"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Bertukar Kartu Nama
"Oh my god, Cindy lupa memberitahuku siapa namanya! Ah, tidak masalah. Aku akan bertanya langsung dan memastikan pria itu merasa tidak nyaman."
Ketika pelayan menunjuk meja tujuan, Alice mengangkat pandangan. Pria itu sudah duduk di sana, sosoknya begitu mencolok di tengah ruangan yang ramai.
Alice menatap kearah pria itu. Seketika, langkahnya terhenti. “Dia menyadarinya...” Rasanya seperti ada batu besar yang mengikat kakinya ke lantai.
Di depannya, pria itu duduk dengan jas hitam rapi yang terlihat mahal. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, matanya tajam seperti elang yang seolah bisa menembus pikiran siapa pun yang ia tatap.
Rambutnya tertata sempurna, dan tubuh tegapnya menandakan pria itu bukan hanya kaya, tetapi juga disiplin.
Tatapan itu menusuk langsung ke arahnya, dingin dan penuh wibawa, langsung membuat ruangan terasa hening, seolah sedang menilai seluruh keberadaan Alice.
Deg! “Dia pasti tahu aku bukan Cindy..."
Pikiran itu langsung menyerangnya seperti kilat. Hatinya berdegup kencang, kakinya terasa berat, dan seluruh persiapan yang ia lakukan semalam lenyap begitu saja.
Pria itu terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan, sorot matanya seperti mengintimidasi. Alice merasa setiap gerakannya sedang dianalisis, setiap pikirannya sedang dibaca.
"Sebaiknya aku segera pulang...” Rasa takut mulai menjalar hingga tangan dan kakinya gemetar.
“Nona Swan?” suara pria itu akhirnya terdengar, dalam dan tenang, namun penuh wibawa.
Alice tersentak, berusaha menjawab, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa mengangguk kecil, nyaris tidak terlihat. Sorot mata pria itu membuatnya semakin yakin bahwa pria ini mengetahui semuanya.
"Bagaimana ini... Aku ketahuan!"
Alice hanya menatapnya, mulutnya kaku, kata-kata yang sudah ia susun menguap begitu saja. Ia tidak menjawab, hanya menatap pria itu seperti rusa yang terjebak di hadapan pemburu.
Pria itu sedikit mengangkat dagunya, mengisyaratkan Alice untuk duduk di kursi di depannya. Alice mengerti isyarat itu dan segera duduk, meski lututnya terasa lemas.
Ketika akhirnya duduk, ia menundukkan pandangan, menghindari tatapan pria di depannya yang terasa seperti pisau tajam.
Malam yang hangat berubah menjadi dingin dalam sekejap. Nafas Alice tersendat, tubuhnya terasa berat, dan otaknya seperti kosong seketika
Beberapa menit berlalu. Tidak satupun dari dua orang itu memulai pembicaraan. Pria itu duduk dengan tenang, mengamati Alice tanpa berkata apa-apa.
Keheningan ini lebih menyiksa daripada percakapan apapun yang Alice bayangkan sebelumnya.
Masih dengan keheningan, tiba-tiba pria itu mengambil sesuatu dari saku jasnya. Pikiran Alice semakin kacau, tangan dan kakinya gemetar.
“Apa dia akan mengeluarkan pistol atau senjata tajam lainnya?”
Ternyata pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dan meletakkannya di atas meja. “Kartu namamu,” katanya singkat.
“A-ah, iya!” Alice tersentak, buru-buru merogoh tas kecilnya.
Dengan tangan gemetar ia langsung menyerahkan kartu namanya. Pria itu mengambil kartu tersebut dan memandangnya.
Alice berusaha mencari kekuatan untuk melawan intimidasi itu dengan menatap balik, tapi ia langsung menyerah setelah beberapa detik. Tatapan itu terasa sangat tajam dan menusuk, hingga ia segera mengalihkan pandangannya ke meja.
Alice masih menunduk dan sibuk menahan tangannya yang gemetar. Namun pria itu tiba-tiba memanggil namanya dengan suara rendah namun jelas.
“Evangeline Alice Swan.”
Refleks mendongak, menjawab dengan gugup, "I-iya?"
Membuat pria itu mengangkat alisnya sedikit, namun tidak berkata apa-apa. Baru kemudian ia sadar pria itu hanya membaca kartu, bukan memanggilnya.
Deg! Mati aku!
Alice merasa seperti tersambar petir. Ia salah memberi kartu nama. Itu kartu namanya sendiri, bukan kartu nama Cindy! Ia lupa bahwa dirinya sedang menyamar. Ia bahkan masih memakai tasnya sendiri.
Padahal seharusnya mereka bertukar tas. Jantung Alice hampir terlepas. Ia baru menyadari kecerobohan dan kesalahan Fatal yang telah ia lakukan.
Kepanikan langsung menyelimuti dirinya. Mencoba menarik napas, sebelum menghadapi pria itu yang pasti akan marah dan tidak terima. Namun nafasnya tersendat. Bagaimana kalau ia melaporkan ini ke Daddy? Itu artinya malam ini ia akan pulang tanpa nyawa.
Alice tidak bisa menahan tubuhnya yang ketakutan. Terlihat jelas wajah panik, tangan dan kaki gemetar, dan detak jantungnya yang seperti pindah ke luar.
ig : lavenderoof