Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A.R
Lift terbuka. Bram keluar dengan tumpukan map di pelukannya, napas terengah meski hanya turun satu lantai.“Dira ngapain kamu ke HRD?"
Nadira melihatnya dengan tatapan yang dalam.Ada sesuatu yang dipaksakan dalam nada santainya.“Bapak benar-benar tidak tahu kabar Raga?”
Bram mengusap lehernya, senyumnya melesap. Suaranya turun setengah berbisik.
“Bapak hanya tahu dia izin.Titik. Orangnya tertutup, Dira. Kadang…” Ia menengok ke kiri kanan, “kadang kalau dia diam-diam muncul di belakang, mukanya terlalu tenang, seperti photo KTP 2 x 3
“Jadi Bapak takut padanya?”
“Bukan takut,hanya… Bapak ini sensitif dengan hal hal supranatural”
“Hal-hal apa?”
" Udah ah, "desisnya, hampir tak terdengar. “Sudah, ya. Ini bukan urusanmu. Pokoknya, jangan terlalu dekati dengan orang-orang zaman purba seperti dia, ada hal yang ikut terbawa dan ada hal yang sebaiknya tidak diusik.”
“Kedengarannya Bapak tahu sesuatu.”
Wajah Bram memucat, mundur terburu-buru, punggungnya hampir menabrak dinding, keringatnya terlihat mengkilat di pelipis.
“Bapak tidak bilang apa-apa!Jangan kamu bertanya kaya komedi putar.”
Ting.
Pintu lift lain terbuka, ia segera masuk tanpa pamit
Nadira berpikir menyadari suatu hal bahwa
Bram tidak hanya menyembunyikan sesuatu tentang Raga, dia ketakutan, dan ketakutannya bukan pada Raga sendiri,
melainkan pada suatu misteri di balik kabar kepergiannya.
Nadira menarik napas panjang di meja kerjanya, membuka amplop itu sekali lagi, sepotong kertas kusam yang terlipat kecil, bukan format perusahan, teksturnya tipis dan getas, baunya apek seperti disimpan di tempat lembap bertahun-tahun.
Wajahnya berubah, itu bukan tulisan Raga, ditorehkan dengan tekanan kuat—lebih tua seperti ditulis dalam keadaan tergesa, namun penuh peringatan.
Kalau kamu mencari Raga,
jangan datang ke Koto Tuo.
Tidak semua yang hilang ingin ditemukan,
dan tidak semua yang mencari…
pulang dalam keadaan sama.
—A.R
Nadira mengernyit.
“A.R?. Siapa?
Lampu mejanya redup—sekali, dua kali—seperti kedipan mata lelah. Ruangan menjadi senyap, hanya detak jam dinding yang terdengar keras.
Dia balik kertas itu, di sisi belakangnya, tertera sebuah alamat, ditulis dengan tinta yang nyaris pudar:
Nagari Koto Tuo – Jorong Ateh, Rumah Moyang Rusdi.
Raga tak pernah menyebutkan alamat sedetail itu, dan “Rusdi” itu nama asing, raga sendiri tidak pernah bercerita.
Dan sebelum Nadira sempat berpikir lebih jauh, tatapannya kembali ke sisi depan.
Tulisan “A.R” itu memudar dengan cepat, diserap oleh kertas tua, lalu… lenyap tanpa sisa.
Ia terdiam, jantungnya berdebar pelan namun keras bukan lagi tentang seorang kolega yang menghilang begitu saja, tapi sebuah undangan halus atau sebuah umpan.
Dan entah mengapa dirinya sudah melangkah mendekat—tanpa tahu ke mana jalan akan berakhir.
Malam itu Nadira tertidur dengan kepala masih penuh pertanyaan, amplop cokelat HRD belum jauh dari jangkauannya. Tulisannya terasa terlalu tua—seolah ditulis oleh tangan yang hidup jauh sebelum Raga lahir. Rasa itu mengendap di dasar pikirannya, mengikutinya masuk ke alam tidur tanpa benar-benar siap.
Awalnya hanya kabut. Kabut putih perlahan terbelah seperti tirai, membuka jalan tanah basah berkelok-kelok di depan matanya. Nadira berdiri di sana, masih mengenakan baju kerja. Ada kesadaran bahwa ini mimpi, tapi angin menerpa terasa nyata menusuk tulang.
Jalan itu memanggil.
Ia berjalan tanpa suara. Kakinya terasa berat, seperti ditarik magnet di bawah tanah.
Kemudian gerbang itu muncul.
Kayu tua yang lapuk, tegak di ujung jalan dengan posisi sedikit miring, lumut hijau kehitaman menutupi sebagian permukaannya. Huruf-huruf yang terukir nyaris tak terbaca, kecuali potongan kata itu:
“…to… Tu…o”
Nadira meraih kayu permukaannya kasar, dingin, dan—ia menahan napas— jantung yang masih berdetak. Getaran halus merambat ke ujung jarinya, disertai bisikan samar-samar dari balik gerbang.
“Kampung siapa ini?” gumamnya asing di telinganya sendiri.
Ia melangkah masuk, pemandangan berubah seketika, jalan tanah berganti batu dikelilingi pepohonan tinggi begitu lebat hingga cahaya matahari nyaris hilang. Udara terasa hampa membuat bulu kuduk berdiri.
Matanya terpaku di ujung tikungan jalan bayangan putih samar tampak bergerak tidak utuh—seperti asap tidak berwujud, melayang pelan, tapi ia bisa melihatnya dengan jelas:
Dadanya sesak tanpa alasan.
Tiba-tiba dia berhenti tanpa menoleh, tanpa menunjukkan wajah, mengangkat tangan tak berbentuk menunjuk tepat ke arah Nadira.
Gadis itu mendengar suara halus meresap seperti air ke tanah di kepalanya
“Kembalikan dia.”
Nadira mundur, kakinya terhuyung.
“Siapa yang harus ku kembalikan? Aku tidak mengerti!”
Tanah di sekelilingnya mulai retak. Jalan basah kini mengering, pecah-pecah kulit yang kehausan. Retakan itu menjalar mendekati kakinya.
“Kembalikan…”
Suara itu memanjang, melengking, seolah berasal dari dua ruang waktu berbeda—dari masa lalu dan masa kini yang terjepit.
Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Udara di sekelilingnya semakin panas dan sesak, ruangan tanpa ventilasi—
BRAK!
Pintu kamar kosnya terbanting oleh angin malam. Nadira terjaga terengah-engah, duduk tegak di tempat tidur. Keringat dingin membasahi bajunya. Lampu kamar masih menyala. Jam digital di meja samping menunjukkan pukul 01:17.
“Mimpi,” gumamnya menekan dada yang masih berdebar kencang. “Cuma mimpi.”.
Ia segera meraih ponselnya. Jarinya membuka daftar kontak, bergerak tanpa sadar, dan berhenti pada satu nama:
Raga.
Nama itu berdenyut di layar, memanggilnya untuk menekan tombol panggilan. Tapi ia hanya menatapnya tak bergerak.
Mimpi tadi bukan sekadar bunga tidur yang datang dan pergi, mungkin pintu yang baru saja terbuka.
\=\=
Sejak malam itu, mimpi tentang kampung asing bernama Koto Tuo tidak pernah berhenti.Awalnya Nadira menganggapnya hanya mimpi sisa stres karena memikirkan Raga. Tapi semakin hari, gambarnya semakin jelas—terlalu jelas. Bahkan lebih tajam daripada ingatannya sendiri atas tempat-tempat yang pernah ia datangi.
Ia melihat jalan tanah merah yang basah. Rumah-rumah kayu yang teduh di bawah kabut. Pepohonan tua yang menaungi kuburan di bukit. Dan sebuah jembatan kecil di atas sungai dangkal yang mengalir pelan… seakan mengajak.
Setiap kali terbangun, jantungnya memukul-mukul dada. Bagaimana mungkin ia tahu detail tempat yang belum pernah ia lihat?
Pagi itu, Nadira menatap layar laptop, Ia penasaran mengetik “Koto Tuo Sumatra” ke mesin pencarian. Seribu hasil muncul, tapi tidak satupun yang cocok dengan suasana yang ia lihat didalam mimpi.
Beberapa “Koto Tuo” yang ia temukan bahkan ada di provinsi lain.
“Yang mana… yang sebenarnya?” Nadira berbisik.
Ia membuka note kecil, mencatat semuanya. Seolah otaknya dipaksa mengumpulkan potongan puzzle yang tidak pernah diminta.
Setelah jam makan siang, ia kembali ke HRD. Sebenarnya ia tidak perlu kembali. Tapi ada yang mengganggunya: nama di amplop kemarin. Inisial ‘A.R.’
A.R. siapa? Kenapa memegang seluruh berkas pribadi Raga?
Dan… kenapa amplop itu seperti sengaja muncul untuknya?
Ia mengetuk ruang HRD. Ibu Rani muncul, wajahnya terlihat kikuk.“Oh, Mbak Nadira lagi? Ada yang bisa dibantu?”
“Maaf, Bu… saya cuma mau tanya soal amplop kemarin. Yang—”
Raut wajah Ibu Rani langsung berubah. Tangannya refleks menutup map di meja, seolah takut.“Amplop yang mana, Mbak?”
“Yang bertuliskan A.R. itu.”
“Oh… itu. Itu bukan milik kami. Kami juga… tidak terlalu tahu kenapa ada di sini.”
Nadira mengernyit. “Loh? Itu kan lemari arsip HRD.”
Ia tersenyum kaku. “Betul. Tapi… beberapa bulan terakhir, ada beberapa dokumen yang… berpindah tempat sendiri. Kita pikir staf yang keliru, tapi setelah dicek ya… tidak ada yang merasa memindahkan.”
Nadira merasakan bulu tengkuknya naik.
“Masalahnya,” lanjutnya pelan, “lemari itu dikunci, dan cuma saya yang pegang kunci keduanya.”
"Lalu Bu ?"
“Dan amplop itu,” tambahnya setengah berbisik, “bukan dokumen perusahaan.”
“Lalu dokumen siapa?”
Rani menggeleng, “Entah. Tapi… Ibu pernah mendengar nama itu. A.R. mungkin salah satu employee lama, sudah resign sebelum Ibu masuk.
"Ibu tahu gak kontaknya?”
Ia menggeleng pelan.