Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Para Pawang Tanah Merah
“WARGA DESA GUNUNG JATI, HARAP KELUAR DARI TEMPAT PERSEMBUNYIAN. INI ADALAH OPERASI RESMI DARI THE VAULT. KAMI DATANG UNTUK EVAKUASI DAN PENILAIAN KONDISI SIPIL.”
Suara menggelegar dari alat pengeras yang dipasang di badan kendaraan taktis lapis baja itu menggema di sepanjang jalan berbatu desa. Lampu sorot putih menyapu lereng-lereng sunyi yang hanya menyisakan bayang-bayang pohon damar dan reruntuhan rumah kayu.
Taki Dirgantara berdiri di atas kendaraan utama, masih mengenakan jubah hitamnya dengan aksen emas yang berkibar pelan tertiup angin. Topeng wajahnya memantulkan cahaya bulan. Di sampingnya, Agent Rizaldi, pria berambut cepak dengan pelindung dada tempur dan senjata plasma non-mematikan, menatap layar data biometrik yang terhubung ke alat deteksi spiritual.
“Fluktuasi energi naik drastis dari arah timur laut desa,” gumam Rizaldi. “Bisa jadi sumber residual dari kebangkitan entitas... atau pergerakan Para Pawang.”
Taki menanggapi dengan tenang, “Kita bersihkan satu per satu. Tapi prioritaskan warga sipil dulu.”
Ia melompat turun dari kendaraan. Kaki botnya menjejak tanah becek yang masih dilumuri aroma dupa dan tanah terbakar.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah salah satu rumah tua yang masih berdiri utuh.
Sasmita muncul lebih dulu—tanpa trench coat maroon-nya, hanya mengenakan tanktop hitam dan celana taktikal. Tangan kanannya masih menggenggam senjata, meski tidak langsung diarahkan. Tatapannya siaga.
Di belakangnya menyusul Ningsih dan Uwa Dargo, lalu Yama dengan kacamata night-vision tergantung di leher dan koper logam di tangan kirinya.
Mereka semua berhenti begitu mata mereka menatap sosok Taki yang berdiri di bawah sorot lampu, tampak seperti bayangan setengah dewa, setengah hantu. Topeng logamnya menyembunyikan ekspresi, tapi auranya tidak bisa disembunyikan—ia memancarkan kekuatan yang sunyi, namun mendalam.
“Siapa dia...” desis Sasmita rendah.
Yama mengerutkan dahi. “Dia bukan penduduk sini. Bukan pemburu juga. Tapi bukan sembarang aparat.”
Uwa Dargo menggenggam tasbih di tangannya lebih erat, seperti baru melihat manifestasi dari makhluk alam lain. “Gemetar hawa-nya... kayak orang yang pernah ke alam gaib dan kembali tanpa luka.”
Ningsih justru terpaku. Ada sesuatu dalam sosok pria bertopeng itu yang membuat tengkuknya dingin. Bukan karena takut—tapi karena perasaan aneh seperti deja vu. Seolah mereka pernah bertemu. Atau mungkin, akan bertemu dalam mimpi yang belum terjadi.
Lalu suara Taki memecah keheningan.
“Ada yang bisa menjelaskan situasi di sini?” suaranya jernih dan tegas, tanpa nada dominan.
Sasmita menajamkan pandangannya. “Tergantung. Kamu siapa dulu?”
Rizaldi yang menjawab, melangkah maju, menyodorkan lencana holografik The Vault yang berkedip-kedip. “Operasi pengamanan supernatural. Kami mendapat sinyal entitas bangkit dari jaringan spiritual Pulau Jawa. Kamu siapa?”
Sasmita tidak langsung menjawab. Tapi ia menurunkan senjatanya. “Yang jelas bukan warga biasa. Dan kami di sini lebih dulu.”
Yama ikut menengahi, nada bicaranya tenang tapi tajam. “Kalau The Vault benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, mereka harus tahu... ini bukan sekadar pergerakan makhluk gaib. Ini awal dari sesuatu yang lebih besar. Kalian siap dengan itu?”
Taki menatap mereka satu per satu—dan akhirnya bicara. “Itulah kenapa aku di sini.”
Dan untuk sesaat, keempat orang yang sebelumnya seperti keping dari kisah yang berbeda, kini berdiri dalam satu bingkai. Dihadapkan oleh gelap yang sama, dan perlahan mulai menerima bahwa mereka—mau tidak mau—sedang menuju medan perang yang tak bisa dimenangkan sendirian.
Belum sempat ketegangan antara kelompok kecil itu mencair, ledakan tanah dan kabut merah meledak dari arah barat desa. Jeritan warga terdengar membelah udara. Salah satu kendaraan The Vault terguling dan terpental ke sawah, terbakar. Api menjilat langit malam.
“SERANGAN! JAM TIGA!” teriak Agent Rizaldi sambil mengaktifkan tameng energi di lengan kirinya.
Taki seketika memutar tubuhnya ke arah ledakan, lengan kirinya membentang, dan dari sarung tangannya memancar garis-garis simbol bercahaya seperti rangkaian mantra kuno. “Field Aegis! Lindungi jalur evakuasi!”
Di tengah ladang yang mulai membara, sosok-sosok berjubah tanah dengan wajah berlumur lumpur berdiri tak bergerak. Mata mereka menyala merah bata, dan jari-jarinya panjang, seperti akar yang bergerak sendiri.
Para Pawang Tanah Merah.
Tanpa peringatan, satu di antara mereka mencambukkan tongkat dari kayu jati raksasa ke arah barisan agen The Vault. Tanah retak dan meledak, menelan dua agen ke dalam kubangan merah yang mendidih.
Sasmita bergerak cepat. Ia menyambar senjatanya dan menyalakan rune pelindung yang tertanam di gagang. Dengan satu gerakan lompat, dia menembakkan peluru mantra ke arah dada salah satu pawang. Dentuman keras dan semburan cahaya membakar sebagian jubahnya, tapi makhluk itu tidak tumbang. Justru berbalik, melempar proyektil tulang manusia yang menancap di bahu Sasmita.
“AARGH!” ia meringis, namun tidak mundur.
Yama menurunkan koper logamnya dan membuka tutupnya dengan kode genetis. Di dalamnya berjejer vial berisi cairan pekat. Ia menyuntikkan dua dosis sekaligus ke pembuluh darah di lehernya, dan tubuhnya seketika berderak—ototnya memanjang, kulit tangannya menghitam, berubah menjadi cakar dengan otot berkedut ganas.
“Aku benci makhluk yang main kotor begini...” geramnya, lalu melompat ke arah satu pawang dan menerkamnya dengan kekuatan penuh. Tanah bergetar saat tubuh mereka berbenturan.
Taki, masih di tengah barisan, menggambar simbol di udara dengan jari-jarinya. “Mantra Vokal: Pembelah Bayangan.”
Seketika, gelombang suara berbentuk belati transparan menyapu ke arah para pawang, memotong kabut merah dan membuat beberapa dari mereka terdorong mundur. Namun lebih banyak lagi muncul dari balik ladang, seperti tanaman yang tumbuh dari duka dan darah.
“Mereka regenerasi dari tanah yang dikutuk,” ucap Rizaldi sambil memindai data dari lensa matanya. “Mereka bukan manusia biasa... ini sintesis antara dukun dan tanah keramat.”
“Tahan mereka!” teriak Taki. “Evakuasi tetap jalan! Jangan biarkan satupun warga tertinggal!”
Ningsih, yang berdiri di ambang rumah Uwa Dargo, menatap kengerian itu dengan lutut gemetar. Namun tangan Uwa Dargo mencengkeram pundaknya kuat.
“Sekarang kamu lihat, Nak... kenapa mereka datang ke sini. Ini bukan perang kecil. Ini warisan yang kau bawa.”
Dan dari balik kerumunan warga yang mencoba lari ke pesawat The Vault, suara-suara asing mulai muncul dari bawah tanah: ratapan, tertawa lirih, bahkan suara gamelan jauh... mengiringi kekacauan yang baru saja dimulai.