Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ritual Pemutus
Hari itu berjalan lambat seperti kura-kura lumpuh. Setiap menit terasa seperti ditarik oleh tangan-tangan tak terlihat yang ingin memastikan Raga ikut merasakan beban janji leluhur itu.
Ayah tidak keluar rumah. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, memandangi halaman depan tanpa berbicara, seperti menunggu sesuatu. Sesekali ia mengelus dada, menahan sesak yang datang dan pergi.
Ibu memaksa Raga untuk makan siang, tapi hanya dua suap yang masuk sebelum mual melanda. Sejak pagi, aroma melati terus muncul di sudut-sudut rumah—di dapur, di dekat pintu belakang, di kamar mandi—meski tidak ada satu pun bunga melati di tanam di halaman atau di pot, seperti ada yang mengawasi, mengikuti tubuhnya.
Menjelang Ashar, angin mendadak berhenti. Daun-daun pohon Kamboja yang biasanya bergerak ditempa angin sore kini diam diawetkan. Tidak ada burung berkicau. Tidak ada suara anak-anak bermain di jalan. Kampung terasa seperti menahan napas berat kena TBC.
Ayah berdiri, merapikan baju Koko usang nya, memanggil Raga. “Nak, kamu sudah siap?”
Tidak ada yang bisa mempersiapkan hati Raga untuk malam itu, tapi ia mengangguk kecil.
Ibu memegang tangannya erat sekali. “Apa pun yang terjadi… jangan melepas tangan Ayahmu. Nanti Angku datang membantu, jangan berbicara kecuali ditanya. Dan jangan menoleh ke belakang. Janji?”
Raga menggenggam tangannya lebih erat dari biasanya. “Janji, Bu.”
\=\=\=
Angku, lelaki bertubuh kurus memakai sorban itu berdiri di tengah ruang tamu yang remang, tubuhnya agak membungkuk namun aura kewibawaannya memecah ketegangan seperti pedang. Lampu utama sengaja dimatikan; hanya lampu dinding berkedip lemah—seolah rumah pun ikut mendengar
Raga duduk di lantai, napasnya masih belum stabil sementara Ayah memegangi bahunya dari belakang, dan Ibu menggenggam tangannya erat-erat.
Angku mengambil posisi di depan mereka, sebuah mangkuk tanah liat kecil diletakkan di depannya. Di dalamnya ada bunga melati—menyebar harum, aroma membuat bulu kuduk berdiri; wangi bukan lagi menenangkan, tapi seperti panggilan jiwa.
“Dari tadi melati ini muncul di kamar, di pekarangan, di meja belajar,” gumam Ayah dengan wajah tegang. “Ini pasti tanda, Angku.”
Ia mengangguk pelan. Sorot mata tuanya tajam, seperti menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang pernah ia bagi selama hidupnya.
“Ini bukan sekadar tanda,” katanya lirih. “Ini seruan. Dia menagih perjanjian.”
Kalimat itu membuat Ibu menggigil.
Raga menelan ludah. “Dia… Arumi itu… masih mau ikut, Ngku?”
Angku menatap cucunya lama. “Bukan mau. Tapi hak baginya, menurut adat lama. Tapi kamu bukan milik dia. Malam ini, kita putuskan semuanya.”
Raga merasakan dunia mengecil di sekelilingnya.
Laki laki bersorban itu mulai merapikan duduk, memejamkan mata sejenak, lalu membuka mulut dengan suara rendah, bergetar datang dari perut bumi.
“Sekarang kita mulai,” katanya. " Sutan ikut…tapi kamu, Nur cukup melihat dan jangan turut campur memutus perhatian barang sedetik pun.”
Ayah dan Ibu mengangguk.
Ritual Dimulai
Angku mengangkat sejumput abu kemenyan dan menyalakannya. Asap putih tipis membubung, melingkar seperti tangan-tangan kecil mencoba meraba wajah mereka. Bau kemenyan bercampur harum melati… tapi kemudian semakin kuat, semakin menusuk.
Raga sadar betul itu bukan dari bunga di mangkuk, tubuhnya merinding menembus hingga ke tulang punggung
Udara menjadi dingin berputar di tepian sungai jiwa yang menunggu.
Angku mulai melafalkan doa pemutus, kalimat-kalimat tua bahasa lampau, suara seraknya naik turun dengan ritme aneh—terlalu pelan untuk diteriakkan, tapi terlalu tegas untuk dianggap bisikan.
Tidak ada suara lain. Hanya desau angin.
Hanya denting sendok di dapur yang tiba-tiba bergerak sendiri.Hanya napas Raga yang terdengar semakin berat.
Saat Angku mencapai bait ketiga, bunga melati di mangkuk bergerak. Kelopaknya terbuka perlahan bernapas dari dalam.
Ibu memekik kecil. Ayah refleks menahan tangan istrinya.
“Fokus!” tegur Angku tanpa membuka mata.
Raga ingin lari dari tempat itu tapi hatinya ditarik dipancing dari dua arah: satu oleh keluarganya, dan satu lagi oleh sesuatu yang samar tapi kuat… gadis itu, Arumi.
“Tolong…” suara halus berbisik di belakang telinganya.
Raga membeku itu suara perempuan lembut, lirih dan nyaris memohon.Tapi dingin, sangat dingin.
Angku menghentak lantai dengan telapak tangannya. “Raga jangan dengarkan dia!”
Terdengar tawa kecil halus bergema di seputaran ruangan seakan berputar dari dalam perut bumi
Arumi Menampakkan Kehadirannya
Lampu dinding berkedip dua kali— tiga kali—lalu mati total. Ruangan tenggelam dalam gelap gulita, kecuali cahaya kecil dari bara kemenyan.
Dalam cahaya remang … sesuatu berdiri di sudut ruangan.Raga tak mau melihat, tapi tubuhnya sendiri bergerak.
Sosok gadis muda, basah sekujur tubuhnya, rambut panjang menutupi separuh wajah, tetesan air menetes ke lantai—tapi lantainya tetap kering, tidak menimpa.
“Abang Raga…” suaranya retak lembut namun menikam. “Abang sudah berjanji…”
Raga gemetar. Lututnya melemah, "'apa yang pernah ia ucapkan?
Angku menghentakkan tongkat kecilnya ke lantai. “Cukup! Anakku—dengan segala adat dan dunia—dia bukan lagi milikmu!”
Bayangan putih menatap Angku, wajahnya pecah seperti keramik retak, berubah, menyatu, dan retak lagi.
“Dia… milik kami,” jawabnya rintih dalam dan menyentuh … suara laki-laki dan perempuan yang tumpang tindih.
Tubuh Raga oyong hampir pingsan. Ayah memeluknya dari belakang, menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Dan Ibu sudah menangis tanpa suara.
Doa Paling Penting
Angku mulai membaca bagian terakhir doa pemutus—paling keras, paling menyakitkan bagi makhluk yang menagih janji
Udara berputar kencang membentuk pusaran kecil muncul di tengah ruangan. Kemenyan membara lebih cepat. Kelopak melati menghitam, seperti dibakar dari dalam jiwa yang rapuh.
Gadis itu menjerit—jeritan tanpa suara, tapi cukup untuk membuat kaca jendela bergetar hebat. Raga menutup telinga, tapi tetap mendengarnya.
Angku berdiri, mengangkat kedua tangannya, suaranya naik bergetar, “Segala ikatan lama, segala perjanjian turun-temurun, Kami putuskan malam ini.Kembalikan yang bukan milikmu.Biarkan yang hidup tetap di dunia hidup.”
Asap kemenyan berkumpul, menyelimuti mangkuk dan melati. Kelopak melati terakhir luruh… dan berubah menjadi abu.
Arumi mundur perlahan, tubuhnya memudar. Rambutnya berkibar tanpa angin.
“Abang Raga… jangan tinggalkan Amy…”
Laki laki itu meneteskan air mata tanpa sadar. Bukan karena cinta, tapi karena ketakutan… dan rasa iba yang tak jelas.
Sosok itu lenyap perlahan… hilang seperti diseret ke balik bayangan.
Dan saat doa terakhir selesai, ruangan kembali diam.
Lampu menyala.
Ayah terisak lega.
Ibu memeluk Raga.
Angku duduk perlahan, kelelahan wajahnya tampak jelas. Tapi ia tersenyum kecil.
“Sudah,” katanya pelan. “Sudah selesai.”
Tapi Raga belum sempat bernapas lega dari kejauhan…bau melati kembali tercium.
Bukan dari mangkuk.
Bukan dari luar rumah.
Tapi dari belakang tubuhnya.
Seolah sesuatu belum benar-benar pergi.