Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Menjadi Mentor
Kaelus menarik napas dalam, mencoba meredam emosinya yang sempat meledak.
Di hadapannya, Kirana masih berdiri dengan ekspresi bingung. Matanya yang bening menatapnya penuh tanda tanya, seolah mencoba mencari jawaban atas sikap aneh Kael sebelumnya.
Kaelus tahu dia telah kehilangan kendali. Ia tidak seharusnya menunjukkan emosi seperti itu di depan Kirana.
Bocah itu…
Tidak, Kirana bukan lagi bocah.
Dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis muda yang cantik, dengan mata penuh kepolosan dan sikap yang lembut.
Dan itu berbahaya bagi dirinya.
Karena gadis itu mulai menggoyahkan keseimbangan yang selama ini Kaelus pertahankan.
Kembali Menjadi Kakak
Kaelus menghela napas, memaksakan senyum kecil. Kali ini, dia harus mengendalikan diri.
Dia tidak boleh membiarkan Kirana melihat sisi dirinya yang sebenarnya.
"Aku hanya sedikit kesal karena mendengar orang-orang membicarakanmu," katanya akhirnya, dengan nada suara yang lebih tenang.
Kirana masih menatapnya penuh selidik.
"Tapi… kenapa Kakak sampai seperti tadi?" tanyanya ragu.
Kaelus tertawa kecil, berusaha menganggap enteng situasi. "Aku hanya sedikit terbawa suasana. Lagipula, kau ini adik sahabatku, Alice. Wajar kalau aku ingin melindungimu."
Kirana diam sejenak.
Ada sesuatu dalam ekspresi gadis itu yang menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban Kaelus.
Namun, Kirana juga bukan tipe yang suka memaksa seseorang untuk mengatakan sesuatu yang mereka tidak ingin katakan.
Jadi, dia hanya mengangguk pelan.
"Baiklah," katanya lirih.
Kaelus menatapnya sejenak, lalu mengusap kepala gadis itu dengan lembut.
"Kau tidak perlu khawatir, Kirana. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," ucapnya dengan suara lembut, kembali mengambil peran sebagai seorang kakak yang perhatian.
Kirana menunduk sedikit, wajahnya tampak memerah. "Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih."
Dan saat itu, Kaelus tahu dia telah berhasil menyembunyikan perasaannya lagi.
Kirana yang Bingung
Meski Kaelus telah berusaha kembali normal, Kirana tetap merasa ada sesuatu yang aneh.
Dia bukan gadis bodoh.
Dia bisa merasakan perubahan dalam cara Kaelus menatapnya, dalam nada suaranya, dalam gerakan kecil yang dia lakukan.
Sebelumnya, Kaelus selalu tenang dan penuh kendali.
Tapi beberapa waktu belakangan, ada sesuatu yang berbeda.
Saat Kaelus menatapnya terlalu lama… Saat dia tiba-tiba kehilangan kesabaran… Saat tangannya hampir refleks meraih Kirana sebelum akhirnya menahan diri…
Semua itu membuat Kirana merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Namun, dia tidak tahu apa itu.
Dan jujur saja, dia takut untuk mencari tahu.
.
.
Hari-hari berlalu, dan Kirana mulai menyadari sesuatu yang lain—Kaelus mulai menjaga jarak darinya.
Dia masih bersikap baik, masih membantu Kirana jika dibutuhkan, tetapi ada jarak yang tidak terlihat di antara mereka.
Kaelus tidak lagi datang ke sekolah Kirana sesering sebelumnya.
Dia tidak lagi memeriksa apakah Kirana sudah makan dengan benar.
Bahkan saat mereka bertemu di rumah, Kaelus hanya berbicara seperlunya, lalu segera pergi seolah ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan.
Kirana merasa… aneh.
Apa dia melakukan sesuatu yang salah?
Kenapa Kaelus tiba-tiba berubah?
.
.
"Menurutku ada yang aneh dengan Kakak," ucap Alice tiba-tiba saat mereka sedang duduk di kafe setelah pulang sekolah.
Kirana menatapnya dengan bingung. "Maksudmu?"
Alice menyeruput minumannya sebelum menatap Kirana tajam. "Dia menghindarimu, kan?"
Kirana mengerjap, tidak menyangka Alice bisa menyadarinya juga.
"Uhm… aku tidak tahu," jawab Kirana ragu.
Alice mendesah. "Kirana, kau tahu Kakak seperti apa. Dia selalu punya alasan di balik semua yang dia lakukan. Jika dia tiba-tiba menjaga jarak, berarti ada sesuatu yang dia sembunyikan."
Kirana terdiam.
Alice benar.
Tapi… sesuatu yang disembunyikan itu apa?
.
.
Sementara itu, di tempat lain, Kaelus duduk di kantornya dengan kepala penuh pikiran.
Dia merasa lega karena berhasil menjaga jarak dari Kirana.
Namun, pada saat yang sama, dia merasa tersiksa.
Dia tahu ini adalah keputusan yang benar.
Dia tidak boleh membiarkan perasaannya mengambil alih.
Dia tidak boleh menyukai Kirana.
Tapi semakin dia mencoba menghindar, semakin gadis itu muncul dalam pikirannya.
Saat dia membaca laporan kerja, dia teringat bagaimana Kirana selalu bersungguh-sungguh saat belajar.
Saat dia melihat gaun yang dipajang di butik mewah, dia berpikir apakah Kirana akan terlihat cantik mengenakannya.
Saat dia berjalan sendirian di malam hari, dia bertanya-tanya apakah Kirana sudah tidur dengan nyenyak.
Setiap hal kecil mengingatkannya pada gadis itu.
Dan itu membuatnya gila.
.
.
Malam itu, Kaelus pergi ke restoran eksklusif untuk makan malam dengan beberapa kolega bisnisnya.
Namun, saat dia berjalan menuju restoran, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang tidak asing.
Kirana.
Gadis itu sedang berdiri di dekat jendela toko buku, tampak terpesona dengan salah satu buku yang dipajang.
Kaelus berdiri terpaku.
Lalu, sebelum dia bisa menghentikan dirinya sendiri, dia sudah berjalan mendekati gadis itu.
"Kirana."
Gadis itu tersentak kaget, lalu menoleh.
Saat matanya bertemu dengan mata Kaelus, ada kelegaan yang terpancar.
"Kael?"
Kaelus menatapnya dengan campuran perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Setelah sekian lama menjaga jarak, melihat Kirana di depannya seperti ini…
Seakan seluruh pertahanan yang dia bangun runtuh dalam sekejap.
.
.
Kaelus ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak tahu apa.
Dia ingin melarang Kirana terus masuk ke dalam pikirannya.
Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menatap gadis itu… dan menyadari bahwa dia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri.
Gadis ini bukan sekadar adik sahabatnya.
Gadis ini bukan sekadar seseorang yang dia lindungi.
Kirana adalah orang yang selama ini diam-diam dia cintai.
Dan meski dia tahu itu salah…
Dia tidak yakin bisa terus berpura-pura tidak merasakannya.
.
.
Kirana menatap buku-buku pelajarannya dengan ekspresi putus asa. Ujian nasional semakin dekat, dan meskipun dia sudah belajar mati-matian, rasanya semua materi justru semakin sulit dipahami.
Di sampingnya, Alice tampak santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum jahil. "Aku sudah selesai membaca semua materi. Sepertinya ujian kali ini tidak akan sulit."
Kirana menoleh dengan ekspresi lelah. "Tentu saja mudah bagimu! Kau Alice Moretti, otak jenius dengan kemampuan memahami segala sesuatu hanya dalam sekali baca!"
Alice tertawa kecil. "Oh, ayolah, Kirana. Kau hanya butuh lebih banyak latihan. Jangan menyerah."
Kirana menghela napas panjang. "Aku mencoba, Alice. Tapi tetap saja sulit. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana."
.
Semakin hari, semakin besar tekanan yang dirasakan Kirana.
Di sekolah, semua orang sibuk membahas ujian. Guru-guru memberikan latihan tambahan, teman-teman membentuk kelompok belajar, dan Alice tetap bersikap santai seolah ujian hanyalah formalitas belaka.
Namun bagi Kirana, ini adalah hal besar.
Dia tidak ingin mengecewakan Alice.
Dia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri.
Dan yang paling penting, dia tidak ingin mengecewakan… Kaelus.
Entah sejak kapan, pikirannya mulai dipenuhi oleh pria itu.
Kaelus selalu baik padanya. Dia yang menyelamatkannya dari kehidupan yang menyedihkan, dia yang memberinya tempat tinggal yang layak, dan dia juga yang selama ini diam-diam selalu memperhatikannya.
Meskipun Kirana yakin Kaelus hanya menganggapnya sebagai adik, tetapi tetap saja…
Dia ingin membuat pria itu bangga.
Namun bagaimana caranya kalau dia tidak bisa memahami pelajaran dengan baik?
.
Saat Alice melihat bagaimana sahabatnya mulai stres, dia pun mengadu kepada kakaknya.
"Kael, kau harus membantu Kirana," kata Alice tanpa basa-basi.
Kaelus yang saat itu sedang duduk di ruang kerjanya mengangkat alis. "Membantu apa?"
Alice menyilangkan tangan. "Ujian nasional, tentu saja! Kirana kesulitan memahami pelajaran, dan aku tahu dia sudah belajar mati-matian, tapi tetap saja sulit baginya. Aku yakin kalau kau yang mengajarinya, dia pasti bisa."
Kaelus menghela napas. "Alice, kau tahu aku sibuk. Aku punya banyak pekerjaan—"
"Kirana sangat berusaha, Kael," potong Alice dengan nada serius. "Dia tidak ingin mengecewakan siapa pun. Terutama… tidak ingin mengecewakanmu."
Kaelus terdiam.
Tidak ingin mengecewakan… dia?
.
Akhirnya, malam itu, Kaelus memutuskan untuk membantu Kirana.
Dia masuk ke ruang belajar dan mendapati gadis itu duduk dengan kepala tertunduk, matanya menatap buku-buku yang terbuka di meja seolah-olah itu adalah musuhnya.
"Kirana."
Gadis itu tersentak dan segera mendongak. "Kael?"
Kaelus berjalan mendekat dan menarik kursi di sebelahnya. "Alice bilang kau butuh bantuan. Jadi, mulai sekarang, aku yang akan mengajarimu."
Kirana terkejut. "K-Kau? Tapi… bukankah kau sibuk?"
Kaelus tersenyum tipis. "Aku bisa meluangkan waktu untuk hal yang penting."
Wajah Kirana sedikit memerah, tetapi dia segera mengangguk.
Dan pelajaran pun dimulai.
.
Kaelus ternyata seorang pengajar yang sangat sabar.
Dia tidak hanya memberikan penjelasan, tetapi juga mencari cara agar Kirana lebih mudah memahami konsep yang sulit.
"Kau harus memahami konsepnya dulu sebelum menghafalnya," kata Kaelus sambil menggambar diagram di kertas. "Misalnya, dalam matematika ini, kalau kau tahu rumus dasarnya, kau tidak perlu menghafal terlalu banyak."
Kirana mengangguk pelan. "Tapi… aku sering lupa bagaimana menerapkan rumusnya."
Kaelus tersenyum. "Baiklah, kita coba cara lain. Aku akan memberimu soal sederhana, lalu kita pecahkan satu per satu."
Kaelus memberikan contoh soal dan menunggu Kirana mengerjakannya.
Namun, gadis itu masih tampak kebingungan.
Kaelus akhirnya menggenggam tangan Kirana dan membimbingnya langsung untuk menuliskan jawaban.
"Begini caranya," ucapnya dengan suara lembut.
Kirana bisa merasakan kehangatan dari genggaman tangan Kaelus, dan wajahnya semakin memerah.
Kaelus, di sisi lain, tetap tenang, seolah tidak sadar bahwa setiap tindakannya membuat Kirana semakin gugup.
.
Hari demi hari berlalu, dan Kirana mulai menunjukkan perkembangan.
Awalnya, dia bahkan kesulitan menyelesaikan soal dasar.
Namun setelah mendapat bimbingan dari Kaelus, dia mulai lebih percaya diri dalam mengerjakan latihan-latihan soal.
Kaelus pun terus mendukungnya.
"Jangan terburu-buru," katanya saat melihat Kirana tergesa-gesa mengerjakan soal. "Santai saja. Pahami pertanyaannya dulu sebelum menjawab."
Kirana mengangguk dan mencoba menerapkan saran Kaelus.
Dan untuk pertama kalinya, dia berhasil menyelesaikan satu soal dengan benar tanpa bantuan.
Matanya berbinar. "Aku bisa!"
Kaelus tersenyum bangga. "Tentu saja bisa. Aku tahu kau pintar, Kirana."
Kirana menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
.
Di antara semua latihan yang mereka lakukan, tanpa sadar kedekatan mereka semakin dalam.
Kirana tidak hanya mengandalkan Kaelus sebagai mentor, tetapi juga sebagai seseorang yang memberinya kepercayaan diri.
Sementara itu, Kaelus mulai menyadari bahwa Kirana bukan lagi gadis kecil yang perlu diselamatkan.
Dia sudah tumbuh menjadi seseorang yang mandiri dan kuat—dan Kaelus tidak bisa menahan diri untuk terus mengawasinya.
Malam sebelum ujian, mereka duduk di balkon apartemen, menikmati angin malam setelah sesi belajar terakhir.
"Kau sudah siap?" tanya Kaelus.
Kirana mengangguk dengan senyuman. "Ya, terima kasih banyak, Kael. Aku tidak akan sampai di titik ini tanpamu."
Kaelus menatapnya lama sebelum tersenyum kecil. "Kau bisa melakukannya, Kirana. Aku percaya padamu."
Dan saat itu, Kirana merasa bahwa tidak peduli bagaimana hasil ujiannya nanti…
Dia sudah menang, karena ada seseorang yang percaya padanya.