Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sean yang Kembali Pulih
Sean semakin membaik. Luka-lukanya telah sembuh, meskipun dokter masih menyarankan agar ia tidak terlalu banyak bergerak. Ia belum kembali ke kantor, tetapi mulai bekerja dari ruang kerjanya di rumah.
Marsha masih mengambil cuti kuliah. Bukan karena ia tidak ingin kembali, tetapi karena ia tidak ingin meninggalkan Sean sampai pria itu benar-benar pulih.
"Marsha, kamu nggak perlu terus mengkhawatirkan aku seperti ini setiap saat," kata Sean suatu sore, menutup laptopnya setelah rapat daring. "Aku udah jauh lebih baik. Kamu bisa kembali ke kampus. Jangan sampai ketinggalan banyak pelajaran."
Marsha menatapnya lama sebelum akhirnya menggeleng pelan, seolah keputusannya sudah bulat. "Aku akan kembali kalau kamu udah benar-benar sehat seperti sedia kala."
Sean terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia menatap Marsha lama, seolah mencoba membaca isi hatinya, sebelum akhirnya menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
"Terima kasih," bisiknya.
Marsha tidak menjawab. Ia hanya diam dalam pelukan Sean, merasakan detak jantung pria itu yang kini kembali stabil.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Meski masih di rumah, Sean kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Namun, setiap kali ia mencoba terlalu keras, Marsha akan datang dan memaksanya untuk beristirahat.
Suatu malam, Sean duduk di balkon kamarnya, menikmati udara segar setelah seharian bekerja. Marsha datang membawakan secangkir teh, lalu duduk di sampingnya.
"Besok aku akan kembali kuliah," katanya tiba-tiba.
Sean menoleh dan menatapnya dengan lembut. "Akhirnya?"
Marsha tersenyum tipis. "Kamu sudah cukup sehat. Aku nggak bisa terus di rumah dan mengabaikan tugasku."
Sean mengangguk. Ia senang mendengarnya, tetapi di sisi lain, ada perasaan aneh yang menyelinap dalam hatinya.
"Kalau gitu, biar besok aku yang antar kamu," kata Sean tiba-tiba.
Marsha mengerutkan kening. "Kamu baru aja sembuh, Sean."
"Aku baik-baik aja."
Marsha menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Dan entah mengapa, Sean merasa tenang mengetahui bahwa besok, ia akan tetap bisa melihat Marsha sebelum wanita itu kembali ke kehidupannya yang sibuk.
Keesokan paginya, Sean benar-benar menepati ucapannya. Ia mengenakan setelan santai, tetapi tetap terlihat berwibawa seperti biasa. Saat ia keluar dari rumah menuju mobil, Marsha menatapnya dengan alis berkerut.
"Jangan terlalu capek," katanya pelan.
Sean tersenyum kecil, lalu membuka pintu mobil untuknya. "Ayo."
Di dalam mobil, mereka lebih banyak diam, hanya sesekali berbicara tentang hal-hal kecil. Namun, tidak ada kecanggungan—hanya kebersamaan yang terasa nyaman.
Saat tiba di kampus, Marsha bersiap turun, tetapi sebelum ia keluar, Sean memanggil namanya.
"Marsha."
Marsha menoleh.
"Jaga diri kamu. Dan jangan terlalu memaksakan diri."
Marsha mengangguk, lalu tersenyum. "Kamu juga."
Dan untuk pertama kalinya, ketika Marsha berjalan menjauh, Sean merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hangat. Sesuatu yang mulai tumbuh.
...---...
Marsha kembali ke kampus setelah sekian lama mengambil cuti. Namun, ada yang berbeda kali ini.
Vano dan beberapa teman perempuannya langsung menyadari perubahan itu. Mereka merindukan Marsha yang dulu—gadis cerdas yang selalu hadir di setiap diskusi, yang selalu ada di tengah mereka.
"Kenapa tiba-tiba menghilang begitu lama, Marsha?" tanya Evelyn, salah satu sahabat perempuannya.
"Iya, kau seperti lenyap begitu saja tanpa kabar," tambah Sofia.
Marsha tersenyum kecil. "Aku cuma lagi sibuk dengan beberapa hal di rumah."
Jawaban itu tentu saja tidak memuaskan mereka, tetapi tidak ada yang memaksa Marsha untuk bercerita lebih jauh.
Saat ia berdiri di depan gerbang kampus, menunggu kedatangan Sean, sesuatu menarik perhatiannya. Tatapan tajam yang seakan menembus tubuhnya dari kejauhan. Jantung Marsha berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang tidak beres.
Ia melangkah mundur, mendekati pos keamanan kampus, berharap kehadiran petugas di sana bisa membuat orang itu menjauh. Namun, saat ia menoleh lagi, sosok tersebut sudah menghilang.
Marsha segera masuk ke dalam mobil Sean, jantungnya masih berdebar. Tangannya bahkan sedikit gemetar saat menarik sabuk pengaman.
Sean meliriknya. "Ada apa?"
Marsha menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
Sean menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjalankan mobil. Namun, sepanjang perjalanan pulang, Marsha terus merasa gelisah. Tatapan itu… Kenapa rasanya seperti seseorang sedang mengawasinya?
...***...