NovelToon NovelToon
Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Suami Tak Berguna
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Rahm

Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi Buruk

Setelah Max selesai mengeringkan rambut Laura, keheningan menyelimuti kamar. Bukan keheningan yang canggung, tapi lebih seperti ketenangan yang sulit didapat oleh Laura selama ini.

Ia mengusap tangannya sendiri, menyadari betapa hangatnya dirinya sekarang, bukan hanya karena sentuhan Max yang tadi begitu lembut, tetapi juga karena perasaan aneh yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Max masih duduk di sofa, kakinya disilangkan santai, wajahnya sebagian tertutup oleh bayangan lampu tidur. Tatapannya tidak mendesak, tidak menuntut, hanya menunggu.

"Kamu sering bepergian?" tanya Laura, suaranya pelan.

Max mengangguk. "Ya. Sering."

"Kenapa?"

Max menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Karena aku bisa."

Laura hampir tertawa mendengar jawaban sesingkat itu. "Itu alasan yang sederhana."

Max mengangkat bahu. "Hidup seharusnya sederhana. Kita yang membuatnya rumit."

Laura terdiam. Kata-kata Max menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya. Hidupnya tidak pernah sederhana. Sejak kecil, ia sudah dibentuk untuk mengikuti keinginan orang lain. Pernikahannya pun bukan tentang dirinya—ia adalah istri Nicholas, bukan Laura.

Seakan membaca pikirannya, Max bertanya dengan suara tenang, "Apa yang paling ingin kamu lakukan, jika tak ada yang menghalangimu?"

Laura membuka mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Ia tidak tahu. Kapan terakhir kali ia berpikir tentang keinginannya sendiri?

"Aku..." Laura menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu."

Max menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, "Pikirkan. Kamu akan menemukan jawabannya."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Max masih duduk di sofa, sementara Laura perlahan merebahkan dirinya di tempat tidur. Ia tidak berniat tidur, hanya ingin berbaring sejenak.

Matanya menatap langit-langit, mengulang pertanyaan yang dilontarkan Max sebelumnya. Apa yang paling ingin ia lakukan jika tak ada yang menghalanginya?

Jawabannya tetap sama—ia tidak tahu.

Sementara itu, Max masih duduk dalam posisi santai, mengamati ekspresi Laura yang perlahan melembut. Kelopak matanya mulai menutup, napasnya melambat. Sepertinya tubuhnya akhirnya menyerah pada kelelahan yang telah menumpuk sekian lama.

Max memperhatikannya dalam keheningan. Ada sesuatu yang begitu rapuh dalam cara Laura tidur—seakan-akan ia sedang berlindung, bukan beristirahat.

Dan saat itulah, ketenangan itu hancur.

Laura mulai bergerak gelisah di tempat tidur, alisnya berkerut, bibirnya sedikit terbuka seakan ingin berteriak. Napasnya berubah pendek dan tergesa.

Max menegakkan tubuhnya. "Laura?" panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

Laura masih terjebak dalam mimpi buruknya.

---

Gelap.

Laura berdiri di tengah ruangan tanpa dinding, tanpa batas. Segalanya kosong, kecuali dua sosok di depannya—seorang wanita dewasa dan seorang remaja.

Wanita itu tinggi, anggun, dan penuh wibawa, dengan sorot mata dingin yang penuh dengan penilaian tajam. Di sisinya, remaja perempuan itu menatap Laura dengan ekspresi penuh kebencian.

"Kamu pikir bisa bahagia?" suara wanita itu mengalun tajam, menusuk hingga ke tulang.

Laura ingin menjawab, tapi tenggorokannya kering.

Remaja itu tertawa sinis. "Kamu tidak pantas untuk itu."

Laura menggeleng, mencoba membantah meski tidak tahu harus berkata apa.

"Hidupmu akan selalu kosong."

"Kesepian akan selalu menjadi temanmu."

"Kamu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya."

Kata-kata itu berputar di sekelilingnya seperti gema yang tak berkesudahan. Suara mereka semakin tajam, menusuk masuk ke dalam kepalanya, membuatnya ingin berteriak.

"Berhenti..." suara Laura hampir tak terdengar.

Tapi mereka terus tertawa. Terus memaki. Terus mengutuk.

Max langsung bergerak begitu Laura menggeliat keras dan mengeluarkan suara lirih yang nyaris seperti isakan tertahan.

"Laura." Ia menyentuh bahunya, mengguncangnya sedikit.

Tiba-tiba, Laura tersentak bangun.

Ia terduduk dengan napas memburu, matanya membelalak, keringat membasahi pelipisnya. Tangannya mencengkeram selimut dengan erat seakan takut kehilangan pegangan.

Max tidak langsung berbicara. Ia memberinya ruang, membiarkan kesadarannya kembali perlahan.

Butuh beberapa detik sebelum Laura sadar di mana ia berada. Bahunya masih naik-turun saat ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Max tidak bertanya. Ia hanya menatapnya, matanya penuh dengan pemahaman yang tidak memerlukan kata-kata.

Laura akhirnya menoleh ke arahnya. "Aku..." suaranya serak, tapi ia tidak tahu harus berkata apa.

Max tetap diam, menunggu.

Setelah beberapa saat, Laura mengalihkan pandangannya ke bawah. Tangannya masih gemetar.

"Aku selalu mengalami mimpi itu." suaranya hampir berbisik.

Max menunggu, tidak memaksanya untuk melanjutkan jika ia tidak mau.

Tapi kali ini, Laura ingin berbicara.

"Mereka selalu mengatakan aku tidak akan pernah bahagia."

Matanya bertemu dengan Max, seolah mencari sesuatu dalam tatapannya.

Dan untuk pertama kalinya, Max berbicara, "Apakah kamu percaya?"

Laura tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu.

Dan itulah yang paling menakutkan.

Max masih menatap Laura, melihat ketakutan yang masih tersisa di matanya. Napasnya sudah mulai stabil, tapi tangannya masih sedikit gemetar.

Tanpa berkata apa-apa, Max mengambil gelas air di nakas dan menyodorkannya pada Laura. "Minum dulu."

Laura menerimanya tanpa protes, meneguk air itu perlahan. Rasa dinginnya sedikit membantu menenangkan tubuhnya.

Setelah beberapa saat, Max akhirnya berbicara. "Jadi… mimpi itu datang lagi?"

Laura tidak langsung menjawab. Ia meletakkan gelas kosongnya di pangkuan, menatap lurus ke depan. "Selalu. Kata-kata mereka selalu sama."

Max mengamati ekspresinya. "Dan kamu percaya pada mereka?"

Laura menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu." Ia menundukkan kepala. "Mungkin iya. Kalau tidak, kenapa mereka terus menghantuiku?"

Max mendesah pelan, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Mungkin karena kamu masih membiarkan mereka ada di kepalamu."

Laura menoleh, mengerutkan kening. "Maksudmu?"

Max menatapnya serius. "Mereka tidak nyata, Laura. Tapi kamu terus memberikan mereka tempat. Kamu membiarkan suara mereka tumbuh di dalam kepalamu, sampai akhirnya kamu percaya kalau mereka benar."

"Mereka nyata, Max, aku mengenalnya," gumam Laura.

Max terdiam sejenak, kemudian berkata, "kamu tidak harus mempercayainya. Buktikan kalau mereka tidak benar."

Laura diam. Kata-kata Max entah kenapa terasa menusuk, seolah langsung menembus pertahanannya.

Melihatnya terdiam, Max melanjutkan. "Mereka bilang kamu tidak akan bahagia. Tapi lihat dirimu sekarang."

Laura mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Max menyeringai tipis. "Kamu di sini, Lau. Kamu bertahan. Kamu hidup. Kalau kamu benar-benar ditakdirkan untuk kesepian dan kehampaan, kamu tidak akan ada di sini sekarang."

Laura menatapnya tanpa berkedip.

"Dan kalau mereka bilang kamu tidak pantas bahagia…" Max mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Maka aku akan membuktikan kalau mereka salah."

Jantung Laura berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Max tersenyum kecil, ekspresinya lebih lembut. "Sekarang tidurlah lagi. Aku akan tetap di sini sampai kamu tertidur."

Laura menggeleng. "Aku takut mimpi itu datang lagi."

"Kalau begitu, kali ini aku yang akan menjagamu."

Laura menatapnya ragu, tapi tatapan Max begitu meyakinkan. Akhirnya, ia kembali merebahkan diri, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.

Max tetap di tempatnya, diam-diam mengawasinya.

"Max?" suara Laura pelan.

"Hm?"

"Terima kasih."

Max tersenyum kecil. "Kapan pun."

"Max."

"Ya."

"Mereka... Ibu dan saudari tiriku."

Max terdiam. Tidak menanggapi.

Tak butuh waktu lama sebelum napas Laura kembali tenang, matanya perlahan tertutup.

Kali ini, tanpa mimpi buruk yang menghantuinya.

1
lyani
bang iky...vote nya k lau aja y ....elara ngga usah?
lyani
semoga max tak jauh beda dengan Nic.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
lyani
korban lagi... kalian mgkn senasib
lyani
nahhhh betul
lyani
paman Robert bukan si yg nyuruh
lyani
pasti
lyani
nahhhh
lyani
sdh menduga ada org dibalik max....nah siapakah?
lyani
ahhhh akhirnya setelah sekian lama terlihat
lyani
nahhhh betul
lyani
kesalahan Laura saat memegang perusahaan sepertinya Krn jebakan
lyani
hati2 dengan dokumen lau
lyani
max ini teman kecil Laura mgkn?
lyani
betul
lyani
ooooooooooo
lyani
max....mata2 ayah Laura kali.....maximal bener penasarannya dahhhhhhh
lyani
seila dan ibunya?
lyani
msh seribu tanya....
lyani
hidup si pilihan lau...
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
lyani
meninggalnya ortu Nic ada hubungannya dengan ortu Laura atau mungkin dengan Laura sendiri ngga si?
malangnya Laura
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!