Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 7
Ya Allah, ada apa lagi dengan toko itu? Stok barang tak ada, sekarang terjadi keributan. Apa saja yang dilakukan Raka selama ini?
Kuputar kemudi dengan cepat berbelok menyusuri jalanan menuju pertokoan. Benar. Di kejauhan kulihat terparkir sebuah mobil sedan dan dua buah motor laki-laki. Dua orang bertubuh besar sedang bersitegang dengan Doni.
Sementara Irwan terlihat mencegah seorang pria bertubuh besar bersama laki-laki paruh baya tambun yang hendak menerobos masuk ke dalam toko. Aku mengenali laki-laki itu, dia pemilik ruko yang disewa Raka untuk membuka usaha.
Kuparkir mobil dengan segera, dan turun. Berjalan cepat menghampiri laki-laki paruh baya yang sudah berada di dalam toko setelah berhasil menyingkirkan Irwan dari jalan.
"Ada apa ini, Pak?" tanyaku sembari melihat keadaan toko yang sudah berantakan.
Sosok paruh baya itu menoleh, wajahnya merah dan terlihat berang. Irwan yang sempat terjatuh karena didorong laki-laki bertubuh besar, segera bangkit dan berdiri di sampingku.
"Sha! Untung kamu cepat datang," ucap Irwan, tapi tak kulihat kelegaan di wajahnya.
"Kamu nggak apa-apa?" Kulirik tubuh karyawan Raka itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Nggak apa-apa, Sha, tapi mereka mau nutup toko ini." Irwan terlihat sedih, aku mengernyit mendengar penuturannya.
"Menutup?" Kupalingkan wajah menatap laki-laki tambun yang berkacak pinggang usai menerima anggukan kepala dari Irwan.
"Kenapa Bapak mau nutup toko ini?" tanyaku melangkah lebih dekat dengan laki-laki tersebut.
Dia tampak memindaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mencibir tatkala mata besarnya mengarah pada perutku yang terlihat sedikit membuncit karena aku memang mengenakan baju longgar.
"Oh, sekarang aku ingat siapa kamu. Kamu istri si Penipu itu, 'kan? Aku kasih tahu, mulai sekarang kalian harus mengosongkan ruko ini," sentaknya tegas dan sengit.
Aku mengernyit tak senang, kenapa tiba-tiba mau ditutup.
"Apa alasan Bapak menutup toko ini? Bukannya kami selama ini selalu bayar sewa tepat waktu?" ujarku tanpa rasa takut sama sekali.
Dia tertawa mencibir, meremehkan aku. Lalu, kakinya menendang salah satu barang yang berada dekat dengannya. Kesal, aku memang melihat itu di wajah lembabnya.
"Tepat waktu? Apanya yang tepat waktu? Kamu tahu, suami kamu itu udah tiga bulan nggak bayar sewa ruko. Bisa rugi saya kalo dia ngeles mulu setiap ditagih. Saya mau sewakan ruko ini sama orang lain, lagian ruko ini mau saya jual. Ada orang yang berani bayar," paparnya panjang lebar.
Deg!
Terkejut? Tentu saja. Kesal? Apalagi. Tiga bulan Raka mengabaikan pembayaran sewa ruko. Tak habis pikir ke mana uang yang didapatkan toko selama ini? Aku memberinya modal untuk mengembangkan usaha, tapi apa yang dilakukannya?
Kulirik Irwan, ia menggeleng sembari meneguk ludah gugup. Mungkin saja Irwan dan Doni tak tahu apapun tentang ini. Aku akan menanyakan itu pada mereka setelah menyelesaikan masalah dengan pemilik ruko ini.
"Jujur saya terkejut, tapi kalo apa yang Bapak bilang itu benar saya akan membayar lunas tunggakan itu. Juga kalo Bapak emang berniat menjual ruko ini, saya akan membelinya. Jadi, bisa kita bicara baik-baik, Pak?" Aku berusaha tenang meski hati tengah menahan rasa jengkel setengah mati.
Awas kamu, Raka. Habis kamu setelah ini. Ke mana kamu akan cari uang lagi buat menuhin gaya hidup mantan kamu itu.
Pemilik ruko mengangkat alis seolah-olah apa yang aku ucapkan hanyalah bualan semata. Dia melipat kedua tangan di perut, memandang rendah padaku. Dia hanya tidak tahu siapa Shanum Haniyah hingga berlagak angkuh seperti itu.
"Tiga ratus juta nggak kurang," jawabnya enteng saja.
Oh, hatiku tersentak mendengar jumlah yang tidak sedikit itu. Namun, jika melihat dari ruko yang cukup luas ini, memang sepadan dengan harga yang dia tawarkan. Aku tertarik.
"Baik, saya akan membayarnya sekaligus dengan tunggakan tiga bulan yang belum dibayarkan suami saya."
Dia tampak terkejut, mungkin tidak menyangka jika aku akan menyanggupi penawarannya. Kedua tangan yang dilipatnya turun secara spontan, mata besar itu ikut melebar mendengar jawabanku.
"Kamu yakin? Suami kamu aja nggak sanggup bayar sewa. Udah, jangan sok-sokan mau bayarin ruko ini kalo kamu nggak sanggup. Mending angkut ini barang-barang, saya lihat juga sebentar lagi toko ini bangkrut," katanya meremehkan.
Aku tersenyum.
"Bapak mau cash atau berupa cek? Saya bisa bayar sekarang juga, tapi surat-surat lengkap harus saya lihat dan periksa terlebih dahulu. Baru setelah itu, saya bayar lunas sama Bapak," tantangku tanpa gentar.
Lihat, dia terlihat gugup. Menoleh pada laki-laki bertubuh besar dengan gelisah. Aku menunggu sampai dia menyanggupi untuk membawa surat-surat kepemilikan.
"Jelasin!" Aku menuntut dua karyawan Raka yang kini berdiri tertunduk di hadapan.
"Kami juga nggak tahu, Sha. Selama ini semua penghasilan dipegang Raka. Laporan pembayaran sewa juga selalu tertera di pembukuan. Kami kira Raka sudah menghendel semuanya termasuk pemesanan barang," jawab Irwan dengan nada gugup dan takut.
Kuhela napas, menarik kursi dan duduk di sana. Semakin jelas sudah ke mana penghasilan toko selama ini digunakan.
"Terus, gaji kalian gimana? Apa Raka juga nggak bayar gaji kalian?" tanyaku cemas. Keterlaluan jika Raka juga tidak memberikan gaji mereka berdua.
"Kalo masalah gaji, Raka selalu kasih meski telat-telat-"
"Telat?" tukasku menyela jawaban Doni. Rasanya kepalaku pening mendengar jawaban Doni. Kerutan di antara dua alis kutekan semakin dalam, tak percaya semua ini terjadi. Beruntung aku mengetahui semuanya meski terlambat.
"Kita juga nggak tahu, Sha. Raka bilang ada kebutuhan mendesak jadi gaji diundur. Masalah barang-barang, sewa ruko, dia selalu bilang semuanya beres," papar Doni.
Aku menghela napas dalam, mencoba untuk tetap tenang menjaga keadaan janinku yang akhir-akhir ini sering memberontak.
"Kenapa kalian nggak ada yang ngomong sama aku? Kenapa diem aja?" serangku kesal. Mentang-mentang aku jarang datang ke toko, mereka menganggapku tak penting.
Doni dan Irwan saling melirik satu sama lain, raut keduanya terlihat bersalah dan penuh penyesalan. Terlalu percaya pada Raka sama seperti aku. Kukira dia tak akan bermain curang di belakangku seperti ini.
"Maaf, Sha. Aku kira Raka selalu ngomong sama kamu, soalnya dia sering bawa buku laporan pulang ke rumah. Katanya buat dibahas sama kamu."
Apa lagi ini? Apa yang disampaikan Doni barusan sama sekali tidak pernah terjadi. Mungkin hanya sekali saja, waktu baru-baru aku membantunya membesarkan toko. Setelah itu, tak ada pembahasan lagi tentang penghasilan toko.
Aku menghela napas untuk yang ke sekian kalinya, mulai detik ini tak akan lagi mempercayakan toko kepada laki-laki culas itu.
"Ya udah, mulai sekarang semua laporan kasih sama aku. Pendapatan kirim aja ke rekening aku. Jangan kasih Raka sepeserpun dari penghasilan toko."
Mereka mengangguk setuju dan pasrah, kulihat keduanya juga sudah jengah dengan tingkah laku Raka. Lihat saja, Raka. Akan seperti apa kehidupan kamu setelah ini?