi, semuanya akan jadi milikku."
Ia menegakkan tubuhnya, membenarkan kancing blusnya satu per satu. Setiap gerakan tampak seperti persiapan menuju pertempuran besar. "Tunggu saja, Zhea. Waktu kehancuranmu akan segera tiba. Sebentar lagi ... Zavier akan menjadi milikku, dan kamu ... akan ditendang menjauh dari hidupnya."
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir