Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERSIAPAN BUMI BERSIH
Seminggu berlalu seperti badai.
Tujuh hari non-stop kerja keras tanpa henti. Tujuh hari dengan tidur hanya tiga sampai empat jam per hari. Tujuh hari penuh keringat, debu, cat, dan kelelahan yang luar biasa.
Hari pertama, Reza dan Fajar berburu mesin cuci bekas. Mereka berkeliling pasar barang bekas, toko elektronik loak, bahkan sampai ke rumah-rumah warga yang jual mesin cuci bekas lewat grup jual-beli online.
"Ini mesin cuci masih bagus, Mas," kata seorang ibu paruh baya di daerah pinggiran kota sambil menepuk-nepuk mesin cuci tua yang catnya sudah pudar. "Cuma pemakaian lima tahun. Masih kuat. Cuma tabungnya agak goyang dikit kalau spin. Tapi masih jalan kok."
Fajar dan Reza memeriksa mesin itu dengan seksama—menyalakannya, mendengar suaranya, mengecek apakah ada kebocoran. Mesin itu memang tua dan sudah tidak mulus lagi, tapi masih berfungsi.
"Harga berapa, Bu?" tanya Reza.
"Dua juta."
"Satu juta lima," tawar Fajar langsung—tawar-menawar adalah skill yang ia pelajari dari ibunya yang sering belanja di pasar.
Ibu itu menggeleng. "Satu juta delapan. Nggak bisa kurang lagi."
"Satu juta lima ratus ribu, Bu," Reza ikut menawar dengan nada sopan. "Kami mahasiswa yang baru mau mulai usaha kecil-kecilan. Modalnya pas-pasan. Kalau Ibu bisa kasih harga segitu, kami sangat berterima kasih."
Ibu itu menatap mereka berdua lama sekali—dua pemuda muda dengan wajah penuh semangat meski terlihat sangat lelah.
"Ya udah lah," katanya akhirnya sambil tersenyum. "Satu juta lima ratus ribu. Tapi kalian harus angkut sendiri ya. Saya nggak ada ongkir."
"Siap, Bu! Terima kasih banyak!"
Mereka berdua mengangkat mesin cuci itu dengan susah payah—beratnya hampir lima puluh kilogram. Memasukkannya ke bagasi mobil pickup tua pinjaman dari teman Reza. Satu mesin sudah. Butuh satu lagi.
Sorenya, mereka dapat mesin cuci kedua dari seorang bapak tua yang rumahnya di kampung sebelah. Kondisinya sedikit lebih baik, tapi harganya juga sedikit lebih mahal—satu juta enam ratus ribu setelah ditawar.
Total: tiga juta seratus ribu untuk dua mesin cuci bekas.
Sisa uang: empat juta sembilan ratus ribu.
Hari kedua dan ketiga, mereka fokus renovasi ruko.
Pak Ganes yang paling aktif—meski sudah berusia hampir enam puluh tahun, tenaganya masih luar biasa kuat. Ia yang mengangkat ember-ember cat, yang naik ke atap untuk tambal bagian yang bocor dengan asbes bekas, yang mengecat dinding dengan roller cat besar.
Fajar dan Reza membantunya—meski keduanya tidak punya pengalaman renovasi sama sekali. Berkali-kali mereka salah. Cat tumpah ke lantai. Cat kena baju. Tangan penuh dengan cat hijau yang susah dihilangkan.
"Aduh!" Reza hampir terjungkal dari tangga saat mengecat bagian atas dinding. Fajar langsung menahan tangga dengan cepat.
"Hati-hati, Bro!" teriak Fajar sambil memegang tangga erat-erat.
"Anak muda jaman sekarang," Pak Ganes tertawa kecil dari bawah, "ngecat aja nggak bisa. Biar Bapak yang naik."
"Enggak, Pak!" tolak Fajar dan Reza serempak. "Bapak istirahat. Bapak udah banyak bantu. Kita yang hajar!"
Mereka terus bekerja—mengamplas dinding yang kasar, mengecat dengan warna hijau muda yang segar, membersihkan lantai yang penuh debu dan kotoran dua tahun, menambal atap yang bocor, memperbaiki engsel pintu yang berkarat, membersihkan kaca jendela yang penuh jamur.
Tiga hari renovasi, ruko kecil itu berubah total.
Dari yang tadinya suram, gelap, penuh jamur, dan terlihat seperti gudang tua yang mau roboh—sekarang menjadi ruangan kecil yang bersih, cerah, dan terlihat cukup layak untuk operasional.
Dinding hijau muda yang fresh. Lantai bersih mengkilap setelah dipel berkali-kali. Lampu yang lebih terang dipasang menggantikan bohlam redup. Pintu dan jendela yang sudah diperbaiki bisa dibuka-tutup dengan lancar.
Hari keempat, mereka fokus membeli supplies.
Deterjen—membeli dalam jumlah besar langsung ke distributor untuk dapat harga grosir. Pelembut pakaian. Pewangi. Pemutih. Hanger. Jemuran besi yang kuat. Ember plastik besar. Timbangan digital murah untuk timbang laundry kiloan. Plastik pembungkus. Nota kecil untuk invoice pelanggan.
Semua dibeli dengan perhitungan yang sangat ketat—setiap rupiah dihitung, setiap barang dibandingkan harganya di berbagai toko, setiap diskon dimanfaatkan.
Total habis: satu juta dua ratus ribu.
Sisa uang: tiga juta tujuh ratus ribu.
Hari kelima dan keenam, mereka membuat branding material.
Reza dengan skill desain grafisnya membuat logo BUMI BERSIH—logo sederhana tapi bermakna: bola dunia berwarna hijau dengan gelembung sabun di sekelilingnya, dan tulisan "BUMI BERSIH LAUNDRY" dengan font yang clean dan modern.
Banner—mereka pesan di tukang sablon sederhana dengan harga murah: seratus ribu untuk banner besar ukuran 2x1 meter bertulisan:
BUMI BERSIH LAUNDRY
Bersih • Jujur • Terjangkau
Rp 5.000/kg
Antar-Jemput GRATIS!
Mereka memasang banner itu di depan ruko dengan bangga—meski tangannya gemetar karena excited campur nervous.
"Ini dia," kata Fajar sambil menatap banner itu dengan mata berkaca-kaca. "Ini adalah awal dari segalanya."
Mereka juga mencetak flyer sederhana—kertas HVS biasa yang di-print dengan printer murah, kemudian difotokopi seribu lembar dengan biaya dua ratus ribu. Flyer itu akan mereka sebar ke kos-kosan mahasiswa di sekitar.
Stempel—mereka pesan stempel murah dengan logo BUMI BERSIH dan alamat: lima puluh ribu rupiah.
Total branding material: tiga ratus lima puluh ribu.
Sisa uang: tiga juta tiga ratus lima puluh ribu.
Hari ketujuh—hari terakhir sebelum grand opening—mereka melakukan general cleaning dan final touch.
Mesin cuci dipasang di bagian belakang ruangan. Area jemuran di halaman belakang kecil yang sempit tapi cukup untuk jemur pakaian. Counter sederhana di depan—hanya meja kayu bekas yang mereka cat hijau dan kasih taplak bersih. Kursi plastik untuk tunggu pelanggan.
Di dinding, mereka tempel poster harga:
LAUNDRY KILOAN: Rp 5.000/kg
LAUNDRY EKSPRES (6 jam): Rp 8.000/kg
SETRIKA ONLY: Rp 3.000/kg
ANTAR-JEMPUT GRATIS (min. 3kg)
Sore hari, saat matahari mulai terbenam, mereka bertiga berdiri di depan ruko—menatap hasil kerja keras seminggu mereka dengan mata penuh haru.
Ruko kecil 3x5 meter di gang sempit yang tadinya suram dan mati, sekarang terlihat hidup. Cat hijau yang segar. Banner yang terpasang bangga. Lampu di dalam yang terang. Mesin cuci yang siap beroperasi.
"Besok," kata Fajar dengan suara bergetar penuh emosi, "besok kita buka. Besok adalah hari pertama BUMI BERSIH LAUNDRY."
Pak Ganes tersenyum lebar—senyum yang sangat puas. "Seminggu yang luar biasa. Kalian berdua kerja keras banget. Bapak bangga."
"Kita semua kerja keras, Pak," sahut Reza sambil merangkul bahu Pak Ganes. "Tanpa Bapak, ini nggak akan mungkin selesai secepat ini."
Mereka bertiga berpelukan—pelukan yang penuh kelelahan tapi juga penuh kebahagiaan.
Malam itu, Fajar tidak bisa tidur. Ia terbaring di kasur tipisnya, menatang langit-langit yang bocor, tapi pikirannya di ruko kecil itu.
Besok. Besok adalah hari yang menentukan. Besok kami akan tahu apakah semua pengorbanan ini worth it atau tidak. Besok kami akan tahu apakah bisnis ini bisa jalan atau tidak.
Ia menutup mata, berdoa dengan sangat khusyuk—doa terpanjang yang pernah ia lakukan dalam hidup.
Ya Allah... aku sudah berusaha sekuat tenaga. Aku sudah korbankan segalanya. Sekarang aku serahkan semuanya pada-Mu. Mohon... mohon berikan kami kesuksesan. Bukan untuk aku sendiri, tapi untuk keluargaku. Untuk Rani. Untuk Ayah. Untuk Ibu. Untuk semua orang yang percaya padaku. Amin.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.