Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan di Malam Sunyi
Sebuah batuk.
Kering, serak, dan begitu dekat hingga terasa seperti goresan kuku di gendang telinga mereka.
Jantung berhenti.
Darah membeku.
Dunia menyempit menjadi satu suara parau itu, lahir dari kegelapan yang sama pekatnya dengan ketakutan mereka.
Han Qiu tidak bergerak, setiap otot di tubuhnya terkunci dalam antisipasi yang menyakitkan. Di sampingnya, ia bisa mendengar derak gigi Li yang saling beradu. Napas kasim muda itu tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi siulan tipis penuh teror.
Sialan. Gagal total. Bahkan belum sampai lima langkah. Pikirannya berteriak. Ini pasti penjaga. Atau mata-mata Gao. Atau hantu penjaga pintu yang kesal karena engselnya berkarat.
Dari bayang-bayang di dekat tumpukan karung goni, sesosok tubuh perlahan bangkit. Bukan sosok tegap seorang prajurit, melainkan siluet bungkuk yang diselimuti kain compang-camping. Sosok itu terhuyung-huyung maju selangkah ke dalam seberkas cahaya bulan yang tipis, memperlihatkan wajah keriput seorang pengemis tua, matanya yang keruh menatap kosong ke arah mereka.
"Punya... punya sekeping tembaga?" racaunya, suaranya serak karena dahaga dan keputusasaan. "Untuk semangkuk... bubur..."
Han Qiu nyaris tertawa karena lega, tetapi yang keluar hanyalah embusan napas gemetar. Li, di sisinya, merosot seperti boneka kain yang talinya putus, bersandar ke dinding istana yang dingin seolah-olah tembok itu adalah satu-satunya hal yang menahannya dari pingsan.
Tanpa berpikir, Han Qiu merogoh kantongnya, mengambil koin tembaga terkecil yang ia miliki, dan meletakkannya di telapak tangan keriput si pengemis. Pria tua itu bergumam tidak jelas, membungkuk, lalu kembali menghilang ke dalam kegelapan tempat ia berasal, batuknya yang menyedihkan perlahan menjauh.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, kini terasa lebih berat, lebih sarat makna.
"Kita... kita hampir..." Li tergagap, suaranya serak. Ia menekan tangannya ke dada, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berpacu liar. "Aku tidak bisa. Xiao Lu, aku tidak bisa melakukan ini. Ini gila. Kita akan mati."
"Kita tidak akan mati," balas Han Qiu, suaranya rendah namun tegas. Ia menarik lengan Li, memaksanya untuk berdiri tegak. "Itu tadi hanya pengemis. Sekarang ayo jalan, sebelum penjaga yang sebenarnya muncul."
Ia mulai berjalan menyusuri gang sempit yang diapit oleh dinding istana di satu sisi dan rumah-rumah kayu kumuh di sisi lain. Tapi Li tidak mengikutinya. Han Qiu berbalik dan mendapati kasim itu masih berdiri mematung, wajahnya pucat di bawah cahaya bulan.
"Li?"
"Kenapa?" bisik Li, pertanyaannya melayang di udara malam yang dingin. "Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu... nyawaku... hanya untuk... untuk rasa?"
Han Qiu berhenti. Ini bukan saatnya untuk perdebatan filosofis. Tapi ia melihat getaran di tangan Li, keputusasaan yang tulus di matanya. Ini bukan sekadar rasa takut; ini adalah krisis eksistensial seorang kasim muda yang terjebak dalam misi sate bunuh diri.
"Karena Kaisar membutuhkannya," jawab Han Qiu sederhana. "Karena tidak ada orang yang pantas hidup hanya dengan memakan kesedihan yang direbus."
Li tertawa.
Bukan tawa geli, tapi tawa kering dan getir yang penuh dengan kepahitan.
"Kesedihan yang direbus... kau bahkan tidak tahu separuhnya, Xiao Lu."
Ia melangkah mendekat, matanya yang biasanya penuh ketakutan kini berkilat dengan sejenis amarah yang telah lama terpendam.
"Selama sepuluh tahun aku hidup di istana itu. Sepuluh tahun. Sejak aku masih anak-laki-laki. Dan selama sepuluh tahun itu, setiap hari, aku memakan dendam. Kau tahu seperti apa rasanya dendam?"
Han Qiu hanya diam, mendengarkan.
"Rasanya seperti bubur Chef Gao. Hambar di permukaan, tetapi di bawahnya ada rasa dingin yang membekukan lidahmu. Itu bukan makanan. Itu adalah pernyataan. Pernyataan bahwa kegembiraan itu kotor. Bahwa kenangan itu tidak murni. Bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah kontaminasi yang harus disterilkan."
Napasnya terengah-engah, kata-kata itu tumpah darinya seperti bendungan yang akhirnya jebol.
"Aku benci makanannya, Xiao Lu. Aku membencinya dengan segenap jiwa ragaku. Setiap suap terasa seperti menelan sepotong es yang diukir dari batu nisan. Makanan itu membuatku lupa rasa roti hangat yang pernah dibuat ibuku. Makanan itu membuatku lupa manisnya buah pir pertama yang kucuri dari pohon tetangga. Makanan itu... membunuh sesuatu di dalam diriku, sedikit demi sedikit, setiap hari."
Ia berhenti, menatap Han Qiu lekat-lekat.
"Lalu kau datang. Dengan kerak hitammu. Dengan kaldu rahasiamu. Dengan kegilaanmu. Saat aku melihat Kaisar memakan setengah mangkuk buburmu, aku tidak hanya melihat secercah harapan untuknya. Aku melihatnya untuk diriku sendiri."
Suaranya pecah.
"Aku membantumu bukan karena aku berani. Aku ini pengecut paling besar di seluruh Kota Terlarang. Aku membantumu... karena aku melihat kejujuran di matamu. Kejujuran yang sama yang ada pada semangkuk mi panas di pinggir jalan. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak meminta maaf atas keberadaannya. Sesuatu yang... hidup."
Pengakuan itu menggantung di antara mereka, lebih nyata daripada tembok istana, lebih berat daripada ancaman Chef Gao. Untuk pertama kalinya, Han Qiu tidak melihat Li sebagai sekutu yang penakut atau alat untuk mencapai tujuannya. Ia melihat seorang kawan seperjuangan. Seorang korban lain dari tirani rasa.
"Kehidupan itu berantakan, Li," kata Han Qiu pelan, suaranya melembut. "Penuh rasa, dan terkadang sedikit gosong di pinggirnya. Dan itu tidak apa-apa."
Li mengangguk pelan, menyeka sudut matanya dengan punggung tangannya yang kotor. Sebuah ikatan baru terbentuk di antara mereka di gang yang bau itu, diperkuat oleh kebencian bersama terhadap bubur bening dan kerinduan akan sesuatu yang otentik.
"Tapi kau harus tahu," lanjut Li, nadanya kembali serius saat mereka mulai berjalan lagi, kali ini berdampingan. "Ini bukan hanya soal filosofi makanan. Bukan hanya soal kemurnian."
"Maksudmu?"
"Chef Gao. Dia tidak mempertahankan kekuasaannya hanya karena dia benci bawang putih. Ada yang lebih dari itu," Li berbisik, melirik ke belakang seolah Gao bisa muncul dari bayang-bayang kapan saja. "Dengan mengontrol apa yang masuk ke perut Kaisar, dia mengontrol kesehatan Kaisar. Dengan mengontrol kesehatan Kaisar, dia mengontrol suasana hati Kaisar. Dan dengan mengontrol suasana hati Kaisar... dia punya pengaruh atas keputusan-keputusan penting di istana. Makanan adalah senjata politiknya, Xiao Lu. Dan kau baru saja mencoba merebut senjata itu darinya."
Peringatan itu meresap ke dalam benak Han Qiu. Tentu saja. Ini bukan sekadar perang antara si gurih dan si hambar. Ini adalah permainan kekuasaan. Gao bukan hanya seorang koki tiran; dia adalah seorang politisi yang menggunakan spatula sebagai tongkat kekuasaannya. Hal itu membuat misi mereka terasa jauh lebih berbahaya, dan jauh lebih penting.
Mereka terus berjalan dalam diam, menjauhi cahaya samar dari lentera istana, masuk lebih dalam ke labirin jalanan kota yang gelap. Udara berubah. Aroma bunga melati dan kayu cendana yang terawat digantikan oleh bau tanah basah, sampah yang membusuk, dan kemiskinan yang menusuk hidung. Inilah dunia nyata. Kotor, jujur, dan penuh dengan bahan-bahan yang diimpikan Han Qiu.
Setelah berjalan hampir setengah jam, mengikuti petunjuk samar dari seorang tukang cuci tua, mereka tiba di sebuah area di pinggiran kota. Di sini, rumah-rumah tampak lebih reyot, jalanan tidak beraspal, dan kegelapannya nyaris total. Namun, di kejauhan, terlihat secercah kehidupan. Beberapa lentera minyak yang berkelip-kelip digantung di tiang-tiang kayu, menerangi kerumunan orang yang mulai berkumpul. Suara bisik-bisik dan tawar-menawar pelan mulai terdengar.
Pasar gelap.
Jantung Han Qiu berdebar karena antisipasi. Ini dia. Medan pertempurannya.
"Kita harus hati-hati," bisik Li, menarik ujung lengan baju Han Qiu. "Tetap dekat denganku. Jangan bicara dengan siapa pun kecuali perlu. Dan jangan tatap mata siapa pun terlalu lama."
Mereka menemukan sebuah ceruk gelap di antara dua warung yang belum buka, tempat yang sempurna untuk mengamati tanpa terlihat. Dari sana, mereka bisa melihat para pedagang mulai menggelar dagangan mereka di atas tikar jerami: sayuran layu, potongan daging yang meragukan, dan karung-karung goni berisi biji-bijian. Di sinilah ia akan menemukan senjatanya. Kacang tanah.
Han Qiu sedang memindai kerumunan, matanya menyipit, mencoba mengidentifikasi pedagang kacang yang paling bisa dipercaya, ketika sebuah suara yang dalam dan familier membelah udara malam, terdengar begitu jelas dari balik warung di sebelah mereka.
"Aku bilang harganya lima keping perak untuk satu kati. Tidak kurang. Ini bukan kacang biasa, ini kualitas upeti."
Han Qiu dan Li membeku.
Mereka saling pandang, horor yang sama tercermin di mata mereka.
Suara itu.
Mereka sangat mengenali suara itu. Itu adalah suara berat dan serak milik Mandor Dapur bagian logistik. Orang kepercayaan Chef Gao.
Dan kemudian, suara lain yang lebih muda menjawab, penuh dengan nada merengek yang juga mereka kenali.
"Ayolah, Paman Gui. Beri aku harga teman. Aku harus membawa ini kembali sebelum fajar. Kau tahu betapa ketatnya aturan di tempat kita sekarang."