Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 : Dua Jari Telunjuk
Jenna terdiam sejenak, sebelum mengalihkan perhatian kepada Sakha yang terbangun karena lapar. Segera diambilnya bayi itu, lalu digendong sambil duduk di tepian kasur. Jenna mendengarkan perbincangan Jagat sambil menyusui Sakha.
“Iya, Pak. Saya tunggu kedatangan Anda di acara pembaptisan anak saya,” ucap Jagat, kemudian mengakhiri perbincangan. Setelah itu, dia menghampiri Jenna, yang masih menyusui Sakha. “Aku akan menyiapkan segala keperluan untuk acara pembaptisan,” ucapnya.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Jenna.
“Tidak usah,” jawab Jagat. “Fokuslah pada Sakha dan pemulihan kondisi badanmu.”
Jenna tersenyum, lalu mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
“Tidak perlu berterima kasih. Ini sudah jadi tugasku.”
Jagat menatap Jenna beberapa saat, kemudian duduk di sebelahnya sambil mencondongkan tubuh ke depan. Pria itu terdiam, seakan tengah memikirkan sesuatu.
“Aku ingin meminta sesuatu padamu,” ucap Jagat, sesaat kemudian.
“Apa?” tanya Jenna, dengan tatapan serius.
Jagat tidak langsung menjawab. Dia mengembuskan napas berat dan dalam, sebelum kembali menoleh dan menatap lekat sang istri. Dari ekspresi wajahnya, tampak jelas bahwa apa yang dibahas merupakan sesuatu yang cukup serius.
“Anda membuatku tegang,” ucap Jenna, tak sabar menunggu apa yang akan Jagat katakan.
Jagat berdehem pelan, lalu menegakkan sikap duduk. Dia setengah menghadapkan tubuh kepada Jenna.
“Aku hanya … um, begini.” Jagat kembali mengembuskan napas, sebelum melanjutkan bicara.
“Begini, Jenna. Aku ingin kamu merahasiakan ayah kandung Sakha. Sampai kapan pun, Sakha tidak perlu mengetahui bahwa dia bukan darah dagingku,” pinta Jagat serius.
“Begitu?” Jenna terlihat serba salah, tak tahu harus berkata apa.
“Kamu tidak perlu ragu. Lagi pula, Sakha merupakan anak dari hasil kejahatan, yang dilakukan pria tidak bertanggung jawab. Dampaknya pasti akan sangat buruk, bila dia mengetahui kebenaran itu.”
“Anda yakin Sakha tidak akan ….” Jenna mengembuskan napas pelan.
“Kenapa? Apa yang membuatmu takut?” tanya Jagat penuh selidik. “Bukankah pria itu tidak peduli?”
Jenna tidak langsung menjawab. Sesaat kemudian, wanita itu mengangguk berat, seakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Entah apa yang membuat Jenna terlihat ragu. Padahal, Jagat sudah menawarkan segalanya. Dia hanya perlu memantapkan hati, mempercayakan perlindungan terhadap sang pemilik Niskala Madyantara Abadi tersebut.
“Semoga, kamu tidak menyembunyikan sesuatu dariku,” ucap Jagat kemudian.
Mendengar itu, Jenna langsung menggeleng kencang. “Tentu saja tidak. Aku sudah mengatakan semua kepada Anda,” ujarnya, terdengar meyakinkan. “Aku akan dianggap tidak tahu terima kasih, jika sampai membohongi Anda.”
“Aku tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau tanda balas budi dalam bentuk apa pun. Jika kamu memang mengharapkan perlindungan dariku dan status hukum untuk Sakha, maka kita bisa memulainya dari sekarang,” ucap Jagat tenang. Raut wajah pria itu tak seserius sebelumnya.
“Aku akan belajar mencintai dan menerima kehadiranmu dalam hidupku. Mungkin itu membutuhkan waktu. Namun, aku berjanji akan melakukan yang terbaik selama kita hidup bersama.”
“Apakah Anda tidak terpaksa melakukan itu?” tanya Jenna ragu.
“Aku melakukan segala hal sesuai keinginan," jawab Jagat, pelan dan dalam. “Aku sadar hidup harus terus berjalan. Selama ini, sebenarnya aku tidak melakukan apa pun."
“Maksud Anda?” Jenna menatap tak mengerti.
“Aku hanya ingin memulai semua dari awal. Menjalani hidup normal seperti orang lain. Mencintai, dicintai, bahagia,” ucap Jagat, seraya membalas tatapan Jenna. “Semua yang kumiliki saat ini tak berarti apa-apa."
Jenna terdiam sejenak. "Seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Aku akan jadi istri yang baik untuk Anda, Pak."
Jagat tersenyum kalem, lalu mengalihkan perhatian kepada Sakha yang sudah kenyang minum ASI. Diambilnya bayi itu dari gendongan Jenna, lalu ditatap penuh kasih. "Akhirnya, aku menjadi ayah," gumam Jagat.
"Apakah suatu saat nanti Anda ingin punya anak dariku?"
Pertanyaan Jenna terdengar begitu polos. Namun, itu membuat Jagat jadi terlihat tidak nyaman. Dia tak langsung menjawab, dan hanya memandangi Sakha yang terlelap dalam gendongannya.
"Bukankah kita akan jadi suami-istri yang sesungguhnya?" Jenna ikut tak nyaman atas pertanyaannya tadi.
"Ya," sahut Jagat pelan, lalu beranjak ke dekat box bayi. Dia menidurkan Sakha di sana.
"Anda terlihat sangat luwes dalam memperlakukan bayi baru lahir," ucap Jenna, yang terus memperhatikan gerak-gerik Jagat. Bukan tanpa alasan, dirinya berkata seperti itu.
"Aku punya dua keponakan," ucap Jagat.
"Itu artinya, AAnd adalah pria yang menyukai anak kecil ... um ... maksudku ...." Jenna beranjak dari duduk, lalu berdiri di sebelah Jagat yang tengah memandangi Sakha.
Jagat tersenyum simpul. Dia memahami maksud ucapan Jenna, meskipun terdengar ambigu. "Menurutku, anak-anak adalah ... aku menganggap mereka sebagai tempat untuk menghilangkan segala kepenatan sebagai orang dewasa. Hanya ada kepolosan dan keceriaan, saat bersama mereka."
"Anda menganggap mereka sebagai hiburan?" Jenna menatap penuh arti.
"Lebih dari itu," balas Jagat.
"Lalu, bagaimana dengan kehadiran wanita dewasa dalam hidup Anda? Apakah mereka juga Anda anggap sebagai hiburan atau ...."
"Luka," ucap Jagat singkat.
"Luka," ulang Jenna pelan.
Jagat mengangguk samar. "Terdengar sangat bodoh, ya? Akan tetapi, begitulah kenyataannya." Pengusaha tampan 41 tahun itu tersenyum kelu.
Ucapan Jagat membuat Jenna terdiam, dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah. "Apakah karena itu, Anda masih sendiri hingga saat ini? Maaf, aku hanya ingin tahu."
Jagat tersenyum kecil. "Aku mahir dalam berbisnis, tapi tidak untuk urusan percintaan. Uang dan kekuasaan yang kumiliki tak berarti apa-apa karena aku ...." Jagat terdiam, seakan sengaja tak melanjutkan kalimatnya.
"Mulai saat ini, aku dan Sakha akan menjadi teman Anda," ucap Jenna, seraya menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Jagat.
"Dan aku akan menjadi pelindung bagi kalian berdua," balas Jagat.
Jenna tersenyum lembut, lalu menyodorkan telunjuk yang sengaja dilengkungkan, dengan maksud mengajak saling mengaitkan jari.
"Ya." Jagat tersenyum kalem, menyambut ajakan Jenna.
Bagai dua anak kecil yang baru menjalin persahabatan, sejoli itu saling tersenyum sambil mengaitkan jari telunjuk.
"Mulai saat ini, tidak ada lagi sebutan 'Anda' dan 'Pak'," ucap Jagat, seraya melepaskan telunjuknya, yang bertaut dengan telunjuk Jenna.
"Lalu, aku harus memanggil Anda dengan sebutan apa?"
"Terserah." Jagat menyunggingkan senyum kalem, kemudian berlalu dari hadapan Jenna, yang tersenyum sendiri.
Keesokan harinya, kesibukan mulai terlihat di kediaman Jagat. Beberapa orang keluar-masuk, yang merupakan petugas catering. Mereka menyiapkan hidangan, untuk disantap bersama seusai acara pembaptisan Sakha.
Upacara pembaptisan berlangsung lancar, di salah satu gereja yang telah dipilih Jagat. Kebahagiaan terpanar jelas dari paras tampan pria itu, saat menggendong Sakha.
"Selamat, Bebe," bisik Jenna kepada Jagat.
Jagat tersenyum kecil. "Selamat juga, Belle," balasnya.
Jenna balas tersenyum. Namun, hanya sesaat karena Haris menghampiri mereka.
"Selamat," ucap Haris, seraya melirik Jenna.