NovelToon NovelToon
ARUNA

ARUNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: bund FF

Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.

Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.

Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.

Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.

Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kim yang penasaran

Siang ini cukup terik, Aruna tak memakai hodie nya. Cukup dengan celana jeans selutut yang sudah gerimpis di bagian bawahnya, dan kaos oblong oversize yang lehernya bahkan sudah molor.

Berlindung dengan topi agar setidaknya tak terlalu panas saat menyusuri jalan aspal yang harus dia lalui agar bisa sampai di toko Acing.

"Run, ada pelatihan pengecatan di kantor serbaguna di balai kelurahan. Lo mau nggak kalau gue daftarin?" tanya Acing begitu melihat Aruna memasuki tokonya.

"Gue nggak ada duit, ko" jawab Aruna singkat.

"Gratis, cuma latihannya malam setelah Maghrib. Nggak lama kok, cuma seminggu doang" kata Acing lagi.

"Terserah, ko. Tapi kan bikin jam kerja gue berkurang, ko. Nanti Lo motong gaji. Bisa diusir gue dari kontrakan kalau nggak bayar, ko" kata Aruna sambil membuka nasi bungkusnya dan menilik isinya yang ternyata adalah nasi Padang.

"Tumben banget" batin Aruna saat melihat nasi Padang nya.

"Lo tenang saja, Run. Kalau gue yang nyuruh, berarti gue sudah yakin biar Lo ikut. Kalau nanti Lo sudah pintar campur warna, Lo bisa tuh operasikan mesin pencampur cat. Biar kita nggak usah nyewa orang dari supplier" kata Acing yang pasti akan selalu berurusan dengan profit dalam setiap keputusan.

"Mau ya?" tanya Acing lagi.

"Kenapa nggak bang Rizal saja, ko. Atau pak Wanto?" tanya Aruna yang makan di dalam toko karena Acing masih ingin mengobrol dengannya.

"Rizal kalau malam ngurusin anak bininya, Run. Wanto sudah ketuaan kalau ikut beginian. Sudah benar Lo saja yang gue daftarin, ya. Mumpung gratis juga ini" kata Acing.

"Iya deh, terserah ko" jawab Aruna yang sudah menghabiskan setengah makanannya.

"Oh iya, bentar lagi Lo kirim barang yang sudah disusun di Tossa depan itu ke rumahnya pak Kim, ya. Rizal sama Wanto lagi ngirim ke tempat lain" kata Acing.

"Iya ko" jawab Aruna, segera saja dia selesaikan makannya agar bisa segera bekerja.

"Nyantai, Run. Keselek nanti kalau buru-buru" kata Acing.

Aruna hanya menaikkan jempolnya dan meminum air dari gelas plastik karena memang sedang tersedak.

Selesai dengan urusan perut, kini Aruna sudah berada diatas Tossa yang Acing maksud. Bersiap pergi ke rumah Kim setelah mengecek jika barang sudah sesuai pesanan.

"Nanti sekalian Lo minta duitnya sama Kim, ya Run. Tadi belum bayar, soalnya anak buahnya cuma disuruh pesan doang tadi" kata Acing yang sedang berdiri di dekat motor Tossa.

"Siap ko" kata Aruna lantas pergi, menyusuri jalan raya untuk ke rumah gedongan milik Kim.

Tin... Tin...

Aruna membunyikan klakson agar satpam di gerbang rumah itu mau membukakan pintu.

"Ada perlu apa?" tanya satpam melalui celah jendela pos yang menghadap ke jalan raya.

"Kirim barang" jawab Aruna singkat.

Satpam itu sudah paham, perlahan gerbang itu terbuka dengan remot yang dikendalikan oleh satpam di dalam pos.

"Langsung ke samping rumah ya. Nanti ada tukang di belakang" kata Satpam itu.

"Iya pak" jawab Aruna langsung ke bagian samping rumah yang dimaksud.

Cukup jauh juga, ternyata ada taman belakang dan juga kolam renang di tengah rumah itu. Aruna kagum dengan kemewahan yang baru bisa dia lihat. Tapi tentu tetap mengagumi dalam diam.

"Sini neng" teriak tukang yang siap membantunya.

Aruna melajukan motor itu semakin masuk melewati taman, ternyata mereka sedang merenovasi pagar belakang agar semakin ditinggikan.

"Taruh disini saja ya" kata tukang itu.

"Iya pak" jawab Aruna lantas mengangkat beberapa tumpuk semen dan bahan lain yang memenuhi bak motor tersebut.

Sendirian saja, tapi tak membuat gadis itu mengeluh lelah meski peluh sudah berebut untuk turun dari dahi yang tertutup topi.

Hampir satu jam, terlihat Kim datang sedikit terburu-buru dari dalam rumahnya.

"Untung saja masih keburu. Tadi saya kira kamu sudah pergi, Run" kata Kim yang sudah mengenali Aruna.

"Baru selesai, om" jawab Aruna berdiri di hadapan Kim sambil menyeka keringatnya.

Cuaca sedang tak bisa diramal, tadi panas hingga membuat kuman mati dengan sendirinya, dan sekarang tiba-tiba gerimis turun meski mendung datang tak cukup lama.

Aruna berlari bersisian dengan Kim menuju teras belakang, di dekat kolam renang.

"Duduk dulu saja, terus hubungi Koko mu ya. Bilang kalau sedang hujan jadi nggak bisa langsung balik ke toko" kata Kim sambil mengibaskan lengannya.

Setelah mengangguk, Aruna mengirim chat untuk mengabari Acing. Dan Acing mengizinkan saja, Aruna sedikit tenang meski sekarang hujan terlalu lebat dan para tukang lebih memilih berteduh di gazebo yang tak terpakai di pojokan.

"Oh iya om, tadi Koko bilang kalau aku disuruh minta uangnya" kata Aruna mengawali obrolan.

"Iya, makanya saya tadi terburu-buru, takut kamu keburu pergi karena mau sekalian membayar" jawab Kim sambil membuka dompetnya, lantas mengambil beberapa lembar uang seratusan dan menyerahkan pada Aruna setelah dirasa sesuai dengan nota.

"Kelebihan, om" kata Aruna setelah menghitung ulang. Kim tersenyum karena tadi dia sedang mengetes kejujuran Aruna.

"Kelebihannya buat kamu saja" kata Kim menolak halus uang dari tangan Aruna.

"Oh iya, terimakasih" jawab Aruna.

Mengambil dompet dari dalam saku celananya, dan membukanya agar bisa meletakkan uangnya.

Kim masih mengamati pergerakan Aruna demi bisa melihat foto usang yang tersimpan di dalam dompetnya. Seperti yang pernah dia lihat di warung Padang waktu itu.

"Kamu asli anak sini, ya?" tanya Kim sementara Aruna sudah memasukkan dompetnya.

"Iya om" jawab Aruna.

"Kelahiran kota ini juga?" masih penasaran rupanya pak Kim ini.

"Nggak sih, ibu bilang aku lahir di Batam" jawab Aruna.

"Oh" jawab Kim seolah berfikir.

"Bibik, tolong buatkan minuman untuk kami" pinta Kim pada pembantunya.

"Tidak perlu repot, om" kata Aruna yang tak tahan dengan situasi seperti ini. Dia tidak suka diwawancara.

"Mina itu teman kamu di sekolah, kan?" tanya Kim.

"Iya om" jawab Aruna.

"Dia itu sering sekali pulang malam. Padahal sekolah itu pulangnya jam dua, ya?" tanya Kim lagi.

"Iya om" jawab Aruna lagi.

Malas sekali kalau masih harus mengobrol sementara seharian ini sudah membuatnya terlalu banyak bicara.

Kim menyadari rasa tidak suka itu, dan membiarkan Aruna tetap diam saat pembantunya datang dengan dua cangkir teh hangat dan juga beberapa camilan.

"Terimakasih, buk" ujar Kim sementara Aruna hanya menganggukkan kepalanya berusaha sopan.

"Minumlah, cuacanya sedang dingin" kata Kim yang sudah menyesap teh hangatnya.

Aruna mengikuti pergerakan Kim. Lagipula dia cukup haus setelah membongkar muatan tadi.

"Kamu kenapa bekerja di tempat keras begini, Aruna? Apa orang tua kamu mengizinkan?" tanya Kim memberanikan diri.

"Saya harus mencukupi kebutuhan saya sendiri, om" jawaban Aruna terlalu mengambang, Kim masih sangat penasaran.

"Memangnya kemana ayah kamu?" tanya Kim lagi.

"Saya tidak tahu kemana bapakku. Ibu tidak pernah cerita tentang bapak selama ini. Bisa jadi bapakku sudah mati" jawab Aruna sambil mengendikkan bahu.

Kim menghela nafas, "kasihan sekali anak ini" batin Kim.

"Ibu kamu tidak bekerja?" tanya Kim lagi.

"Kerja, tapi aku tidak mau meminta padanya. Biar saja aku memenuhi kebutuhanku sendiri" jawab Aruna.

"Kenapa kamu kerja di toko bangunan seperti ini? Apa tidak lebih baik kerja di cafe atau toko baju?" tanya Kim.

"Dulu ko Acing yang mengajakku kerja saat melihatku menjadi kuli panggul di pasar. Kata ko Acing lebih baik kerja dengannya daripada menjadi kuli panggul meski sama-sama melelahkan. Tapi setidaknya di tempat Ko Acing lebih aman" jawab Aruna sedikit lebih panjang.

Kim tersenyum, niatnya untuk mengajak Aruna bicara sudah terbuka.

"Ya, dia memang sangat baik" kata Kim dengan pandangan lurus ke air kolam yang seolah ingin pergi dari kolam itu saat air hujan yang turun deras ikut terjebak didalamnya.

"Jadi, ayahmu masih hidup kan sebenarnya?" tanya Kim.

Aruna menoleh pada pria dewasa itu. Sepertinya Kim sangat penasaran dengan bapaknya.

"Aku juga tidak yakin, om. Aku takut untuk bertanya lagi sama ibu" jawab Aruna.

"Menurut kamu, seandainya kamu dipertemukan dengan bapakmu, kamu mau bagaimana?" tanya Kim.

"Kenapa memangnya, om? Mau membantuku menemukan bapak, ya?" tanya Aruna datar.

"Boleh juga. koneksi saya sangat banyak. Untuk mencari satu orang saja pasti sangat mudah" jawab Kim yang mendapatkan pandangan tertarik dari Aruna.

"Jadi, bisa beritahu saya bagaimana ayah kamu?" tanya Kim, sementara hujan sudah sedikit mereda.

Aruna berfikir sejenak. Dia tidak yakin dengan ucapan Kim. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, kan? Diapun juga penasaran bagaimana dan siapa sebenarnya bapaknya yang busuk itu.

Dan saat Aruna sudah ingin bicara, sebuah suara terdengar berteriak dari dalam rumah dan semakin mendekat ke arahnya.

"Papaaa ....." teriak Mina yang sudah berdiri dengan tatapan membunuh terhadap Aruna.

Kim jadi heran dengan kehadiran anaknya yang tiba-tiba berubah mimik wajah begitu.

1
Azizah Hazli
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!