Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rapat Eksekutif
Rapat darurat itu dimulai jauh lebih cepat dari perkiraan siapa pun. Gema baru saja selesai mengirim panggilan rapat ketika notifikasi dari seluruh divisi berdentangan hampir bersamaan—para manajer langsung bergegas menuju ruang rapat utama di lantai eksekutif. Semua orang tahu: kalau Liam sudah meminta rapat mendadak, itu bukan hal yang bisa ditunda.
Ruang rapat itu besar, modern, seluruh dindingnya kaca dengan pemandangan kota. Namun pagi itu, suasananya terasa penuh tekanan. Para manajer duduk dengan raut hati-hati, beberapa masih membawa berkas. Mereka tahu agenda utamanya: membahas kandidat sekretaris sementara Presiden Direktur.
Liam masuk terakhir. Pintu otomatis terbuka, dan ia melangkah masuk tanpa ekspresi, hanya mengangguk tipis pada semua orang. Sikapnya tenang, tetapi semua yang pernah bekerja dengannya tahu—ketenangan Liam adalah tanda ia sedang berada dalam mode paling kritis.
“Baik,” ucap Liam sambil duduk di kursinya, merapikan kemeja yang baru dipakainya hari itu. “Kita mulai.”
Suara kertas dibalik. Gema duduk di sisi kanan Liam, siap dengan laptop dan laporan HR.
“Kita sudah menerima tujuh kandidat untuk posisi sekretaris sementara,” jelas Gema. “HR sudah melakukan penyaringan, dan hari ini kita review hasil evaluasi final—termasuk penilaian interview.”
Liam mengangguk kecil tanpa menatap siapa pun. “Jelaskan secara ringkas. Saya tidak ingin bertele-tele.”
Gema memulai.
“Baik, kandidat pertama: staf keuangan. Hasil cukup baik, namun kurang pengalaman administratif. Kemampuan multitasking rendah.”
“Next,” potong Liam cepat.
“Kandidat kedua: dari divisi legal. Skill administrasi memadai, tapi tidak siap bekerja dengan ritme tinggi. Ia mengaku tidak sanggup lembur.”
Liam hanya mengangkat alis tipis. Semua orang tahu lembur adalah nafas sehari-hari posisi itu.
“Kandidat tiga sampai lima: hasilnya serupa. Kompeten, tapi tidak memenuhi standar ritme kerja level eksekutif.”
Beberapa manajer saling pandang—mereka tahu standar Liam bukan standar manusia biasa.
Gema melanjutkan.
“Kandidat keenam… cukup kuat. Tetapi ia tidak mampu menjawab pertanyaan terkait koordinasi lintas divisi. HR memberi nilai borderline.”
Liam menatap semua berkas tanpa minat. “Kandidat ketujuh?”
Seketika ruangan hening.
Para manajer tahu siapa kandidat terakhir itu.
Anna.
Liam menatap Gema, sorot matanya sudah jelas: tidak suka. Namun ia tidak menghentikan laporan.
Gema menarik napas, membuka halaman terakhir.
“Kandidat ketujuh: Anna Pratiwi. Mahasiswa magang dari Divisi Strategic.”
Beberapa manajer berdeham kecil, tetapi diam.
“Nilai administrasi: sempurna. Nilai tes ketelitian: tertinggi dari seluruh kandidat. Nilai komunikasi: sangat baik. Penilaian karakter: stabil, berorientasi solusi, dan cepat belajar.”
Liam menggerakkan jarinya di atas meja, ritme yang menandakan ia tidak senang.
Gema menatap layar. “Dan untuk hasil interview… nilainya paling tinggi.”
Seisi ruangan menunggu reaksi Liam.
Namun Liam hanya berkata datar, “Saya ingin mendengar evaluasi para manajer.”
Manajer divisi pertama—Rafli dari HRD—mengangkat tangan.
“Berkaca dari hasil asesmen, Anna memang kandidat paling unggul. Kelemahannya hanya satu: jam terbang. Tapi itu wajar karena dia magang. Secara kompetensi, dia mengalahkan karyawan tetap.”
Manajer Legal menyusul. “Saya setuju. Jawaban interview-nya sangat sistematis. Kemampuan literasinya di atas rata-rata.”
Manajer Keuangan menambahkan, “Posisi sekretaris bukan soal senioritas, tapi ketajaman koordinasi. Dari struktur laporan, Anna yang paling cepat menyerap pola kerja lintas divisi.”
Manajer IT bersandar ke belakang. “Saya lihat rekam administrasinya. Rapi. Nyaris tanpa error.”
Beberapa manajer lain mengangguk.
Dan perlahan, pandangan mereka beralih ke Liam—yang wajahnya tetap kosong, tetapi matanya meruncing.
“Baik,” ucap Liam akhirnya, suaranya dingin. “Semua orang sudah bicara. Sekarang saya ingin tahu… apakah ada yang keberatan jika kita memilih seorang anak magang menjadi sekretaris sementara Presiden Direktur perusahaan sebesar ini?”
Ia sengaja menekankan kata anak magang.
Semua menegang.
Gema merasakan hawa dingin dari nada itu, tetapi ia tetap mengangkat suara.
“Pak, kadang kemampuan seseorang memang tidak bergantung pada senioritas. Kita juga menerapkan sistem nondiskriminasi. Dan evaluasi objektif menunjukkan bahwa Anna—”
Liam mengangkat tangan, membuat Gema terdiam.
“Gema. Saya paham semua laporan. Tapi saya ingin memastikan: Anda, dan semua manajer di ruangan ini, benar-benar yakin?”
Manajer HRD bicara dengan lebih tegas kali ini. “Kami yakin, Pak. Kalau pun ada risiko, tingkatnya paling rendah dibanding kandidat lain.”
Satu per satu manajer mengangguk.
Minim ragu.
Liam memandang ke arah meja, mendengarkan tanpa bersuara. Beberapa detik terasa seperti menit. Semua orang menahan napas, menunggu keputusan.
Liam akhirnya berbicara.
“Sebelum saya mengambil keputusan, saya ingin tahu satu hal.” Ia menatap langsung para manajer. “Apakah ini penilaian objektif, atau kalian hanya ingin posisi ini cepat terisi?”
Manajer Strategic—atasan magang Anna—menjawab.
“Ini murni objektif, Pak. Saya tidak punya kepentingan apa pun. Tapi saya melihat sendiri kemampuan gadis itu. Dalam satu bulan ia sudah bekerja setara staf junior. Dan selama dua minggu terakhir, performanya meningkat.”
“Dipengaruhi siapa?” Liam menekan.
“Tidak ada yang memengaruhi, Pak,” jawabnya jujur. “Dia memang seperti itu.”
Ruang rapat kembali hening.
Liam mengetuk meja pelan, tanda ia sedang menimbang.
“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan mempertimbangkan rekomendasi kalian. Tapi saya ingin penjelasan lebih detail tentang hasil interview terakhir.”
Gema segera menampilkan rekapan jawaban Anna di layar besar. Ruangan menjadi gelap sebentar ketika layar aktif.
Semua melihat bagaimana Anna menjawab pertanyaan sulit. Menjelaskan alur kerja eksekutif, protokol rapat direksi, manajemen krisis, bahkan kebijakan eskalasi yang biasanya hanya dipahami staf senior.
Jawabannya runtut, logis, dan tenang.
Beberapa manajer terlihat terkesan ulang meski mereka sudah melihat laporan sebelumnya.
Liam menyilangkan tangan.
“Pertanyaan paling berat sudah saya berikan,” katanya pelan. “Dan dia menjawab.”
Nada itu pelan, tapi bagi para manajer: itu pengakuan.
“Pak,” ucap manajer HRD sekali lagi, “kami merekomendasikan Anna sebagai kandidat nomor satu.”
“Dia memang magang,” tambah manajer Legal. “Tapi magangnya juga bukan sembarang magang.”
“Kalau kita bicara kompetensi,” manajer Keuangan menegaskan, “dia unggul.”
Liam memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi.
“Baik,” katanya akhirnya. “Kalau begitu… saya tanya sesuatu yang berbeda.”
Semua menatapnya.
“Apakah dia mampu bertahan bekerja langsung dengan saya?”
Sebuah pertanyaan yang tidak mudah.
Karena semua tahu bekerja dengan Liam ibarat berenang di arus deras sambil membawa beban batu.
Manajer Strategic menjawab yang pertama.
“Kalau soal itu, Pak… saya belum tahu. Tapi saya tahu satu hal: gadis itu tidak mudah mundur.”
“Dia tidak mudah menyerah,” tambah Gema.
Liam menatap Gema tajam. “Anda tampak terlalu membelanya.”
“Tidak, Pak,” kata Gema tenang. “Saya membela sistem penilaian.”
Ruang itu kembali hening.
Liam akhirnya bersandar, menautkan jari-jari, dan berkata pelan tapi tegas:
“Baik. Kalau seluruh divisi menilai dia yang terbaik… saya tidak punya alasan menolak.”
Beberapa manajer mengangguk lega.
Namun Liam belum selesai.
“Tapi saya akan menetapkan masa uji coba tiga hari. Jika dia gagal, kita cari kandidat lain.”
Suara Liam berubah tajam.
“Tidak ada toleransi.”
“Baik, Pak,” jawab semua serempak.
Gema mencatat cepat. “Saya sampaikan keputusan ini ke HR?”
“Ya,” jawab Liam. “Dan siapkan berkas kontraknya.”
Para manajer berdiri bersamaan, membungkuk sopan. Rapat ditutup.
Namun sebelum semua keluar, Liam menambahkan satu kalimat terakhir—pendek, tapi cukup membuat Gema mengerti bahwa Liam belum sepenuhnya menerima keadaan.
“Saya harap kalian tidak salah.”
Lalu ia bangkit dan keluar tanpa menoleh.
Dan seluruh ruang rapat tahu—
Keputusan sudah diambil.
Namun dinamika baru saja dimulai.