Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAJI PERTAMA - MENGIRIM UANG KE RUMAH
Satu minggu berlalu sejak Fajar mulai bekerja di Warung Mbok Jumi.
Rutinitas barunya sangat padat: bangun jam 5 pagi, kuliah jam 8 sampai 2 siang, langsung ke warung kerja jam 3 sampai 9 malam, pulang ke kos jam 9.30, belajar sebentar (kalau masih ada tenaga), tidur jam 11 atau 12 malam. Begitu berulang setiap hari Senin sampai Jumat.
Tubuhnya lelah luar biasa. Tangannya penuh lecet dan luka kecil dari terkena air sabun terus-menerus. Punggungnya pegal permanen. Kadang ia tertidur begitu saja di kursi saat kuliah karena terlalu lelah.
Tapi ia tidak pernah mengeluh.
Karena setiap malam, saat ia menerima dua puluh lima ribu rupiah dari Mbok Jumi, ia merasa bangga. Ini adalah uang hasil keringatnya sendiri. Uang yang halal. Uang yang terhormat.
Dan yang paling penting—ia tidak lagi kelaparan. Mbok Jumi selalu memberinya makan siang dan malam dengan porsi besar. Bahkan kadang Mbok Jumi menambahkan lauk ekstra: telur, ayam goreng, atau ikan. "Biar kamu kuat, Nak," kata Mbok Jumi selalu.
Hari Jumat malam, minggu pertama bekerja, setelah selesai shift, Mbok Jumi memanggil Fajar.
"Ini gaji minggumu, Nak." Ia menyerahkan amplop cokelat.
Fajar membuka dengan tangan gemetar. Di dalam ada tujuh lembar uang dua puluh lima ribu—seratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Uang terbanyak yang pernah ia pegang sejak datang ke kota ini.
"Terima kasih banyak, Bu," kata Fajar dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca.
"Kamu kerja keras. Ini hasil keringatmu sendiri. Pakai dengan bijak ya, Nak."
Fajar mengangguk berkali-kali.
Di perjalanan pulang ke kos, Fajar menggenggam erat amplop itu. Pikirannya berkecamuk.
Seratus tujuh puluh lima ribu. Kalau aku pakai semua untuk diri sendiri, bisa buat makan seminggu dengan layak. Bisa beli baju baru yang tidak lusuh. Bisa beli sepatu yang tidak bolong.
Tapi kemudian ia teringat wajah ibunya yang menangis. Ayahnya yang menatap kosong. Rani yang tidak bisa sekolah.
Mereka di sana pasti lebih butuh daripada aku.
Sesampainya di kos, Fajar duduk di kasur tipisnya. Ia membuka amplop itu, menghitung uangnya dengan cermat.
Seratus tujuh puluh lima ribu.
Ia memisahkan seratus lima puluh ribu—enam lembar dua puluh lima ribu.
Menyisakan dua puluh lima ribu untuk dirinya sendiri.
Dua puluh lima ribu untuk makan seminggu. Itu artinya tiga ribu lima ratus per hari. Cukup untuk nasi bungkus sekali sehari. Sisanya aku sudah dapat makan gratis di warung.
Ia mengambil amplop lain, memasukkan seratus lima puluh ribu ke dalamnya. Kemudian ia menulis surat pendek dengan tulisan tangannya yang tidak terlalu rapi:
Ibu, Ayah, Rani,
Ini uang dari hasil kerja pertama aku. Seratus lima puluh ribu. Pakai untuk biaya hidup di rumah. Buat beli obat Ayah. Buat jajan Rani. Buat Ibu belanja.
Aku baik-baik saja di sini. Sudah dapat kerja part-time di warung makan. Dapat makan gratis, jadi Ibu nggak usah khawatir. Aku juga kuliah lancar.
Aku kangen kalian. Sangat kangen. Tapi aku janji akan terus berjuang sampai bisa bawa kalian hidup lebih baik.
Doain aku ya.
Fajar
Ia melipat surat itu, memasukkannya ke amplop bersama uang, kemudian menyegelnya.
Malam itu juga, meskipun sudah malam dan lelah, Fajar mengayuh sepedanya ke kantor pos yang masih buka sampai jam 10 malam. Ia mengirim amplop itu ke Desa Asri.
Biaya kirim: lima ribu rupiah.
Uang yang tersisa di sakunya: dua puluh ribu rupiah.
Tapi hatinya... hatinya terasa ringan luar biasa.
Tiga hari kemudian, tengah malam, ponsel Fajar berdering. Ibunya menelepon.
"Halo, Bu?" jawab Fajar dengan suara masih setengah tidur.
"JAR!!!" suara Bu Nirmala terdengar menangis di seberang sana. Tapi bukan tangisan sedih. Tangisan bahagia.
Fajar langsung terbangun sepenuhnya. "Bu?! Kenapa?! Ada apa?!"
"Nak... uangnya... uangnya sudah sampai..." Bu Nirmala terisak-isak. "Seratus lima puluh ribu... Ibu tidak menyangka... Ibu pikir kamu yang lebih butuh uang di sana... tapi kamu malah kirim ke rumah..."
"Ibu lebih butuh, Bu," kata Fajar dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Tadi Ibu dan Ayah menangis baca suratmu," lanjut Bu Nirmala. "Rani juga menangis. Ayahmu sampai tidak bisa bicara karena terlalu terharu. Dia cuma bilang: 'Anak kita hebat, Nirmala. Anak kita benar-benar hebat.'"
Fajar tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis di kamar sempit yang gelap itu.
"Nak..." suara Bu Nirmala lembut. "Kamu pasti susah banget di sana. Ibu tahu. Tapi kamu tetap kirim uang untuk kita. Maafkan Ibu yang tidak bisa apa-apa. Maafkan Ibu yang jadi beban untukmu—"
"JANGAN BILANG BEGITU, BU!" Fajar memotong dengan suara keras—hampir berteriak. "Ibu bukan beban. Tidak akan pernah. Ibu adalah alasan aku bertahan di sini. Ibu, Ayah, Rani—kalian adalah alasan aku tidak menyerah meskipun setiap hari direndahkan, dihina, dicaci. Kalian adalah kekuatanku."
"Jar..." Bu Nirmala menangis semakin keras.
"Ibu percaya sama aku ya," kata Fajar dengan suara bergetar tapi penuh tekad. "Percaya bahwa suatu hari nanti, aku akan bawa kita semua keluar dari kemiskinan ini. Aku janji. Dengan segenap jiwaku, aku janji."
"Ibu percaya, Nak. Ibu selalu percaya."
Setelah telepon berakhir, Fajar duduk terdiam lama di kegelapan kamar. Air matanya masih mengalir. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang berkobar sangat kuat.
Bukan dendam. Bukan kemarahan.
Tapi cinta. Cinta yang sangat besar untuk keluarganya. Dan tekad untuk mengubah nasib mereka semua.
Ia menatap keluar jendela kecil kamarnya yang menghadap gang kumuh. Di luar sana, Kota Gemilang berkilauan dengan lampu-lampu gedung tinggi. Kota yang kejam. Kota yang meremehkan orang-orang seperti dirinya.
Tapi ia tidak takut lagi.
"Kalian semua meremehkanku karena aku miskin," bisik Fajar pelan tapi dengan nada yang sangat tegas. "Kalian mentertawakanku. Kalian mencaci makiku. Kalian merendahkanku."
Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Tapi kalian tidak tahu... orang yang paling banyak direndahkan justru punya alasan terkuat untuk melangit. Dan aku akan buktikan itu. Aku akan buktikan bahwa aku—Fajar Baskara, anak petani miskin dari Desa Asri—bisa melangit lebih tinggi dari siapapun."
Di pergelangan tangannya, gelang rajutan dari Rani masih terpasang—sudah lusuh dan kotor, tapi tetap terpasang erat.
Ia menggenggam gelang itu.
"Untuk kalian. Semuanya untuk kalian."
Malam itu, Fajar tidur dengan lebih tenang. Meskipun kamarnya sempit, meskipun perutnya lapar, meskipun tubuhnya lelah—ia tidur dengan hati yang penuh.
Karena untuk pertama kalinya sejak datang ke kota ini, ia merasa... berguna.
Ia bukan lagi beban.
Ia bukan lagi anak yang hanya menerima.
Ia sudah mulai bisa memberi.
Dan itu adalah perasaan paling membahagiakan di dunia.
BERSAMBUNG...
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.