"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 14
Brica pulang ke kediamannya dengan wajah kecewa, di tengah pesta masih berlangsung Gustav tiba-tiba menghilang tanpa memberitahu apa-apa.
Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan Brica seperti orang bodoh mencari-cari dirinya ke seluruh tempat.
Wanita dewasa yang berprofesi sebagai model majalah itu menghempaskan tas ke atas meja setelah itu menjatuhkan diri ke atas sofa ruang keluarga.
Sang ayah yang melihat raut tidak senang anak tunggalnya mengerutkan kening.
“Rica, Sayang. Ada apa?” tanya Aji Novanto, dia merupakan mantan Walikota periode tahun lalu, anak sulung dari Adi Novanto, pengusaha tambang minyak Kalimantan.
“Gustav, Pi. Masa, dia menghilang begitu saja tanpa mengabariku,” adu Brica mengeluarkan isi hatinya.
“Kamu sudah coba meneleponnya?” Brica mengangguk.
“Ponselnya tidak aktif.”
“Sudah tidak apa-apa, kamu tahu sendiri kan Gustav itu super sibuk, mungkin saja dia ada pekerjaan dadakan sampai harus pergi buru-buru.”
Brica berdecak kesal, papinya ini bukan menenangkan malah membela Gustav terang-terangan.
“Tapi kan dia bisa menghubungiku kalau mau pergi, setidaknya mengirim pesan padaku.”
“Mungkin saja ponselnya mati, sudah tidak apa-apa, Rica. Jangan terlalu dipikirkan.”
Brica pada akhirnya mengangguk pasrah, kemudian ia menatap serius wajah Aji dan meraih lengan pria tua itu untuk di genggam.
“Aku menyukai Gustav, Pi. Aku merasa jika dia sangat cocok menjadi calon suami, tolong bantu aku bertunangan dengannya.”
Aji mengusap kepala sang anak sayang, Brica putri satu-satunya, sejak kecil Aji begitu memanjakan dan selalu memberikan apapun yang Brica minta.
“Tentu saja, Sayang. Papi akan mengusahakan semua yang anak Papi minta.”
Wanita itu menyungging senang. “Terima kasih, Papi!” serunya memeluk Aji bahagia.
“Sama-sama, Cantiknya Papi.”
***
Besoknya, pagi-pagi sekali Brica meminta Gustav untuk bertemu dengannya. Pria itu menyuruh Brica datang ke kantor pusat, tempat di mana sebagian besar ia menghabiskan waktu, selain di apartemen Gladys.
Wanita itu berdandan selama beberapa jam sebelum menuju ke kantor Gustav, karena bagi Brica segala sesuatu butuh perjuangan, termasuk mendapatkan hati si dingin si bule Italia.
Setelah merasa puas dengan make up serta pakaiannya, Brica langsung meluncur bersama mobil Mini Cooper kesayangannya.
Kedatangan Brica langsung saja membuat heboh seisi kantor, desas-desus tentang dirinya dan Gustav yang akan menikah kian memanas dengan kedatangan wanita itu ke kantornya.
“Itu model majalah yang sedang di rumorkan dekat dengan bos kita bukan sih?” bisik-bisik seorang karyawan pada temannya ketika Brica melewati mereka.
“Mana-mana coba lihat, eh, iya! Itu Brica Novelia!” seru temannya tersebut.
“Cantik banget ya, cocoklah sama Pak Gustav.”
“Hus ... kabar itu belum tentu benar, rumor bisa aja palsu tahu.”
“Kamu tidak lihat beritanya, ya? Minggu lalu mereka kepergok oleh paparazi lagi kencan di pantai,” ucap karyawan pria lain yang ikut bergabung dengan mereka, pria itu mengambil ponsel dari sakunya mencari-cari line berita yang baru dia baca dua hari lewat.
“Lihat, ini,” ucapnya menunjukkan sebuah artikel dengan foto Gustav dan Brica yang terlihat sedang minum di tepi pantai.
“Wah, berarti bukan sekedar rumor.”
***
Telepon interkom di meja Gustav berdering, pria yang sedang membaca file di tangannya tersebut menoleh, Gustav lepaskan kacamata bacanya meletakan pada eyeglass case abu-abu yang terbuka barulah ia angkat panggilan telepon.
“Halo?”
“Pak, Nona Brica meminta bertemu dengan Anda, katanya sudah membuat ini temu hari ini.” Itu suara sekretaris wanita yang mejanya terletak di depan ruangan Gustav.
“Biarkan dia masuk,” ujar Gustav.
“Baik, Pak.”
“Tunggu,” ucap Gustav saat si sekretaris hendak menutup sambungan telepon.
“Minta Gladys mengantar laporan keuangan minggu lalu ke sini, secepatnya,” suruh pria itu, satu sudut bibirnya naik ke atas membentuk smirk.
“Baik, Pak.”
Sekretaris wanita yang bernama Mala itu menutup telepon, menoleh kembali pada Brica yang sejak dua menit lalu berdiri menunggu jawaban darinya.
“Silahkan masuk, Mbak. Pak Gustav sudah memberikan izin,” ucapnya ramah.
Brica merespons senyum formal, meskipun terlahir dari konglomerat dan memiliki karier bagus, dia dikenal sebagai orang yang ramah oleh siapa pun.
“Terima kasih.”
Wanita dewasa yang memakai celana jeans skinny dan sweter rajut warna krim serta menenteng tas pada lengan itu melangkah anggun memasuki pintu ruangan Gustav yang tidak di kunci.
“Kamu ke mana semalam kenapa tinggalin aku begitu saja?” sungut Brica begitu ia beradu tatap dengan Gustav.
Kentara sekali raut kesal di wajahnya, tentu saja Brica kesal, siapa yang tidak dongkol di tinggal di tengah pesta tanpa kabar apapun?
“Duduklah dulu, saya akan menyuruh Nick mengambil es untuk menangkan amarahmu,” tawar Gustav.
“Aku butuh jawaban, Gustav, bukan es!” ketus Brica makin kesal, berbeda dengan Gustav yang tetap bersikap tenang.
“Semalam investor asing meminta bertemu, saya buru-buru pergi karena beberapa jam lagi pesawatnya akan take off.”
Brica tersenyum sinis, tidak mudah percaya begitu saja pada perkataan pria culas ini.
Bertemu Investor asing atau mengantar kekasihmu pulang?
“Duduklah dulu,” ujar Gustav sekali lagi.
Tepat setelah Gustav mengucapkan kalimat itu, Gladys datang, perempuan itu mengetuk pintu tiga kali lalu masuk membawa file yang diminta pada tangannya.
Gladys mengernyit tidak suka begitu melihat keberadaan Brica di dalam ruangan.
Siapa wanita ini? Batin Gladys.
“Aku tidak mau duduk kursi itu, aku bukan karyawanmu,” kata Brica dengan wajah sombong menunjuk kursi di depan meja Gustav
“Kalau begitu duduklah di pangkuanku,” ucap Gustav membuat Gladys melotot.
Apa? Di pangkuannya? Enak saja! Jerit gadis itu dalam hati. Giginya mengeras dengan wajah memerah.
Brica juga sama terkejutnya dengan Gladys, untungnya wanita itu pandai mengendalikan ekspresinya tidak seperti Gladys di belakang yang sudah mendengus-dengus cemburu.
Sialan kau Gustav berapa banyak wanita yang sudah kau rayu dan duduk di pangkuanmu selain aku!
Seperti bisa mendengar suara hati Gladys, Gustav menggigit pipi dalamnya gemas menikmati setiap ekspresi cemburu gadisnya, gerakan tangannya yang mengepal, dadanya yang kembang-kempis dan jangan lupakan wajahnya yang memerah lucu.
Brica mengira pada dialah Gustav tersenyum, ia berbunga-bunga mendapatkan tawaran Gustav, sepertinya jalan mendekati pria ini tidak akan terlalu sulit, pikir Brica.
“Bolehkah?” pancing Brica.
“Mengapa tidak?” Gustav menaikkan sebelah alis dengan gaya cool sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri. Punggung pria itu bersandar pada kursi dengan kaki mengangkang seksi.
Gladys hampir menjadi reog di belakang, sementara itu Brica bergegas maju menerima tawaran Gustav.
Secepat kilat Gladys menyerahkan file tangannya ke atas meja Gustav.
“Ini laporan yang Anda minta, Pak. Saya permisi,” ujarnya keluar setengah berlari, demi apa pun, ia sudah tidak mampu menahan sakit hati melihat interaksi antara Gustav dan Brica.
“Lucu sekali, sepertinya karyawanmu itu malu, Gustav,” kekeh Brica, menyaksikan bagaimana wajah tertunduk Gladys memerah dengan tangan gemetar menyerahkan laporan.
“Benar, dia lucu,” gumam Gustav, mata sayunya mengikuti bayangan Gladys menghilang dari balik tirai jendela ruang kerjanya.