Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta ikut pulang ke rumah mertua
"Masih sakit?" tanya Bianca menatap khawatir Kaivan yang hanya diam saja berbaring di kasur.
Sejak sore tadi, Bianca dan Kaivan sudah pulang dari rumah sakit setelah Kaivan menghabiskan cairan infusnya, Bianca membawa Kaivan sendiri dari rumah sakit menggunakan taksi, karena dia tidak mungkin meminta bantuan Nancy lagi, bisa-bisa darah tingginya naik ketika melihat Nancy.
"Tidak apa-apa, ini sudah tidak sakit lagi," jawab Kaivan dengan mata tertutup, ini memang sudah tengah malam, tapi Bianca memutuskan untuk terjaga takut-takut kalau suaminya kembali merasakan sakit.
"Katakan jika ada yang sakit,"
Kaivan hanya diam, tidak membalas ucapan Bianca, tapi tangan sebelah kanannya menepuk-nepuk kasur di sebelahnya yang kosong.
"Berbaringlah di sebelahku!" pinta Kaivan yang tidak langsung dituruti Bianca, walaupun ia memang sudah sangat ingin merebahkan tubuhnya, tapi ia tidak bisa, ia harus menjaga Kaivan, karena bagaimana pun Kaivan bisa sampai sakit karena ulah dirinya.
"Berbaring saja di sebelahku, besok juga aku sudah sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa," beritahu Kaivan seakan tahu arti dari keterdiaman Bianca.
Bianca menurut, tanpa mengatakan apapun, ia menaiki kasur dan berbaring di sebelah Kaivan.
"Kenapa tidak memberitahuku jika kamu tidak bisa makan makanan yang pedas apalagi sambal?" tanya Bianca lirih, ia memiringkan tubuhnya dan menatap wajah Kaivan yang menghadap langit-langit.
"Aku minta maaf tidak memberitahumu sebelumnya, aku memaksakan diri untuk menekan makanan pedas itu karena jika aku memuntahkannya aku takut kamu tersinggung," jawab Kaivan memberitahu alasan mengapa ia diam saja ketika Bianca menyuapi makanan yang ada sambalnya.
"Tersinggung? Kenapa aku harus tersinggung?" tanya Bianca heran.
"Kita baru saja bisa berdamai dengan pernikahan kita, apalagi kamu yang baru saja bisa menerima pernikahan ini, jadi aku berpikir untuk tetap menjaga perasaanmu dan tidak membuatmu kesal ataupun tersinggung, aku takut kamu malah berubah pikiran dan berakhir akan kembali meminta cerai kepadaku,"
Mendengar itu, Bianca tertawa, ia merasa alasan Kaivan yang satu ini terdengar sangat lucu di pendengarannya, Bagaimana mungkin Kaivan berpikir dirinya akan kembali meminta cerai hanya karena Kaivan menolak makanan pedas yang ia berikan.
"Kamu berpikir terlalu jauh, Kaivan," ucap Bianca dengan sisa tawanya yang belum berhenti.
"Aku hanya takut saja,"
Bianca kembali terkekeh, kenapa juga Kaivan menjadi lucu di matanya, padahal dulu ia tidak sudi menatap wajahnya, bahkan jika itu hanya sedetik.
Bianca terkejut ketika suara sering telpon yang begitu nyaring terdengar di sebelah telinganya, ia langsung mendudukkan diri dan menatap benda kecil hitam yang menyala berwarna putih disertai dengan getaran kecil. Benda itu, benda yang selalu Kaivan pakai ketika berbincang dengan seseorang, seperti ponsel, tapi tidak terlihat seperti ponsel, benda itu hanya memiliki satu tombol besar yang jika diraba tombol itu akan terasa menonjol.
Kaivan ikut bangkit dari berbaringnya, tangan sebelah kanannya meraba-raba keberadaan benda yang masih berbunyi nyaring itu.
Dengan sigap Bianca meraihnya dan menaruhnya pada telapak tangan Kaivan, Kaivan mengucapkan terima kasih lalu langsung menekan tombol yang muncul itu dan mendekatkan benda itu ke dekat telinganya.
"Halo,"
"Diumur segini kau bahkan masih mengatur-ngatur kehidupanku,"
Bianca mengerutkan dahinya bingung, Terdengar sekali kalau Kaivan sedang sangat kesal dengan lawan bicanya di sebrang telpon. bahkan tangannya terlihat meremas benda yang menempel pada telinganya dengan erat.
"Ada apa?" tanya Bianca begitu Kaivan menaruh benda itu di atas nakas dengan modal meraba-raba agar tidak melesat dan malah membuat benda itu terjatuh.
"Bianca, besok aku harus pulang ke rumah orang tuaku," ucap Kaivan yang lagi-lagi semakin membuat Bianca kebingungan, apakah yang menelponnya tadi itu mamanya? Atau papanya? Atau mungkin keduanya?
"Kenapa?" tanya Bianca spontan, ia merutuki dirinya sendiri yang salah melontarkan pertanyaan, seharusnya ia langsung mengiyakannya atau langsung mengizinkannya, tapi yang keluar dari bibirnya malah pertanyaan 'kenapa?' sungguh memalukan.
"Mereka menyuruhku untuk kembali ke rumah,"
"Jadi kamu tidak akan pernah pulang ke apartemen ini lagi?" tanya Bianca mendadak penasaran.
Kaivan menggeleng, "Mungkin hanya beberapa minggu, setelah itu aku akan kembali ke sini lagi," jawab Kaivan.
"Beberapa minggu? Artinya kamu akan lama di rumah orang tuamu?" tanya Bianca dengan nada yang tiba-tiba naik beberapa oktaf karena terkejut jika Kaivan akan meninggalkannya sendiri di apartemen.
"Tidak akan terlalu lama,"
"Apa aku boleh ikut pulang ke rumah orang tuamu?" tanya Bianca pelan dan juga ragu.Bianca bahkan sampai memejamkan matanya karena takut mendengar jawaban dari Kaivan, pasti akan langsung menolaknya.
"Apa kamu yakin?" tanya Kaivan, ia sedikit khawatir jika Bianca ikut, mama dan papanya akan berusaha mencelakakan Bianca di dalam rumahnya. Kaivan tahu mereka tidak akan pernah berhenti membenci keberadaan Bianca disisinya sampai keinginan mama dan papanya terwujud. Dan itu sangat tidak mungkin, karena Kaivan tidak akan pernah mau kembali dengan masa lalunya.
"Gak boleh ya?" ucap Bianca sudah menebak jika Kaivan pasti akan menolak membawa dirinya ke rumah orang tuanya.
"bukan gitu, maksudku, aku takut kamu gak nyaman selama tinggal di rumah orang tuaku," klarifikasi Kaivan dengan panik, ia merutuki kebodohannya dalam hal ini.
"Tapi gak apa-apa deh, kayaknya aku juga udah kangen sama mama papa, jadinya aku pulang ke rumah aja ya," ucap Bianca diakhiri dengan senyuman pahitnya, ia sadar diri, Kaivan mengatakan takut dirinya tidak nyaman jika ikut Kaivan pulang ke rumah orang tuanya, karena mama dan papanya memang sangat tidak menyukai pernikahan dirinya dan Kaivan.
"Kamu boleh ikut,"
"Hah?"
Bianca malah loading mendengar Kaivan mengizinkan dirinya ikut pulang, ia tidak salah dengar, kan? Apa Kaivan sudah berubah pikiran? Atau karena memang dirinya merasa tidak enak hati saja dengan Bianca makanya dia mengizinkannya.
"Kamu boleh ikut, Bianca," ujar Kaivan dengan nada sedikit tegas tapi juga lembut.
"Apa tidak apa-apa jika aku ikut, aku hanya bercanda saja loh, lagian mama dan papa kamu tidak akan pernah suka denganku, aku pulang ke rumah saja," tolak Bianca, kali ini ia lebih memikirkan perasaannya ketimbang keinginannya yang selalu ingin ada di sisi Kaivan.
Bianca tiba-tiba saja merasa takut dengan orang tua Kaivan, jika dulu ia senang atau mungkin terkesan tidak peduli dengan mereka yang tidak menyukai dirinya, sekarang ia lebih merasa takut sekaligus khawatir, Bianca menjadi takut dengan penolakan orang tua Kaivan terhadap dirinya.
"Tapi sepertinya, kamu memang harus ikut Bianca," ucap Kaivan dengan nada sedikit memaksa.
"Kenapa?" tanya Bianca yang dapat menangkap raut wajah kekhawatiran dari Kaivan.
"Jika kamu tidak ada di sana, kemungkinan kecil akan ada sesuatu yang membuat kita menjadi seperti di awal pernikahan,"