Ikuti setiap bab nya dan jangan lupa tinggalkan dukungannya ♥️
****
Anindira dan Anindita adalah saudari kembar yang terpisah sejak lahir. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, Anindira sudah menikah tetapi dirinya selalu di sakiti oleh sang suami dan tidak mendapatkan kebahagiaannya. Sementara Anindita, dirinya hanya bisa menghamburkan uang dan angkuh.
Suatu hari, tanpa sengaja Anindita menggantikan peran Anindira. Dirinya masuk ke dalam kehidupan suami Anindira, dan tidak menyangka betapa hebat saudari kembarnya itu bisa hidup di tengah-tengah manusia Toxic.
Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?
SO STAY STUNE!
NO BOOM LIKE, BACA TERATUR DAN SEMOGA SUKA 😍🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7 TWINS A
Ibu Wati— rentenir yang tinggal satu komplek dengan Anindira berjalan terburu-buru. Dia sudah sampai ke tempat tujuan dan langsung mengetuk pintu dengan kasar.
"Mely! Buka pintunya! Saya mau menagih hutang, jangan sembunyi kau, Mely!" teriak Wati sambil terus mengetuk pintu.
Anindira yang memang belum berangkat kerja kaget mendengar suara teriakan yang berasal dari teras rumahnya. Dia gegas membuka pintu dan wajahnya langsung pucat melihat kedatangan Ibu Wati, sang rentenir.
"Ada apa, Bu? Kenapa berteriak seperti itu?" tanya Dira bersikap sopan.
"Heh, mana Mamamu? Saya datang kesini untuk menagih hutang, bukan bersilaturahmi!" Ibu Wati melotot ke arah Dira.
"Mama ada di dalam, sedang mempacking cake pesanan pelanggan." jawab Dira.
"Cepat panggil Mamamu! Saya tidak punya banyak waktu untuk menunggunya." Wati melengos dengan gaya sombongnya.
Anindira hanya menggeleng pelan. "Baik, tunggu sebentar, ya, Bu. Saya panggil Mama dulu." ujarnya pergi ke dapur.
"Ma? Ada Bu Wati di depan, katanya dia mau menagih hutang." Anindira mengeluarkan amplop berwarna cokelat. "Ini gaji Dira, dan dicampur dengan tabungan. Mama bisa pakai, untuk melunasi hutang pada Bu Wati. Kita seperti tercekik karena berurusan dengannya."
Mely menatap Anindira dengan nanar, mereka terpaksa berhutang pada rentenir untuk tambahan modal usaha dan perobatan Bram waktu itu. Pria tersebut terkena struk ringan, Dokter menganjurkan agar Bram tidak bekerja terlalu berat.
Mely menggeleng, tangannya terulur, mengelus kepala Anindira. "Tidak, Nak. Mama tidak mau menyusahkan kamu." ujarnya menolak. "Simpan saja uang ini untuk masa depanmu, Mama akan menangani Bu Wati." lanjutnya tersenyum tipis lalu berjalan keluar untuk menemui rentenir itu.
"Bayar hutang!" tukas Wati menengadahkan tangan setelah melihat Mely.
Mely mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. "Ini, Bu. Saya hanya bisa bayar segini dulu, beberapa Minggu belakangan ini, toko sangat sepi. Jadi pemasukan juga sedikit." ucap Mely sopan.
Wati mengambil uang dari tangan Mely dengan kasar, dia mengangkat sudut bibirnya. "Alasan! Selalu saja toko yang kau jadikan sebagai alasan, Mely. Pokoknya saya tidak mau tahu, tiga hari lagi saya akan kembali kesini, dan kau harus melunasi hutangmu."
"Tiga hari? Bagaimana saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu kurun tiga hari, Bu Wati?"
"Masa bodoh! Itu deritamu, Mely! Kau yang berhutang, jadi kau juga yang harus memikirkan jalan keluarnya." sarkas Wati bicara sambil melotot.
Anindira tidak kuat mendengar orangtuanya dihina seperti itu. "Ini! Ibu bisa ambil uang saya, kekurangannya akan saya bayar lusa."
Wati menerima amplop cokelat dar Dira, dia menghitung nominal uangnya terlebih dahulu. "Dira, apa kau tahu berapa banyak hutang Mamamu ini?"
Anindira melirik Mely sejenak, dirinya pun menggelengkan kepala.
"Tiga puluh juta!"
Kedua Ibu dan Anak itu melongo mendengar jumlah yang Wati katakan.
"Tiga puluh juta? Tapi saya hanya pinjam sepuluh juta, Bu Wati." protes Mely merasa diperas.
"Jangan pura-pura bodoh, Mely! Pinjamanmu memang sepuluh juta, tapi kau tidak teratur membayar cicilannya, jadi bunga semakin membengkak."
Tubuh Mely lemas, dia ingin jatuh tetapi Anindira dengan sigap menahannya.
"Ini tidak benar, Bu Wati! Kenapa seperti pemerasan?"
"Heh bocah ingusan! Kau itu tidak tahu apa-apa, sebaiknya diam dan bayar saja kekurangannya lusa. Saya pegang janjimu, dan ini kurang lima belas juta lagi. Awas kalau kau bohong!" Wati menatap tajam ke arah Dira, dirinya pergi meninggalkan rumah Bram.
"Dira, Mama tidak menyangka kalau hutang kita akan jadi sebanyak itu, Nak." Mely menangis dalam pelukan putrinya.
"Ma tenanglah. Dira janji akan bekerja keras agar bisa melunasi hutang kita."Dira mengelus kepala sang Mama.
"Jangan sampai Papamu tahu, Nak. Jika dia tahu, pasti kesehatannya akan kembali menurun."
Anindira mengangguk. "Dira janji akan merahasiakannya dari Papa."
'Ya Tuhan, berilah petunjuk dan jalan keluar untuk keluarga kami agar bisa melunasi hutang.' batin Dira berdoa.
BERSAMBUNG
mudah2 an mereka saling menerima 1 sama lainnya