"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
"Keluarga Ravindra, meminta Bianca menikah dengan Seno, cucu kandung keluarga Jenggala yang terlibat kecelakaan 5 tahun yang lalu bersama kedua orang tuanya !"
"Kecelakaan?... Berarti yang dimaksud adalah pria yang dirumorkan lumpuh karena tidak pernah lagi muncul di publik setelah kecelakaan itu terjadi?" tanya Raya.
"Tidak, Mas!" teriak Raya menolak bahkan ia sampai berdiri dari tempat duduknya. "Kamu jangan gila, aku tidak setuju kamu mengorbankan Bianca yang masa depannya masih panjang harus menjadi seorang istri dari pria lumpuh berwajah buruk dan tak berguna walau dia berasal dari keluarga kaya dan terpandang!" lanjut Raya berapi-api mengutarakan penolakannya.
Kepala Arka semakin terasa pening dengan reaksi Raya. Ia beralih menatap sang ibu untuk meminta pendapat, kesempatan bagus ini tidak akan datang dua kali jadi ia tidak ingin melewatkannya, tapi Raya telah menolak mentah-mentah tawaran ini.
"Raya benar, Ka. Mama juga tidak ingin cucu satu-satunya Mama menjadi istri pria seperti itu. Malu jika teman-temannya tahu, impian putrimu itu jika menikah nanti ingin mengadakan pesta yang besar dan mengundang seluruh teman-temannya. Lalu apa yang teman-temannya pikirkan jika tahu Bianca menikahi pria lumpuh yang cacat dan memiliki wajah buruk rupa, Aku tidak ingin cucuku menjadi bahan olok-olokkan."
Arka hanya terdiam mendengar ucapan sang ibu, sejujurnya Arka juga tak rela jika putrinya menikah dengan pria tak sempurna karena Bianca bisa mendapatkan lelaki terpandang lain untuk menjadi suaminya. Tapi mereka dalam kondisi sulit saat ini, Arka masih berusaha membuat kedua wanita di depannya mempertimbangkannya lagi.
"Lalu, bagaimana dengan perusahaan kita, Ma, Raya. Mencari investor lain tidak bisa dilakukan dengan cepat, jika pun bisa itu tidak akan bisa menutup kerugian perusahaan saat ini!" terang Arka yang membuat Raya dan Nyonya Camelia kembali berpikir.
"Tetap saja aku tidak setuju, Mas!" sentak Raya yang kekeh pada pendiriannya.
Nyonya Camelia menghela nafas panjang.
"Kita tunggu Bianca pulang dan minta pendapatnya. Kita jangan memutuskan sendiri tanpa melibatkannya karena orang yang paling dirugikan jika kita menerima perjodohan ini adalah Bianca!" putus Nyonya Camelia akhirnya dengan bijak.
Pembicaraan mereka akhirnya berhenti sampai di sana dan melanjutkannya lagi siang hari nanti ketika Bianca kembali dari kampus. Namun, hingga mampir pukul 12.00 siang Bianca tak juga kembali membuat Arka tak sabar.
"Raya, coba kamu hubungi Bianca dan tanyakan jam berapa dia pulang. Jika ada waktu, minta dia pulang lebih dulu!"
"Kenapa harus terburu-buru, Ka?" tanya Nyonya Camelia.
"Pak Emir hanya memberiku waktu hari ini untuk berdiskusi dengan kalian. Jadi jika Bianca tahu lebih cepat kita masih bisa memberinya waktu untuk berpikir hingga besok!" ujar Arka yang ada benarnya.
"Kamu benar, Ka. Raya, coba kamu hubungi Bianca seperti kata Arka tadi!" titah Nyonya Camelia beralih menatap Raya, menantu kebanggaannya.
Raya, mau tak mau segera menghubungi Bianca. Panggilan pertama tersambung tapi Bianca tidak mengangkatnya.
"Coba lagi!" titah Arka.
"Mas, apa kamu tidak berpikir jika seandainya saat ini Bianca sedang mengikuti kelas, kita hanya akan mengganggunya jika terus menghubungi seperti ini."
Arka kembali terdiam, ucapan Raya memang ada benarnya tapi saat ini kondisi sedang genting. "Tidak apa-apa, coba lagi. Jika dia melihat panggilan kita yang terus-menerus pasti dia akan mengirimkan pesan kalau memang dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu!"
Raya akhirnya kembali menghubungi Bianca karena Arka yang terus mendesaknya.
Baru saja panggilan tersambung sudah terdengar suara lembut Bianca dari ujung telepon.
"Halo, Ma. Ada apa?"
Arka menengadahkan tangan meminta ponsel dari genggaman Raya, tapi Raya menolak dengan cara menghindar.
"Apa kamu ada kelas sekarang, Bi?"
"Tidak ada, Ma. Kelas Bianca baru aja selesai. Kenapa?... Mama mau minta Bianca pulang?" tanyanya sedikit malas.
Arka merebut paksa ponsel lalu menempelkannya ke telinga berusaha berbicara sendiri dengan Bianca.
"Bianca, ini Papa!"
"Papa?" Nada bicara Bianca di seberang sana terdengar keheranan.
"Iya, Papa bisa minta tolong Bianca untuk pulang dulu jika kelas sudah selesai. Ada hal penting yang ingin Papa bicarakan!" ujar Arka terkesan menuntut.
Raya melotot tak terima, ia hendak merebut kembali ponsel di tangan Arka karena menganggap Arka seperti tengah menekan putri mereka tercinta. Namun, Arka mengangkat tangannya meminta Raya diam.
"Bagaimana, Bianca? ... Bisa?" tanya Arka lagi ketika Bianca hanya terdiam.
"Baiklah, Bianca pulang sekarang!" jawabnya yang membuat Arka bernapas lega.
Setelah panggilan terputus Arka mengembalikan ponsel tersebut kepada Raya.
Nyonya Camelia yang baru saja kembali dari dapur untuk meminta pelayan menyediakan makan siang ikut bergabung dengan Arka dan Raya lagi menunggu kedatangan Bianca.
"Bagaimana, Bianca bersedia?" tanya nyonya Camelia sembari mendudukan dirinya di sofa.
"Iya, Ma. Kita hanya perlu menunggunya !" jawab Arka dengan segunung harapan di kepalanya.
"Ya sudah, jangan langsung membicarakan masalah ini dengannya, Ka. Biarkan kita semua makan siang lebih dulu, diskusi dengan keadaan perut kosong tidak akan menemukan solusi, bisa jadi hanya akan memancing emosi dan menimbulkan pertengkaran!"
Arka mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Bianca datang menggunakan mobil pribadinya, hadiah dari Arka ketika awal memasuki dunia perkuliahan.
"Ada apa ini?" tanya Bianca bingung ketika ia masuk, seluruh anggota rumah seperti sudah menunggunya.
"Tidak ada apa-apa, kita bicara nanti. Kamu sudah makan siang?" tanya Raya yang di jawab gelengan oleh Bianca.
"Kalau begitu ayo kita makan siang lebih dulu," ajak Raya sembari menggeret pelan lengan Bianca menuju ruang makan, diikuti Nyonya Camelia dan Arka.
Mereka makan dalam diam, seolah semua sedang sibuk dengan isi pikirannya masing-masing.
"Ma, Pa! Ada apa sebenarnya, kalian semua terlihat aneh!" ujar Bianca ketika mereka telah selesai makan siang dan mengajak Bianca kembali ke ruang tamu.
"Begini, Bianca. Perusahaan Papa--," ungkap Arka menjelaskan secara singkat kondisi perusahaan keluarga mereka saat ini.
"Lalu?" tanya Bianca dengan perasaan tak senang.
"Keluarga Ravindra bersedia membantu perusahaan Papa tapi dengan syarat, mereka meminta kamu untuk menikah dengan satu-satunya cucu kandung keluarga mereka!" terang Arka hati-hati.
Alis Bianca mengkerut. "Apa pria itu terlalu jelek hingga keluarganya mencarikan jodoh untuknya dengan memanfaatkan kesialan keluarga lain?"
Arka, Raya dan Nyonya Camelia saling pandang. Arka berdehem mencoba menerangkan kembali.
"Kamu benar, Bianca. Wajahnya memang buruk rupa akibat kecelakaan yang menimpanya lima tahun yang lalu dan kondisi kakinya juga lumpuh!"
Bianca terbelalak. "Tidak, aku tidak mau!" pekiknya sesuai prediksi.
"Bianca kita punya waktu sampai besok untuk memikirkannya!" bujuk Arka.
"Tidak, Bianca tetap tidak mau, Pa. Tidak mungkin Bianca menikah dengan pria cacat seperti itu disaat pria sempurna banyak yang mengantri untukku!"
Arka tidak menyerah, ia kembali mencoba memberi pengertian pada Bianca. "Tapi ini demi perusahaan, Bianca. Papa bisa membuat kalian bercerai ketika perusahaan Papa sudah kembali stabil!"
"Itu tidak mungkin!... Papa pikir, keluarga mereka akan diam saja saat aku menceraikan pria itu ketika perusahaan Papa stabil, mereka bisa saja melenyapkanku lebih dulu sebelum aku sempat meminta cerai!" balas Bianca masih dengan emosi yang meluap-luap.
"Lalu, Papa harus bagaimana, Bianca? Perusahaan terancam bangkrut dan kamu mau hidup miskin dengan hutang dimana-mana?"
"Kenapa Papa menikahkan saja pria cacat itu dengan Alea, dia putri Papa juga meskipun aku tidak mau mengakuinya!"