Menikah dulu... Cinta belakangan...
Apakah ini cinta? Atau hanya kebutuhan?
Rasa sakit dan kecewa yang Rea Ravena rasakan terhadap kekasihnya justru membuat ia memilih untuk menerima lamaran dari seorang pria buta yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
Kai Rylan. Pria buta yang menjadi target dari keserakahan Alec Maverick, pria yang menjadi kekasih Rea.
Kebenaran tanpa sengaja yang Rea dengar bahwa Kai adalah paman dari Alec, serta rencana yang Alec susun untuk Kai, membuat Rea menerima lamaran itu untuk membalik keadaan.
Disaat Rea menganggap pernikahan itu hanyalah sebuah kebutuhan hatinya untuk menyembuhkan luka, Kai justru mengikis luka itu dengan cinta yang Kai miliki, hingga rahasia di balik pernikahan itu terungkap.
Bisakah Rea mencintai Kai? Akankah pernikahan itu bertahan ketika rahasia itu terungkap? Apa yang akan terjadi jika Alec tidak melepaskan Rea begitu saja, dan ingin menarik Rea kembali?
Ikuti kisah mereka....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Yang Ditutupi.
Pintu ruang perawatan Rea terbuka perlahan ketika waktu sudah menunjukan lewat tengah malam diikuti sosok Kai yang melangkah masuk sembari menggerakkan tongkat penuntun di tangannya seiring dengan setiap langkah yang ia ambil.
Gerakan kakinya lambat, tongkat penuntun di tangannya bahkan ia gerakkan dengan perlahan untuk mencapai tempat tidur pasien di mana Rea terbaring.
"Re..."
Kai memanggil dengan suara pelan, menyentuh lengan Rea yang tengah berbaring dengan posisi miring memunggungi dirinya yang kini sudah duduk di samping tempat tidur.
"Kamu sudah tidur?" Kai bertanya lagi.
Tidak ada jawaban, hanya hembusan napas teratur yang terdengar dari Rea.
Kai meletakkan tongkat penuntun di sisi tempat tidur, bangun dari duduknya, lalu mengulurkan tangan untuk meraih bahu Rea sekaligus membenarkan posisi tidur Rea dan melebarkan kedua matanya saat ia melihat sisa air mata membasahi pipi Rea.
Pandangan kosong yang selama ini Kai perlihatkan pada semua orang termasuk Rea kini berubah, netranya mengunci wajah Rea yang bisa ia tebak wanita itu tertidur setelah menangis dalam waktu lama dan ia tahu apa penyebabnya.
"Jim!" Kai memanggil, tetapi mengatur suaranya agar tidak mengganggu wanita yang kini tengah tertidur.
Pintu ruang perawatan kembali terbuka dengan sosok Jim muncul dari balik pintu dan melangkah masuk ke dalam, mendekat pada Kai yang sedang berdiri di samping tempat tidur.
"Anda memanggil saya, Tuan?" tanya Jim.
"Selidiki ulang tentang Alec dan semua anggota keluarga Rea tanpa ada yang terlewat!" perintah Kai.
"Maaf jika saya lancang, Tuan," ucap Jim menudukkan kepala.
"Sebenarnya saya sudah memulainya lebih dulu,"
Kai memutar badannya, menatap lekat wajah asistennya dengan alis terangkat seakan ingin mengatakan tanpa bicara bahwa kedua matanya tidaklah buta seperti yang semua orang ketahui tentang kondisinya. Diam menunggu asisten pribadinya kembali bicara.
"Apa yang Alec katakan siang ini, yang mana dia justru membuka semua rahasianya sendiri, itu terasa sangat janggal bagi saya. Jadi, saya mulai mengawasi setiap pergerakannya sejak dia meninggalkan rumah sakit," ungkap Jim.
"Dan apa yang kau dapatkan?" sambut Kai.
Jim menghembuskan napas pelan, netranya beralih pada Rea yang masih terlelap seolah tidak terganggu sama sekali dengan apa yang ada di sekitar wanita itu, lalu kembali menatap atasannya.
"Alec mendatangi rumah Nona Rea untuk memastikan pernikahan Anda tetap dilangsungkan, bahkan dipercepat," ucap Jim.
"Tentang dia mengungkapkan hubungannya bersama Nona Rea kepada Anda juga sudah diatur oleh mereka. Dan tujuan mereka melakukan ini adalah untuk menempatkan Anda pada situasi di mana Anda menikahi Nona Rea yang mencintai orang lain,"
"Dengan begitu, keluarga Nona Rea bisa menekan Anda menggunakan status Nona Rea sebagai istri Anda,"
Kai diam, benaknya memikirkan banyak hal dalam satu waktu, lalu berbalik dan kembali duduk dengan pandangan tertuju pada wajah Rea yang masih terlelap. Wajah cantik yang kini terlihat lelah dengan mata sembab.
"Tuan, tolong pikirkan sekali lagi! Tidak masalah jika kita rugi sekali dan kehilangan sebagian saham, Anda. Kita bisa memulihkannya kembali,"
"Tapi, pernikahan ini hanya akan menyulitkan, Anda. Jalan keluar dari masalah ini hanya ada di dalam diri Nona Rea sendiri, dan itu mustahil terjadi,"
"Aku tahu apa yang aku lakukan, Jim," sahut Kai tenang.
"Dan kamu tahu apa alasanku kenapa pernikahan itu harus terjadi bagaimanapun caranya meski aku mengatakan Rea memiliki pilihan untuk menolak,"
"Karena Anda mencintainya," ucap Jim, lalu tersenyum kecut.
"Sayangnya Nona Rea tidak mencintai, Anda. Sebaliknya, dia sudah memanfaatkan Anda. Bukan tidak mungkin tindakannya hari ini hanya pura-pura untuk menarik simpati, Anda,"
"Tak apa," jawab Kai sembari menyentuh wajah Rea, menghapus air mata yang masih tersisa.
'Dasar bodoh! Kenapa kamu harus berpura-pura tersenyum jika hatimu menangis?' batin Kai pilu.
"Selama aku bisa melindunginya dari mereka, akan kugunakan cara apapun meski itu artinya dunia akan menghinaku,"
.
.
.
"Eghh..."
Suara erangan pelan disertai pergerakan lembut terlihat dari balik selimut di mana Rea baru saja membuka kedua matanya saat sinar mentari pagi menembus tirai ruang perawatannya.
"Selamat pagi..."
Rea terkesiap, segera bangun dari berbaringnya dan menoleh ke sumber suara hanya untuk melihat Kai tengah duduk sembari menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan uap, menyesapnya perlahan, lalu meletakkan cangkir itu dengan hati-hati di meja sembari meraba untuk memastikan tempat di mana pria itu harus meletakkan cangkirnya.
Selama beberapa saat, Rea terpana melihat gerakan sederhana yang dilakukan pria dewasa itu di depan matanya, terlihat begitu alami seakan pria itu memiliki penglihatan normal.
"Paman sudah di sini? Sejak kapan?" tanya Rea.
"Begitukah caramu menyapa calon suamimu?" sindir Kai.
"Aaa...?" Rea mengerjap bingung, tapi kemudian tersadar dan segera menggelengkan kepala saat melihat Kai melangkah mendekat dengan sebuah buku di tangan. Tetapi, pandangannya sangat sulit untuk ia alihkan dari sosok Kai, pikirannya seakan terhenti di satu waktu.
"Jadi..."
Sebelum Rea bisa mencerna apa yang terjadi, Kai sudah berdiri di samping tempat tidur pasien, mencondongkan wajahnya dengan menopang tubuhnya sendiri pada sisi tempat tidur menggunakan kedua tangan, hingga membuat jarak antara wajah mereka menjadi sangat dekat.
"Mana sapaan selamat pagiku? Tidakkah kamu ingin menyapa calon suamimu ini?" tanya Kai tersenyum tipis.
Rea menelan kasar salivanya, sedikit memundurkan kepala saat netra Kai seakan tengah menatapnya, tetapi saat ia kembali mencoba melambaikan satu tangannya tepat di depan wajah Kai, pandangan pria itu tetap kosong tak berkedip.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Rea segera mendaratkan kecupan cepat di pipi Kai.
Niat untuk membalas sikap Rea yang sebelumnya menggoda dirinya waktu itu justru berakhir dengan membuat Kai kembali merona atas tindakan yang Rea lakukan. Sentuhan hangat yang mendarat cepat di pipinya membuat Kai segera menegakkan tubuh, kedua matanya melebar, dan reflek menyentuh pipinya sendiri dengan jantung yang kini berdegup lebih cepat dari normal.
'Mau menggodaku? Enak saja! Kamu terlalu kaku, Paman,' batin Rea seraya menjulurkan lidah.
'Bocah ini... Awas saja! Aku akan membalasmu!' Kai menggeram gemas dalam hati.
"Apakah kau selalu begitu kepada kekasihmu?" tanya Kai datar, segera menetralkan suasana hatinya sendiri.
"Aku sudah bilang dia bukan lagi kekasihku! Kenapa Paman masih saja menyebut pria mesum itu kekasihku?" sungut Rea memasang wajah cemberut.
"Pria mesum?" ulang Kai mengerutkan kening.
"Buku apa yang Paman baca?" tanya Rea mengganti topik.
Kai menghela napas panjang, menyodorkan buku yang sebelumnya berada di tangannya pada Rea.
"Buku braille literatur," jawab Kai.
"Hemmm..."
Rea bergumam pelan, membuka dengan hati-hati lembaran buku yang ia terima, lalu memejamkan mata untuk meraba tiap huruf yang tertulis pada buku.
"Paman luar biasa," ucap Rea tulus.
"Jika itu aku, kurasa aku akan membutuhkan waktu sangat lama untuk membaca dengan cara meraba seperti ini,"
"Setidaknya kamu bisa melihat, Re," sahut Kai.
Rea membuka mata, tersenyum manis.
"Kalau begitu, dengarkan ini baik-baik! Dari hatiku yang paling dalam, tanpa ada niat buruk di hatiku seperti sebelumnya, mulai hari ini dan seterusnya, aku akan menjadi matamu, Paman,"
Kai tersenyum, mendaratkan telapak tangannya tepat di atas kepala Rea, lalu mengusapnya lembut. Membuat wanita itu sempat berpikir bagaimana Kai bisa melakukannya dengan akurat. Tapi kemudian, menepisnya dan menganggap naluri orang buta biasa lebih tajam.
"Kamu tidak boleh mengingkari janjimu, Re," ucap Kai.
"Tidak akan!" tegas Rea.
Kai tersenyum tipis.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Kai.
Rea hanya mengangguk, menyembunyikan getir yang ia rasakan ketika keluarganya sendiri bahkan tidak datang saat dirinya dirawat.
"Tapi sebelum itu, aku perlu mendengar jawabanmu," ucap Kai lagi.
"Tentang?" sambut Rea.
"Jika pernikahan ini dipercepat, apakah kamu akan..."
"Tak masalah," Rea menjawab cepat bahkan sebelum Kai menyelesaikan pertanyaan.
"Aku akan mengikuti apa yang Paman katakan," imbuhnya kemudian.
'Setidaknya, dengan cara ini aku bisa melupakannya,' sambung Rea dalam hati.
. . . .
. . . .
To be continued...