NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PAKET KILAT

Waktu: Rabu, 17 April 2019. Pukul 00.15 WIB.

Lokasi: Jalan Kaliurang KM 23, Lereng Gunung Merapi.

Kabut di Kaliurang tengah malam memiliki tekstur yang berbeda dengan kabut di Puncak Bogor atau Lembang. Di sini, kabut terasa lebih pekat, lebih dingin, sedingin napas gunung berapi yang sedang tidur.

Mobil Toyota Land Cruiser Hardtop tua berwarna hijau lumut itu menderu pelan, mendaki jalanan aspal yang berkelok menembus hutan pinus. Lampu sorot kuningnya membelah kabut tebal yang jarak pandangnya tak lebih dari lima meter.

Di dalam kabin, suasananya hening mencekam. Setir mobil berputar sendiri, dikendalikan oleh Karina dari Jakarta via satelit.

Fajar duduk di kursi penumpang sambil memeluk tas kameranya erat-erat, matanya liar menatap kegelapan hutan di luar jendela.

"Dit," bisik Fajar. "Lo yakin ini jalan ke safehouse? Ini lebih mirip jalan ke lokasi uji nyali. Kalau tiba-tiba ada Noni Belanda nyebrang, gue lompat keluar."

Aditya yang duduk di kursi pengemudi (hanya untuk berjaga-jaga) tersenyum tipis. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Efek adrenalin pasca-lompat dari kereta mulai habis, dan rasa sakit di rusuknya kembali datang dengan dendam.

"Kakek gue beli tanah di sini tahun 70-an bukan buat pemandangan, Jar," jawab Aditya. "Tapi buat privasi. Hantu lokal dan cerita seram adalah satpam terbaik. Nggak ada maling atau orang iseng yang berani naik ke sini lewat jam dua belas malam."

Mobil berbelok tajam ke kanan, masuk ke jalan tanah berbatu yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon beringin. Guncangan mobil membuat Aditya meringis menahan nyeri.

Di ujung jalan itu, berdiri sebuah bangunan yang membuat bulu kuduk berdiri.

Sebuah villa tua bergaya Indische Empire era kolonial. Temboknya tebal dan putih kusam, dipenuhi lumut hijau yang merambat seperti pembuluh darah. Jendela-jendelanya tinggi dan gelap. Atap limasannya menjulang angkuh di tengah kabut. Tidak ada lampu yang menyala.

"Rumah hantu," komentar Fajar. "Lo beneran anak orang kaya atau anak keluarga Addams?"

Mobil berhenti di depan pintu utama yang terbuat dari kayu jati raksasa yang tampak lapuk.

Aditya turun dari mobil. Udara dingin Kaliurang langsung menusuk tulang, tapi setidaknya udaranya bersih, jauh lebih baik dari bau apek gerbong kereta tadi.

Dia berjalan terpincang menuju pintu besar itu. Fajar mengikuti di belakangnya, menoleh kanan-kiri dengan waspada.

Aditya menempelkan telapak tangan kanannya ke permukaan kayu pintu yang kasar dan berjamur.

"Buka," perintahnya.

BIP-SCANNING.

Suara elektronik halus terdengar. Sebuah garis laser merah muncul dari sela-sela ukiran kayu, memindai retina dan struktur wajah Aditya.

KLAK. PSHHH.

Bukan suara engsel berkarat yang terdengar, melainkan suara mekanisme hidrolik berat. Pintu kayu tebal itu bergeser membuka dengan mulus.

Di dalamnya, lampu LED putih menyala otomatis secara berurutan, menerangi lorong panjang.

Fajar melongo.

Interior villa itu sama sekali tidak seperti luarnya. Tidak ada perabot antik berdebu atau lukisan seram. Dindingnya dilapisi beton ekspos dan panel peredam suara. Lantainya logam epoxy yang mengkilap. Di dinding, tergantung deretan monitor yang menampilkan data seismik Merapi dan peta digital Yogyakarta.

"Gila," bisik Fajar. "Luarnya rumah nenek sihir, dalemnya markas Avengers."

"Selamat datang di Kantor Cabang Yogya," kata Aditya, berjalan masuk menuju sebuah meja medis di sudut ruangan.

Dia langsung membuka laci, mengambil sebuah alat suntik otomatis (auto-injector) berisi cairan bening. Tanpa ragu, dia menempelkan alat itu ke lehernya dan menekan tombolnya.

CISSS.

Cairan painkiller dosis militer dan stimulan masuk ke aliran darahnya. Aditya menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak saat rasa sakit di rusuknya perlahan memudar, digantikan oleh fokus yang tajam.

"Lo make narkoba?" tanya Fajar kaget.

"Cuma painkiller campur kafein dan vitamin," jawab Aditya. "Gue butuh badan gue berfungsi 100% buat satu jam ke depan. Efek sampingnya nanti urusan belakangan."

Aditya berjalan ke panel dinding, menekan tombol interkom.

"Rin, status paket?"

Suara Karina terdengar dari speaker ruangan, bergema jernih dan tanpa delay.

*"ETA* satu menit, Mas. Drone Kargo 'Garuda Induk' sudah di atas koordinat villa. Minggir dari halaman belakang, anginnya bakal kenceng."

"Oke. Fajar, ikut gue ke belakang. Kita jemput senjata."

Mereka berdua berjalan ke halaman belakang villa yang luas dan berkabut. Rumputnya tinggi dan basah. Di tengah halaman, ada cat semprot putih membentuk huruf 'H'.

Aditya menyalakan sebuah flare inframerah dan meletakkannya di tengah tanda silang itu.

Suara dengungan rendah terdengar dari langit. Awalnya pelan, lalu makin keras seperti suara tawon raksasa. Angin kencang mulai bertiup, memutar kabut menjadi pusaran.

Fajar mendongak, menahan topinya agar tidak terbang. "Apaan tuh?"

Sebuah bentuk hitam besar turun menembus awan.

Itu adalah Drone Quadcopter raksasa—seukuran mobil city car—dengan empat baling-baling yang berputar kencang. Di bawah perutnya, tergantung sebuah peti logam hitam matte dengan logo Wiranagara Group yang menyala biru.

Drone itu mendarat dengan presisi militer. Kaki-kaki hidroliknya menyentuh rumput dengan lembut.

KLIK.

Peti logam itu terlepas. Drone itu langsung naik lagi, menderu menjauh, dan menghilang kembali ke dalam kabut malam seolah tidak pernah ada.

"Pengiriman ekspres dari Jakarta," suara Karina terdengar bangga. "Ongkirnya potong gaji Mas bulan depan ya. Mahal tuh avtur-nya."

"Amazon Prime versi lo gila banget, Dit," gumam Fajar takjub.

Aditya mendekati peti itu. Dia menempelkan jempolnya ke sensor biometrik. Peti terbuka dengan desis udara bertekanan. Uap dingin keluar dari dalamnya.

Di dalam peti itu, tertata rapi perlengkapan tempur sang Senja Garda yang baru.

Aditya mulai melakukan ritual gearing up-nya.

Dia melepas hoodie dan pakaian kotornya, menggantinya dengan Bodysuit Taktis baru berbahan serat karbon yang tahan gores dan tahan api. Dia memasang pelat-pelat Armor Nikel di dada, bahu, dan lengan—yang ini lebih ringan tapi lebih keras daripada yang hancur di kereta.

*Dia mengisi ulang sabuk utilitasnya: Smoke pellet, Flashbang, Explosive Gel*, dan kabel winch baru.

Terakhir, dia mengambil senjata utamanya.

Sebuah tabung logam hitam sepanjang 30 cm. Dia menekan tombolnya. SHING! Tabung itu memanjang menjadi tombak setinggi 1,5 meter. Ujungnya bukan keris biasa, tapi bilah Titanium-Meteorit yang ditempa ulang dengan teknologi laser.

Aditya memutar tombak itu di tangannya, merasakan keseimbangannya. Sempurna.

Dia menoleh ke Fajar yang masih bengong. Aditya mengambil sebuah Rompi Kevlar hitam dari peti dan melemparnya ke arah Fajar.

"Pake ini."

Fajar menangkapnya. "Buat apaan? Berat amat."

"Itu rompi anti-peluru level 3. Bisa nahan tembakan jarak dekat."

"Peluru?" wajah Fajar memucat. "Tunggu dulu... emang kita mau perang? Lawan kita kan setan, Dit. Setan nggak bawa pistol."

"Setan memang nggak bawa pistol," jawab Aditya dingin sambil memasang helm taktisnya. "Tapi tentara bayaran Bayangga bawa. Kita mau menyerbu benteng mereka, Jar. Dan mereka tidak akan menyambut kita dengan kembang melati."

Aditya menekan tombol di samping helmnya. Visor kaca turun menutupi matanya, menyala oranye dengan data HUD (Heads-Up Display).

"Karin, tampilkan peta taktis."

Sebuah hologram peta 3D Candi Prambanan muncul dari proyektor di meja peti.

"Situasinya buruk, Mas," lapor Karina. "Candi dikelilingi pagar betis ganda. Ring 1 dijaga satpam yang sudah dihipnotis. Ring 2 dijaga tentara bayaran bersenjata api. Dan di pelataran utama..."

Hologram itu menunjukkan titik merah besar yang berdenyut di tengah Candi Siwa.

"...Energi ungunya sudah memancar. Ritual pembukaan portal sudah 80%. Mas punya waktu kurang dari satu jam sebelum gerhana bulan total mencapai puncaknya."

"Kita tidak bisa lewat depan," analisis Aditya. "Terlalu terbuka."

"Kita lewat mana?" tanya Fajar, mulai memasang rompi kevlarnya dengan tangan gemetar.

"Jalur belakang. Taman Rusa," tunjuk Aditya di peta. "Penjagaannya paling tipis di sana. Kita masuk mode stealth."

Aditya menatap Fajar.

"Tugas lo cuma satu, Jar: Dokumentasikan semuanya. Ambil foto, rekam video. Kita butuh bukti kalau-kalau kita gagal malam ini. Dan kalau gue bilang lari... lo lari. Paham?"

"Paham," Fajar mengangguk, memegang kameranya yang lensanya sudah retak sedikit. "Tapi gue nggak bakal ninggalin lo, Dit."

"Gue harap lo nggak perlu melakukan itu."

Aditya menutup peti logam itu.

"Ayo. Waktu kita habis."

Mereka berdua berjalan kembali ke mobil Land Cruiser tua itu. Kabut Kaliurang semakin tebal, seolah alam pun takut melihat apa yang akan terjadi di bawah sana.

Mesin mobil menderu gahar, memecah keheningan malam.

Aditya memegang kemudi, merasakan getaran mesin yang merambat ke tangannya. Armor baru, tulang yang dipaksa sembuh, dan seorang jurnalis yang terlalu berani.

Komposisi tim yang sangat buruk untuk menyelamatkan dunia.

"Bismillah," bisik Fajar di sebelahnya.

Aditya menginjak gas. Mobil itu melesat turun dari lereng gunung, menuju medan perang terakhir di Candi Prambanan.

———————————————————

Ini Drone Quadcopter-nya guys:

Bonus lagi gambar peralatan tempur super canggih Adit:

1
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
Kustri
qu berharap kau menyelesaikan karyamu ini thor, wlu blm byk yg mampir, tetap semangat berkarya
Daniel Wijaya: Aamiin! Makasih banget doanya Kak 🥹 Justru karena ada pembaca setia kayak Kak Kustri, aku jadi makin semangat buat namatin cerita ini sampai akhir. Tenang aja, perjalanan Adit masih panjang! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!