Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33 : Rahasiakan Ini...
Setelah pertarungan sengit melawan Manticore, Ferisu memeriksa pedangnya yang kini tak lebih dari seonggok logam tak berguna. Retakan menghiasi bilahnya, dan setiap ayunan terasa rapuh.
“Sudah waktunya beralih ke sihir,” gumamnya, menyimpan pedang itu ke sarungnya untuk terakhir kali.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan dalam keheningan, hanya suara langkah kaki yang menemani di lorong dungeon yang dingin dan sunyi. Erica, yang berjalan di belakang Ferisu, terlihat gelisah. Ia terus memikirkan apa yang baru saja dilihatnya—kekuatan yang begitu luar biasa, namun tersembunyi di balik sosok lelaki yang tampak seperti tak peduli apa pun.
“Ferisu...” panggil Erica pelan, suaranya bergetar sedikit.
“Ada apa?” sahut Ferisu tanpa menoleh atau menghentikan langkahnya.
“Kenapa kau selalu menyembunyikan kemampuanmu?” Erica langsung menyuarakan kegelisahan yang mengganggu pikirannya.
Langkah Ferisu mendadak terhenti. Ia perlahan menoleh ke belakang, menatap Erica dengan sorot mata dingin. “Tak ada hubungannya denganmu,” jawabnya singkat. “Dan lebih baik kau rahasiakan hal ini setelah kita keluar dari dungeon ini.”
Nada suaranya yang dingin menusuk hati Erica. Ia menggigit bibir, menahan rasa kesal sekaligus bingung. Namun, ia tak ingin mundur.
“Tentu saja ini ada hubungannya denganku!” serunya tiba-tiba, suaranya bergetar, mencoba menyuarakan perasaan yang lama ia pendam. “Kau dan aku bertunangan!”
Kata-kata Erica membuat Ferisu tertegun. Ia menatapnya dengan Alis terangkat. “Hah?” gumamnya, sedikit tak percaya. “Yah, itu memang benar. Tapi bukankah kau sendiri tak suka dengan pertunangan ini? Lagi pula, kau merasa terpaksa untuk bertunangan denganku, kan?”
Erica terkejut dengan balasan itu. “I-itu benar... tapi—”
“Tapi apa?” Ferisu memotong ucapan Erica tanpa memberinya kesempatan untuk menyelesaikan. “Aku tahu kau tak pernah menginginkan ini. Aku juga tak menyukainya. Jika kau ingin, aku akan bicara pada kakek dan ayahku untuk membatalkan pertunangan ini.”
Erica terpaku. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata Ferisu, seolah sesuatu yang ia tak ingin akui akhirnya dilemparkan ke hadapannya begitu saja.
“Ti... tidak...” gumam Erica, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.
Ferisu yang melihat perubahan di wajah Erica terdiam, bingung.
Kenapa kau menangis?
Erica menundukkan kepalanya, meneteskan air mata. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam, namun juga penuh dengan perasaan yang tak ia tahu bagaimana harus diungkapkan.
“Erica...” Ferisu melangkah mendekat, tetapi ia berhenti di tengah jalan, ragu. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya kenapa kata-katanya tadi membuat tunangannya ini menangis. Apa sebenarnya yang ia rasakan?
Ruangan itu kini dipenuhi keheningan. Hanya isakan kecil Erica yang terdengar, membuat suasana menjadi semakin berat.
Erica sendiri tak mengerti mengapa air matanya terus mengalir. Kata-kata Ferisu tadi seharusnya melegakannya—setelah semua, ia tahu bahwa selama ini ia pun merasa terpaksa dengan pertunangan ini. Namun, justru sebaliknya yang ia rasakan. Ada perasaan asing yang menghimpit dadanya, seperti ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting.
Erica menyeka air matanya dengan cepat, mencoba menyembunyikan kelemahannya, tapi tangannya gemetar. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, Kenapa aku merasa seperti ini? Bukankah aku seharusnya senang jika pertunangan ini dibatalkan? Namun, suara kecil di dalam dirinya berbisik lain. Ia merasa enggan—enggan pergi dari sisi Ferisu.
Sosok yang selama ini ia anggap sebagai pangeran pemalas ternyata menyimpan kekuatan dan keberanian yang tak pernah ia bayangkan. Setelah semua yang terjadi, setelah melihat Ferisu melindunginya, melawan Manticore dengan nyawanya sebagai taruhan, sesuatu dalam dirinya berubah. Ia tak bisa lagi melihat Ferisu sebagai orang yang sama.
“Ferisu...” Erica akhirnya bersuara, pelan dan penuh keraguan. “Mungkin... mungkin aku salah menilai dirimu selama ini.”
Ferisu menatap Erica dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tetap diam, memberi Erica ruang untuk melanjutkan ucapannya.
“Selama ini aku pikir kau hanyalah seorang... pengecut yang tidak peduli pada apa pun selain dirimu sendiri.” Erica menunduk, menggenggam kedua tangannya erat. “Tapi... setelah melihat bagaimana kau melindungiku, bagaimana kau bertarung tanpa peduli pada bahaya yang mengancam nyawamu... aku sadar aku salah.”
Ferisu mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. Namun, ia tidak berkata apa-apa, membiarkan Erica meluapkan isi hatinya.
“Aku... aku tidak tahu kenapa, tapi... aku tidak ingin kau menjauh dariku.” Air mata Erica kembali mengalir, tetapi kali ini ia tidak menyekanya. Ia menatap Ferisu dengan mata yang penuh dengan emosi campur aduk. “Aku tidak tahu apakah ini karena rasa terima kasih... atau sesuatu yang lain. Tapi aku tidak ingin kita mengakhiri pertunangan ini.”
Kata-kata Erica menggantung di udara, memenuhi keheningan di antara mereka. Ferisu menghela napas panjang, matanya memandangi Erica dengan sorot yang lebih lembut dari sebelumnya. Namun, ekspresinya tetap tenang.
“Erica,” Ferisu memulai, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, “aku tidak tahu apa yang sedang kau rasakan sekarang. Tapi aku tak ingin kau memaksakan dirimu untuk hal yang kau tidak yakin. Aku tidak ingin kau membuat keputusan hanya karena apa yang baru saja terjadi.”
“Tapi aku yakin!” Erica memotong, suaranya gemetar tetapi penuh dengan tekad. “Aku tahu ini aneh. Aku tahu ini mungkin terlalu cepat untuk dikatakan. Tapi... untuk pertama kalinya, aku merasa aku ingin mengenalmu lebih jauh, Ferisu. Aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Ferisu terdiam, ekspresinya sedikit melunak. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat Erica sebagai tunangan yang enggan, melainkan seseorang yang tulus ingin memahami dirinya. Sebuah senyuman kecil—hampir tak terlihat—terbentuk di sudut bibirnya.
“Kalau begitu,” ucapnya, “kita lihat saja bagaimana semuanya berjalan. Tapi jangan menyesal nanti.”
Erica tersenyum samar di tengah air matanya, dan meskipun jawabannya terasa menggantung, ia merasa lega. Di dalam lorong dungeon yang gelap itu, dua hati yang sebelumnya berjauhan mulai menemukan jalan untuk saling mendekat.
Setelah itu, mereka kembali melangkah menyusuri lorong dungeon. Ferisu terus menggunakan sihirnya untuk mengalahkan setiap monster yang muncul menghadang, membuat perjalanan mereka lebih lancar meskipun tetap penuh kewaspadaan.
Hingga akhirnya, lorong sempit yang mereka lewati mulai melebar, memperlihatkan dinding dan lantai batu yang tampak familiar. Pola ukiran dan retakan khas dari lantai sepuluh mulai terlihat jelas di depan mata mereka.
"Kurasa kita sudah dekat," ujar Ferisu sambil memperhatikan sekeliling dengan tenang.
"Benarkah!?" Erica langsung berseru penuh semangat, rasa senangnya terpancar jelas di wajahnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh bahaya, akhirnya ada harapan untuk keluar dari dungeon ini.
"Ya," balas Ferisu dengan lembut, meskipun senyumnya hanya tipis. Ia memahami betapa berat pengalaman ini bagi Erica, dan kini ia merasa lega karena perjalanan mereka hampir selesai.
Mereka terus melangkah maju, melintasi lorong panjang yang semakin familiar. Hingga akhirnya, di ujung jalan, terlihat tangga besar yang mengarah ke atas, menuju lantai sepuluh. Cahaya redup dari kristal di dinding perlahan-lahan mulai memudar, digantikan oleh suasana yang lebih stabil dan tenang.
Erica memandang tangga itu dengan mata berbinar, langkahnya hampir berlari menuju ke sana sebelum berhenti sejenak untuk menunggu Ferisu. "Ini... akhirnya kita hampir keluar," gumamnya, suara bahagianya sulit disembunyikan.
Ferisu mengangguk kecil, menyentuh bahu Erica agar ia tetap tenang. "Ya, tapi kita harus tetap waspada. Jangan lengah, kita belum benar-benar keluar dari sini."
Erica mengangguk dengan serius, meskipun tak bisa menyembunyikan senyum lega di wajahnya. Bersama-sama, mereka melangkah menaiki tangga, meninggalkan lantai berbahaya itu dengan hati yang sedikit lebih ringan dan tekad yang lebih kuat.
...----------------...
Saat tiba di ujung tangga, Ferisu melangkah lebih dulu, memperhatikan sekeliling dengan teliti. Dalam sekejap, ia segera mengenali tempat itu. "Ah, ini lorong dekat ruangan bos lantai sepuluh," ucapnya dengan nada yakin.
"Eh?" Erica memandangnya dengan bingung. "Tapi, bukankah sebelumnya tidak ada tangga untuk turun ke lantai sebelas."
"Ya," jawab Ferisu singkat, ekspresinya tetap tenang. Namun, sebelum Erica sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar menggema dari kejauhan.
Langkah kaki itu berat dan teratur, menunjukkan jumlah yang cukup banyak. Erica langsung merasa cemas, tapi Ferisu tetap tenang, matanya mengarah ke sumber suara. Beberapa saat kemudian, bayangan para kesatria kerajaan muncul dari ujung lorong.
"Ferisu-sama, Erica-sama!" Salah satu kesatria berseru dengan nada lega, diikuti yang lain yang segera mempercepat langkah mereka. Wajah mereka menunjukkan kelegaan setelah menemukan keduanya.
Saat itu, Ferisu menoleh cepat ke arah Erica, mendekatinya dengan langkah ringan. Dengan suara pelan namun tegas, ia berbisik, "Rahasiakan apa yang kulakukan. Jangan katakan apa-apa tentang sihirku."
Erica menatap Ferisu dengan ekspresi yang rumit. Bibirnya ingin menolak, ingin mengatakan bahwa tidak seharusnya hal ini dirahasiakan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, para kesatria sudah tiba di dekat mereka.
"Ferisu-sama, Erica-sama, syukurlah kalian berdua baik-baik saja!" salah satu kesatria berbicara, suaranya terdengar lega sekaligus formal. Mereka segera memeriksa keadaan Ferisu dan Erica, memastikan keduanya tidak terluka parah.
"Tenang saja. Kami baik-baik saja," jawab Ferisu santai, memasang ekspresi acuh yang biasa ia tunjukkan.
Para kesatria saling bertukar pandang, jelas ada rasa kagum sekaligus heran di wajah mereka. "Tapi... kami mendengar kalau kalian jatuh ke lubang yang dalam. Lalu kabar tentang dungeon yang membuat lantai baru, bukankah lantai sebelas sangat berbahaya, apalagi dengan monster dan wilayah yang belum terjamah? Bagaimana kalian bisa melaluinya?"
Ferisu hanya mengangkat bahu. "Keberuntungan, mungkin," ujarnya singkat, sengaja menghindari detail.
Erica memandangi Ferisu dalam diam, masih merasakan keraguan dalam hatinya. Namun, ia akhirnya memilih untuk tidak mengatakan apa pun, mengingat permintaan Ferisu sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia tahu Ferisu memiliki alasannya sendiri.
Para kesatria memutuskan untuk mengawal mereka kembali ke permukaan. Meskipun perjalanan ini hampir berakhir, Erica merasa ada sesuatu yang baru saja dimulai—rahasia Ferisu, dan perasaan yang kini tumbuh dalam hatinya.
raja sihir gitu lho 🤩