Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Ingin Disayangi
Pagi hari Syailendra bangun dengan mata yang berwarna merah. Dia merasa badannya sangat lesu. Itu karena semalam dirinya tidak tidur tenang. Dia merasa gugup mewakili Jawa Barat dalam olimpiade. Rasanya Syailendra ingin secepatnya mengerjakan soal itu.
Tetapi dia harus pergi ke Jakarta supaya bisa sampai di sana. Syailendra langsung saja mandi dan juga memakai baju dengan rapi. Setelah semuanya selesai dia langsung menarik koper itu untuk di bawa keluar.
Saat sampai di ruang makan seperti biasa selalu ada orang tuanya di sana. Detik itu juga jantung Syailendra kehilangan fungsi detaknya. Meski semalam ayahnya tidak mempermasalahkan dirinya yang pergi selama berhari-hari dengan alasan kegiatan pramuka, tetap saja Syailendra merasa takut akan dimarahi. Apalagi dengan keadaan ia menyeret-nyeret koper.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Syailendra tergugu.
Gunawan dan Amelia menoleh sebentar, lantas kembali mengunyah makanannya.
"Ke mana kamu bawa-bawa koper segala? Bosan tinggal di sini?" tanya Amelia yang sepertinya tidak diberitahu oleh Gunawan perihal semalam.
Syailendra menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "A—aku mau camping, Ma. Ada kegiatan pramuka di sekolah dan aku perginya 4 hari. Minggu sore baru balik."
Amelia tampak mengangguk seolah percaya ucapan anaknya itu. "Ya udah. Sini sarapan."
Pada akhirnya Syailendra turut bergabung dengan kedua orang tuanya pagi itu. Tidak ada yang aneh. Semua berjalan normal seperti biasanya. Bahkan sikap kedua orang tuanya pagi ini terlihat baik-baik saja, tak sedikit pun menaruh curiga padanya.
Mengembuskan napas lega, Syailendra menyantap sarapannya dengan tenang. Besar harapannya bahwa olimpiade kali ini berhasil dan ia bisa membanggakan kedua orang tuanya.
Mana tahu dengan Ia menang olimpiade tingkat nasional ini, pikiran Mama dan Papa padanya bisa berubah.
Ia akan jujur kalau Ia ikut olimpiade nanti ketika aku menang. Sekarang biar dulu orang tuanya nggak tahu. Ia nggak ingin gagal sebelum acara ini dimulai. Semoga nanti ketika menerima piala, orang tuanya bisa menyayanginya dan berhenti mengekangnya.
Sebelum ke bandara, Syailendra dan temannya yang lain diharuskan berkumpul terlebih dahulu di lapangan sekolah. Mereka akan dilepas oleh kepala sekolah sebagai perwakilan untuk mengikuti olimpiade nasional. Barulah setelah itu mereka diantar dengan bis ke bandara.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Syailendra menjadi sorotan. Namanya dimuat di media cetak sekolah dan juga media cetak kota. Sejujurnya Syailendra gugup. Takut jika sang ayah membeli koran itu dan membaca berita tentangnya. Itu bisa membuat kedua orang tuanya marah besar. Namun selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa kedua orang tuanya mengetahui hal tersebut. Terbukti tadi pagi baik ayah atau pun ibunya tidak mempermasalahkan sama sekali kepergiannya.
Berarti semuanya aman, 'kan?
"Tolong jaga kesehatan kalian selama di sana, ya? Bapak harap kalian bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah kita. Sekali lagi, selamat berjuang. Doa kami semua menyertai kalian."
Pak Muklis selaku kepala sekolah memberikan sambutan yang dihadiahi tepuk tangan oleh seluruh siswa yang berkumpul di lapangan tersebut. Dan setelahnya lelaki paruh baya itu mengalungkan kalung bunga ke leher Syailendra, Ratu, Sasa dan juga Heri sebagai tanda hormat. Kilatan kamera bergantian menyoroti wajah mereka. Hanya Syailendra yang kelihatan tidak nyaman dan selalu menunduk ketika ada yang memotretnya. Ia sungguh tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Syailendra! Semangat, ya! Aku ngefans sama kamu sekarang!"
"Syailendra, nanti terima kado dari aku, ya. Aku udah beliin kamu cemilan yang banyak buat bekal di atas pesawat!"
"Aku juga udah beliin kamu vitamin biar nggak gampang sakit selama di sana!"
Itu adalah sorakan-sorakan dari siswi perempuan yang menyorakinya dari barisan para siswa. Syailendra tersenyum kikuk sembari melambaikan tangan pada mereka. Ah, sebagai informasi, sejak memenangkan olimpiade provinsi, Syailendra jadi lebih sering disorot. Terlebih saat sebulan lalu mereka berempat mewakili sekolah ke radio lokal untuk diwawancarai.
Sejak saat itu banyak yang mencari tahu tentang Syailendra. Instagramnya, facebooknya, dan semua media sosial Syailendra tiba-tiba difollow banyak orang. Bahkan kepopuleran Syailendra setara dengan Ratu. Banyak pula yang menilai mereka cocok dari segi visual ataupun prestasi. Ya. Hidup Syailendra berubah. Ia bukan lagi lelaki malang yang tidak punya teman seperti beberapa bulan lalu. Bukan pula lelaki yang bahkan kehadirannya tak diperhitungkan. Sekarang, ke mana pun ia melangkah pasti ada yang menyapanya—atau bahkan melontarkan rayuan padanya.
"Banyak fans kamu, ya, sekarang," goda Ratu menyikut lengan Syailendra.
Syailendra menyahut. "Biasa aja."
"Kayaknya aku bakal susah deket-deket kamu. Saingan aku udah banyak," kekehnya.
"Apa sih. Kamu tetap prioritas aku," sahut Syailendra.
Mereka berdua main sikut-sikutan sambil mendengarkan kata sambutan dari guru lainnya. Pergelutan itu baru berakhir saat acara ditutup dengan mempersilakan mereka berempat menuju bis di parkiran sekolah.
Sebelum naik bis, banyak yang mengejar Syailendra untuk memberinya kado. Begitu juga dengan Ratu. Ada yang mengajak foto bersama, dan yang paling jauh ada pula yang terang-terangan menembak Syailendra.
Jangan tanyakan Heri dan Sasa. Duo bucin itu sudah masuk duluan ke dalam bis karena tidak ada yang mengidolakan mereka. Ralat. Bukannya tidak ada, namun karena mereka sehari-hari sibuk berdua, orang-orang tidak terlalu menotice dua sejoli itu. Yang paling mencolok di sini tetaplah Ratu dan Syailendra. Keduanya terlihat seperti pemeran utama dalam sebuah cerita yang dielu-elu dan banggakan oleh semua orang.
Setelah puas menerima kado dan berfoto-foto ria, akhirnya Syailendra dan Ratu masuk ke dalam bis. Tangan Syailendra serasa tidak muat menampung banyak kado dari para fansnya. Itu pun sepertinya tidak bisa ia bawa ke dalam pesawat. Hanya memenuh-menuhkan beban saja.
"Wuih, banyak banget yang ngasih lo kado. Gue seumur-umur cuma dikasih kado sama Ayang gue. Keren lo, Ndra. Bagi-bagi kenapa?" kata Heri sambil cengengesan.
Karena barang bawaannya terlalu banyak, Syailendra akhirnya berbagi kado dengan Heri dan Sasa. Begitu juga dengan Ratu. Roti, snack ringan dan aneka minuman, mereka bagi bersama karena kebetulan pagi itu mereka belum sarapan. Sementara kado lain berupa jaket dan baju kaos Syailendra simpan di kopernya. Lumayan untuk menambah pakaian. Kebetulan baju yang Syailendra bawa juga sedikit, 'kan?
"Gimana rasanya sekarang ngelihat Syailendra banyak penggemarnya? Bisa tersingkir posisi lo lama-lama, Ra. Apalagi banyak tuh tadi yang nembak Syailendra. Hahaha!" Heri tak henti-hentinya meledek Ratu, yang mana hal tersebut membuat Ratu kehilangan moodnya.
"Apa, sih? Biasa aja kali. Orang Syailendranya juga nggak nerima, kok," sanggah Ratu.
"Ya nggak diterima sekarang. Tapi kalau ada yang tulusnya melebihi lo, bisa berpaling tuh Syailendra. Gue jamin," kata Heri tak henti-hentinya memanasi.
Padahal selama ini Ratu tahu Heri suka bercanda dan mengisengi seseorang. Tapi entah kenapa candaan Heri kali ini tidak lucu baginya. Justru membuat hati Ratu terasa sakit.
"Makanya, kalian kapan jadian? Jangan sampai Syailendra lepas ke tangan orang lain. Nanti kamu nyesel, Ratu," imbuh Sasa.
Dan selayaknya mengerti kegelisahan Ratu, Syailendra menyahut. "Nggak penting komitmen. Yang terpenting tuh kami saling sayang. Iya, 'kan, Ratu?"
Mendengar hal itu membuat Ratu mengerjapkan mata, sebelum akhirnya mengangguk kikuk. "I—iya."
"Wah, lo kebangetan, Ndra. Gue lagi belain lo biar lo tuh ada status pacarannya sama si Ratu. Lo malah main iya-iya aja. Hati-hati deh kalian berdua. Terutama lo, Ndra," hasut Heri.
"Emang kenapa harus hati-hati?" bingung Syailendra.
"Kalau nggak ada komitmen, lo nggak ada hak ikat-ikat Ratu. Termasuk kalau nanti dia ninggalin lo dan milih cowok lain. Karena kan kalian nggak pacaran."
Syailendra termenung dibuatnya. Hal tersebut membuat Ratu jengkel. Sebisa mungkin Ratu hilangkan pikiran negatif itu dari kepala Syailendra. Ia yakinkan lelaki tersebut bahwa omongan Heri tidak akan pernah terjadi sampai kapan pun.
"Kamu nggak usah pikirin itu. Aku di sini terus sama kamu. Heri tuh mulutnya emang minta dicabein. Asal aja kalau ngomong!"
"Hm. Iya, aku percaya," jawab Syailendra sembari tersenyum. Namun jauh di lubuk hatinya, ia malah kepikiran yang Heri katakan.
Apa iya Ratu nggak benar-benar sayang aku? Karena kalau cewek biasanya udah sayang cowok, biasanya mereka nuntut status kan? Tapi kenapa Ratu beda? Dia kayak nggak ingin aku ikat....
Syailendra menggeleng samar untuk membuang pikiran buruknya. Tidak, ia tidak boleh memikirkan hal lain yang akan merusak konsentrasinya. Pokoknya, tujuan Syailendra ke Jakarta adalah tak lain untuk mewakili sekolah mereka. Jadi ia harus persiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi lomba yang sudah di depan mata.